TANGGAPAN DAN BANTAHAN BAGI PARA PENENTANG AS-SUNNAH
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
D. Pentadwinan (Pengumpulan/Pembukuan) As-Sunnah
Penyampaian hadits dilakukan dengan sangat hati-hati, karena menyangkut
masalah-masalah agama. Hal ini sengaja dilakukan demi menjaga apabila
dalam penyampaiannya terjadi kesalahan. Sebagaimana dijelaskan oleh
az-Zubair, “Mereka yang kuat ingatannya telah menyampaikan hadits tanpa
ada kesalahan, seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud dan Abu Hurairah.”
As-Sunnah disalin dengan sangat hati-hati, baik dengan jalan hafalan
maupun tulisan. Hal ini telah berlangsung sejak zaman Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam dan zaman para Shahabat sampai akhir abad pertama,
hingga kemudian lembaran-lembaran yang berisikan hadits-hadits
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dikumpulkan pada masa ‘Umar bin
‘Abdul ‘Aziz. Di mana ia memerintahkan Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr
bin Hazm untuk menulis dan mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sejak itu pula dimulai ilmu
periwayatan hadits. Kata khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz kepada Abu
Bakar bin Muhammad, “Perhatikanlah hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam, lalu tulislah hadits-hadits itu, karena sesungguhnya aku
khawatir akan hilangnya ilmu dengan wafatnya para ulama, dan janganlah
diterima melainkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saja.” [1]
Setelah Abu Bakar bin Muhammad menerima perintah khalifah, ia pun
memerintahkan Ibnu Syihab az-Zuhri, seorang ulama besar dan pemuka ahli
hadits, untuk mengumpulkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
secara resmi.
Tentang adanya periwayatan hadits, memang telah ditegaskan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri dalam salah satu
sabdanya:
تَسْمَعُوْنَ وَيُسْمَعُ مِنْكُمْ وَيُسْمَعُ مِمَّنْ سَمِعَ مِنْكُمْ.
“Sekarang kalian mendengar, dan kalian nanti akan didengar, dan akan didengar pula dari orang yang mendengar dari kalian.” [2]
Maksudnya, para Shahabat mendengar hadits-hadits dari Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, melihat perbuatan-perbuatan beliau, sifat-sifat
beliau, dan segala perbuatan yang ditaqrir oleh beliau, kemudian para
Shahabat meriwayatkannya (sesudah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
wafat), riwayat para Shahabat akan didengar, diperlihatkan, dan dicatat
oleh para Tabi'in. Begitu selanjutnya, para Tabi'in yang mendengar
hadits dari para Shahabat akan meriwayatkan lagi, yang juga akan
didengar dan dicatat oleh Tabi’ut Tabi’in. Bagai roda yang terus
berputar, hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam akan
senantiasa diriwayatkan, diperlihatkan, didengar dan dicatat oleh imam
pencatat hadits dalam kitab-kitab mereka, seperti Imam Malik, Ahmad,
asy-Syafi’i, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan yang lainnya.
Kitab-kitab mereka ini terpelihara dengan baik dari zaman ke zaman yang
akhirnya sampai kepada kita dan insya Allah terus terpelihara hingga
akhir zaman.
Kemudian setelah thabaqah Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm
(wafat th. 117 H) dan Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri (wafat th.
124 H), datanglah thabaqah kedua dengan pendiwanan (pembukuan) yang
dilakukan secara resmi pula. Mereka ini terdiri dari ulama-ulama besar
dan pemuka-pemuka ahli Hadits, di antaranya ialah:
1. Ibnu Juraij di Makkah
2. Sa'id bin Arubah
3. Al-Auza’i di Syam
4. Sufyan ats-Tsauri di Kufah
5. Imam Malik bin Anas di Madinah
6. ‘Abdullah Ibnul Mubarak
7. Hammad bin Salamah di Bashrah
8. Husyaim
9. Imam asy-Syafi'i
Mereka ini semuanya dari generasi Tabi'ut Tabi’in yang hidup pada zaman
kedua Hijriyah. Cara pengumpulannya masih bercampur dengan
perkataan-perkataan Shahabat dan fatwa-fatwa Tabi'in. Di antara
kitab-kitab hadits yang paling masyhur pada abad ini ialah kitab
al-Muwaththa’ yang disusun oleh Imam Malik bin Anas. Kemudian pada
permulaan abad ketiga Hijriyah, bangkit kembali pemuka-pemuka ahli
hadits yang membukukan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
secara resmi. Dalam pengumpulan kali ini mereka menempuh dua cara,
yaitu:
Pertama : Khusus mengumpulkan hadits-hadits yang shahih saja. Orang yang pertama kali mengumpulkannya ialah:
• Imam al-Bukhari (Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, lahir th. 194 H - wafat th. 256 H)
• Imam Muslim (Muslim bin Hajjaj an-Naisaburi, lahir th. 204 H - wafat th. 261 H)
Kedua : Hanya mengumpulkan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam saja tanpa membedakan mana yang shahih dan mana yang tidak. Dalam
kitab-kitab mereka ini terdapat hadits-hadits shahih, hasan dan dha’if,
bahkan ada pula yang maudhu' (palsu). Kitab-kitab yang masyhur pada
abad ketiga Hijriyah, antara lain :
1. Musnad Ahmad bin Hanbal (164 - 241 H)
2. Shahih al-Bukhari (194 - 256 H)
3. Shahih Muslim (204 - 261 H)
4. Sunan Abu Dawud (202 – 275 H)
5. Sunan ad-Darimi (181 – 255 H)
6. Sunan Ibni Majah (209 - 273 H)
7. Sunan an-Nasa-i (225 - 303 H)
Sedangkan kitab-kitab yang masyhur pada abad keempat Hijriyah, antara lain:
1. Shahih Ibnu Khuzaimah (223 - 311 H)
2. Mu'jamul Kabir, Mu'jamul Ausath, dan Mu'jamush Shaghir, yang disusun oleh ath-Thabrani (260-340 H)
3. Sunan ad-Daraquthni (306 - 385 H)
4. Al-Mustadrak al-Hakim (321 - 405 H)
Manuskrip-manuskrip para ulama ini terpelihara dengan rapi di berbagai
perpustakaan dunia Islam. Kitab-kitab tersebut disalin dan dicetak ulang
hingga tersebar ke berbagai pelosok dunia Islam. Kemudian kitab-kitab
itu disyarah lagi oleh para ulama, ditahqiq, dan diringkas sanadnya.
Demikianlah mata rantai yang tiada putus-putusnya dari rawi ke rawi
terjaga dengan baik. Oleh karena itu, sudah semestinya kita
mempercayainya. Walaupun ada orang-orang yang mencoba untuk membuat
riwayat-riwayat palsu. Tapi para ulama telah membahas dan meneliti serta
menerangkan dengan jelas dalam kitab-kitab khusus yang membahas tentang
hadits-hadits dha'if dan palsu, sehingga dengan demikian tidak
menimbulkan keraguan lagi dalam menerima hadits-hadits yang benar-benar
berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallaam.
Pada abad sekarang ini ada seorang pakar hadits yang bernama Syaikh
al-Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani, beliau telah menyeleksi
kitab-kitab Sunan dari Kutubus Sab’ah dengan membedakan antar yang
shahih dan yang dha'if, kitab-kitab ini sudah dicetak. Di antaranya:
1. Shahih Sunan at-Tirmidzi dan Dha'if Sunan at-Tirmidzi,
2. Shahih Sunan Abi Dawud dan Dha'if Sunan Abi Dawud,
3. Shahih Sunan an-Nasa-i dan Dha'if Sunan an-Nasa-i,
4. Shahih Sunan Ibni Majah dan Dha'if Sunan Ibni Majah,
5. Shahih al-Adabul Mufrad dan Dha’if al-Adabul Mufrad,
6. Shahih Mawariduzh Zham’an dan Dha’if-nya,
7. Shahih at-Targhib wat Tarhib dan Dha’if-nya, dan kitab-kitab yang lainnya.
Bila mata rantai yang tiada putusnya dari zaman Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, para Shahabat, Tabi'in, Tabi’ut Tabi'in dalam
penulisan hadits dan pembukuannya masih diragukan, maka orang yang
meragukan adalah orang-orang yang zindiq, kufur, dan termasuk
orang-orang yang paling bodoh di dunia tentang As-Sunnah, bahkan
dihukumi keluar dari Islam. Dihukumi kafir karena dia telah menolak
hujjah-hujjah As-Sunnah dan meragukan kebenaran yang datang dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
E. Bantahan dan Tanggapan Dalil Keempat
Dua riwayat yang dibawakan penentang As-Sunnah adalah lemah :
1. Riwayat pertama dengan periwayat Thabrani dalam kitab Mu'jamul Kabir
dari jalan ‘Ali bin Sa'id ar-Razy, dari az-Zubair bin Muhammad az-Zubair
ar-Rahawi, dari Qatadah bin al-Fudhail, dari Abi Hadhir, dari
al-Wadhiin, dari Salim bin ‘Abdillah dari ‘Abdullah bin ‘Umar.
Sanad pada hadits ini lemah, karena ada beberapa 'illatnya :
a. Al-Wadhiin bin ‘Atha’ jelek hafalannya
b. Qatadah bin al-Fudhail, kata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Atsqalani, “Bisa diterima kalau ada mutabi’nya.”
c. Abi Hadhir tersebut lemah
2. Riwayat kedua dengan riwayat ad-Daraquthni dan al-Khatib
Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad dari jalan Yahya bin Adam, dari Ibnu
Abi Dzi'bin, dari Sa’id bin Abi Sa'id al-Makburi, dari ayahnya dari Abu
Hurairah.
Abu Hatim ar-Razi dan Imam al-Bukhari menerangkan dalam tarikhul Kabir
bahwa Ibnu Thuhman dari Ibnu Abi Dzi'bin dari Sa'id al-Makburi, dari
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ia menyebutkan hadits di atas, Yahya
berkata, “Dari Abu Hurairah.” Ini adalah satu kekeliruan, sebenarnya
tidak ada penyebutan Abu Hurairah.
Jadi 'illat hadits di atas ialah mursal, dan hadits mursal tidak bisa
dijadikan hujjah. Kata Imam al-Baihaqi, “Ada hadits yang semakna dengan
ini, tapi semuanya lemah. Ibnu Khuzaimah tentang kedudukan hadits ini
mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat seorang di Timur ataupun di
Barat yang mengenal berita Ibnu Abi Dzi'bin selain Yahya bin Adam. Dan
tidak ada ulama hadits yang menetapkan hadits ini bersumber dari Abu
Hurairah. Sesungguhnya terdapat kesimpangsiuran pada Yahya bin Adam
mengenai sanad dan matannya, terdapat ikhtilaf yang banyak sehingga
hadits ini goncang. Ada yang menyebutkan namanya, sehingga hadits ini
termasuk mursal.
Dengan demikian jelaslah bahwa riwayat yang dijadikan pegangan para
penentang dengan menggunakan hadits sebagai hujjah ternyata tidak
mempunyai dasar sama sekali, bahkan para pakar hadits menyatakan bahwa
dasar yang dijadikan untuk menentang As-Sunnah adalah tidak kuat.
Mengingkari penggunaan As-Sunnah sebagai hujjah dan anggapan bahwasanya
Islam hanya memiliki sumber hanya dari Al-Qur-an semata, tidak mungkin
menjadi pendirian seorang muslim yang benar-benar memahami agama Allah
dan syari’at-Nya. Karena mengingkari As-Sunnah berarti mengingkari
Al-Qur-an, bukankah ba-nyak hukum syari’at yang ditetapkan dalam
As-Sunnah?
Pada umumnya, hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur-an hanyalah secara
garis besar saja. Hal itu dibuktikan bahwa kita tidak akan menemukan
dalam Al-Qur-an bahwa shalat itu lima waktu sehari semalam. Atau apakah
kita temukan jumlah raka'at shalat di dalamnya, tentang nisab zakat,
rincian ibadah haji, dan segala hukum mu'amalah dan ibadah?
Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa'id bin Hazm (wafat th. 456 H), yang
dikenal dengan Ibnu Hazm, berkata, “Dapat kiranya kita mengajukan
berbagai pertanyaan kepada orang yang rusak pendiriannya, yang tidak mau
menggunakan hadits sebagai hujjah. Di bagian manakah ia dapat menemukan
shalat Zhuhur empat rakaat dalam Al-Qur-an, cara sujud, bacaan shalat,
dan cara salam? Adakah penjelasan tentang berbagai larangan bagi orang
yang berpuasa, nishab zakat emas, perak, kambing, unta, dan sapi? Adakah
aturan rinci tentang pe-laksanaan ibadah haji, waktu wuquf di Arafah,
cara melaksanakan shalat di Muzdalifah, cara melempar jumrah, tata cara
ihram, dan larangannya? Adakah ketentuan tegas tentang balasan-balasan
potong tangan bagi pencuri, larangan kawin dengan saudara sepersusuan?
Adakah hukum yang rinci tentang makanan dan sembelihan yang diharamkan,
sifat sembelihan dan binatang kurban? Adakah rincian hukum pidana,
ketetapan hukum thalaq (cerai), hukum jual beli, riba, hukum perdata,
sumpah dan hukum tahanan, umrah, shadaqah, dan semua ke-tentuan fiqh
lainnya?
Di dalam Al-Qur-an terdapat ketentuan yang menyeluruh, yang apabila
rinciannya kita abaikan, kita tidak mungkin dapat melaksanakan isi
Al-Qur-an. Untuk itu kita harus kembalikan semuanya kepada apa yang
telah diriwayatkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
hadits-hadits beliau. Sekalipun kesepakatan ulama yang berkenaan dengan
persoalan yang sederhana, haruslah didasarkan pada hadits Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sekiranya masih ada orang yang
berpendirian bahwa hanya yang terdapat di dalam Al-Qur-an saja yang
dijadikan pegangan, maka menurut ijma' ulama orang tersebut telah kafir.
Karena orang yang berpendirian seperti itu, niscaya dia akan merasa
cukup shalat satu raka’at dari waktu terbit fajar hingga larut malam,
dia tidak akan menemukan dalam Al-Qur-an lebih dari sekedar perintah
shalat.
Orang yang Inkar Sunnah adalah kafir, musyrik, halal darah dan hartanya.
Mereka sama halnya dengan tokoh Rafidhah yang telah dihukumi kafir
menurut ijma’ ummat Islam.
Selain itu jika ada orang yang hanya berpegang pada pendapat yang
disepakati para imam saja, dan meninggalkan setiap yang diperselisihkan
padahal nash-nashnya ada, mereka menurut ijma’ ulama termasuk orang
fasik.
Atas kedua dasar itulah hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wajib dijadikan pegangan.[3]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari dalam Kitabul ‘Ilmi bab Kaifa Yuqbadhul ‘Ilmu? (Fat-hul Baary I/194) dan ad-Darimy (I/126).
[2]. Hadits shahih riwayat Ahmad (I/321), Abu Dawud (no. 3659), al-Hakim
(I/95) dan Ibnu Hibban (Shahih Mawariduzh Zham’an no. 65), dari jalan
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma.
[3]. Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam (I/214-215), cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar