TANGGAPAN DAN BANTAHAN ATAS PENOLAKAN KHABAR AHAD
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Dalam hal ini sesungguhnya kita harus meneliti dan memeriksa kembali
makna zhan dalam ayat-ayat itu menurut penafsiran para Shahabat, Tabi'in
dan Tabi'ut Tabi'in.
Sesungguhnya zhan (dugaan) yang termaktub dalam ayat-ayat di atas adalah
untuk menggambarkan keyakinan orang-orang kafir dan kaum musyrikin.
Mereka itu hanya mengikuti dugaan saja dalam ber’aqidah, hingga
keyakinan mereka tidaklah sampai kepada tingkat kepastian.
Zhan yang dimaksud dalam ayat-ayat itu adalah dusta, yaitu yang diyakini
oleh orang-orang musyrik. Dan yang menguatkan pengertian ini ialah
lanjutan firman Allah berikut ini:
إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
“...Mereka itu hanyalah mengikuti dugaan saja, dan sesungguhnya mereka itu hanyalah berdusta.” [Al-An’aam: 116]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ ۖ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“... Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang
sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap
kebenaran.” [An-Najm: 28]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah ketika menerangkan surat an-Najm ayat
28 berkata, “Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak mempunyai ilmu
yang benar dan tidak pula ucapan mereka. Bahkan mereka telah berdusta,
omongannya palsu, mengada-ada, dan telah berbuat kekufuran yang keji.
Mereka itu hanyalah mengikuti zhan yang tidak punya kepastian sedikit
pun, dan mereka tidak berada di atas kebenaran sama sekali. Sungguh
telah diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبَ الْحَدِيْثِ.
‘Jauhilah oleh kalian zhan (sangka-sangka), karena zhan itu adalah seburuk-buruk omongan dusta.’
Maka jauhilah dirimu dari orang-orang yang menolak kebenaran, dan tinggalkanlah mereka.” [1]
Sebenarnya dasar berfikir mereka hingga membedakan antara ‘aqidah dan
ahkam dalam penggunaan hadits ahad sebagai hujjah merupakan dasar
pemikiran filsafat yang dimasukkan ke dalam Islam [2]. Tentu saja hal
ini tidak pernah dilakukan oleh para Salafush Shalih dan empat Imam
madzhab. Pada hakekatnya mereka tidak punya dalil baik dari Al-Qur-an
maupun dari hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang
masalah ini. Adapun ayat-ayat yang mereka jadikan dasar adalah berkenaan
dengan orang-orang kafir dan musyrik.
Alangkah bodohnya orang yang mengambil ayat sepotong-sepotong kemudian
dijadikan hujjah sebagai dasar pemikiran tanpa melihat ayat-ayat lain
dan hadits-hadits maupun pendapat para Salafush Shalih. Mereka lakukan
yang demikian karena sudah sedemikian jauhnya mereka dari pemahaman
Al-Qur-an dan As-Sunnah sebagaimana yang dipahami oleh para Shahabat
Ridwanullah ‘alaihim ajma'in, dan mereka sudah terlalu disibukkan dengan
pendapat-pendapat tokoh filsafat dan sekte-sekte sesat.
Mereka juga menggunakan riwayat yang menunjukkan bahwa sejumlah Shahabat
tidak menggunakan hadits ahad, misalnya saja Abu Bakar yang menolak
hadits dari Mughirah mengenai warisan kepada nenek, beliau baru
menetapkannya setelah hadits tersebut dikuatkan oleh Muhammad bin
Maslamah. Demikian pula ‘Umar telah menolak hadits riwayat Abu Musa
tentang isti'dzan (yaitu minta izin masuk rumah setelah salam tiga
kali), dan baru menerapkannya setelah dikuatkan oleh Abu Sa'id. Juga Abu
Bakar dan ‘Umar menolak riwayat yang disam-paikan oleh ‘Utsman
berkenaan dengan pemberian izin Rasulullah j untuk menolak Hakam
al-Asyja'iy menge-nai mufawwadhah (hadits mengenai mahar yang tidak
sempat dibayar). Bahkan ‘Ali tidak mau menerima hadits ahad sebelum
mengangkat sumpah rawinya, terkecuali hadits yang diriwayatkan Abu
Bakar. Begitu pula ‘Aisyah menolak khabar ahad Ibnu ‘Umar tentang
disiksanya mayit karena ratapan tangisan keluarganya.[3]
Jawaban Terhadap Riwayat-Riwayat di Atas
Tidak diragukan lagi bahwa para Shahabat telah melaksanakan hukum atas
dasar hadits ahad. Hal ini dapat terlihat dengan jelas dalam
berita-berita mutawatir dan dalil-dalil serta perbuatan yang
dilaksanakan atas dasar hadits ahad. Sekiranya terdapat berita bahwa
para Shahabat menangguhkan beberapa khabar ahad, hal ini tidaklah
merupakan dalil bahwa mereka tidak beramal atas dasar khabar ahad, akan
tetapi mereka melakukan yang demikian semata-mata karena hati-hati atau
didorong oleh keinginan untuk berbuat baik atas dasar landasan yang
kokoh. Contoh penolakan Abu Bakar terhadap khabar yang diterima dari
Mughirah mengenai warisan kepada nenek, bukan karena beritanya bersifat
ahad, tetapi beliau menangguhkannya menanti adanya orang yang menguatkan
khabar tersebut atau (dimungkinkan) adanya tambahan keterangan. Hal ini
dilakukan beliau dengan alasan bahwa menurut pendapatnya, syari’at
Islam menetapkan hak waris bagi nenek seperenam bagian. Karena pendapat
itu tidak ada nashnya dalam Al-Qur-an, maka haruslah diusahakan dan
ditetapkan dengan segala kehati-hatian. Tetapi setelah Muhammad bin
Maslamah menguatkan bahwa ia pun menerimanya dari Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, maka Abu Bakar tidak ragu-ragu lagi menerima hadits
tersebut dan mengamalkannya. Demikian pula halnya penolakan ‘Umar
terhadap khabar Abu Musa.
Pada intinya, kejadian-kejadian tersebut di atas merupakan pelajaran
yang gamblang bagi para Shahabat dan generasi berikutnya yang menemukan
sesuatu hal yang baru dalam Islam, apa lagi menyangkut hadits Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang harus dilakukan dengan hati-hati.
Karena itulah ‘Umar berkata, “Saya bukan meragukanmu, tapi hal ini
menyangkut hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.”
Kehati-hatian seperti ini bisa diajukan dalam setiap kejadian yang
berkaitan dengan penerimaan hadits, tapi tujuannya bukan menolak
penggunaan hadits ahad se-bagai hujjah. Karena kalau kehati-hatian ini
tidak dilakukan, maka tidak akan terjalin mata rantai antara Shahabat
yang terdahulu dengan yang kemudian mengenai pengamatan dan pengamalan
khabar ahad. Mata rantai antara Shahabat kepada Shahabat yang lainnya
tidak keluar kedudukannya sebagai khabar ahad, walaupun diriwayatkan
oleh dua atau tiga rawi.
Sehubungan dengan ini al-Amidi berkata sebagai berikut: “Riwayat yang
ditolak atau yang ditangguhkan semata-mata karena tampak kontradiksi
(bertentangan) atau tidak terpenuhi persyaratan periwayatan, bukan
alasan untuk menolak penggunaan hadits ahad, bahkan di kalangan para
Shahabat telah sepakat untuk mengamalkan khabar ahad. Oleh karena itu,
terdapat kesepakatan bahwa Al-Qur-an dan As-Sunnah adalah hujjah,
walaupun dibolehkan meninggalkan dan menangguhkan (ketika itu) karena
adanya faktor luar yang dapat mempengaruhinya.” [4]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Tafsir r Ibnu Katsir (IV/269).
[2]. Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqaa-id wal Ahkam (hal. 54)
[3]. Al-Ihkam lil Amidy, dinukil dari as-Sunnah wa Makaanatuha fit Tasyri’ al-Islamy (hal. 192)
[4]. As-Sunnah wa Makaanatuha fit Tasyri’ al-Islamy (hal. 193-194)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar