AS-SUNNAH DAN DEFINISINYA
Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Kedudukan As-Sunnah dalam pembinaan hukum Islam dan pengaruhnya dalam
kehidupan kaum Muslimin mulai dari masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, para Shahabatnya, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in sampai zaman sekarang
ini dan sampai hari Kiamat merupakan suatu kenyataan yang diterima
sebagai kebenaran yang pasti dan tidak perlu dibuktikan lagi serta tidak
dapat diragukan. Barangsiapa yang menela’ah Al-Qur-an dan As-Sunnah,
niscaya akan menemukan besarnya pengaruh As-Sunnah dalam pembinaan
syari’at Islam dan keagungan serta keabadiannya yang tidak mungkin
diingkari oleh pakar-pakar yang mengerti masalah ini.
Pembinaan hukum yang luhur diakui oleh para ahli ilmu di segala penjuru
dunia. Kekaguman mereka menjadi bertambah apabila mempelajari As-Sunnah
dengan sistem sanad yang telah dipaparkan oleh para ahli hadits,
rangkaian sanad yang sampai kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dari ahli hadits telah diteliti dan diuji serta mereka menulis
kitab-kitab jarh wat ta’dil tentang para perawi hadits, hingga dengan
cara demikian dapat dibedakan mana hadits yang shahih, dha’if dan
maudhu’.
Namun, di samping adanya ulama yang berjuang membela As-Sunnah, ada pula
orang-orang yang merongrong terhadap Islam, mereka menolak As-Sunnah,
meragukan hujjah As-Sunnah serta meragukan pula pengumpulan hadits dan
penyampaian riwayat dari para Shahabat, Tabi’in dan orang-orang setelah
mereka. Dalam pandangan sesat inilah terdapat persesuaian antara
penentang-penentang Islam dari kalangan orang-orang kafir, munafiq dan
kaum orientalis.
Perjuangan musuh-musuh Islam terus berlanjut dari zaman para Shahabat
Ridhwanullaahu ‘alaihim sampai hari ini. Mereka berusaha memadamkan
cahaya Islam, menghancurkan segala hal yang berkaitan dengan Al-Qur-an
dan As-Sunnah, membunuh dan memenjarakan penyebar panji Islam serta
memutar-balikkan fakta sejarah Islam yang benar. Tetapi Allah akan
senantiasa menyempurnakan cahaya Islam.
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut
(ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahayanya
meskipun orang-orang kafir benci.” [Ash-Shaff: 8]
Ironisnya, justeru para penentang Islam dewasa ini di dalamnya terdapat
tokoh-tokoh yang dianggap ulama dan cendekiawan yang mereka terpengaruh
dan diperalat oleh musuh-musuh Islam dari Yahudi dan Nasrani serta para
orientalis yang menghancurkan Islam.
Adapun sebab-sebab terjeratnya sebagian tokoh kaum Muslimin oleh kaum
orientalis Yahudi dan Nasrani yang jelas-jelas menentang Islam adalah:
a. Mereka tidak menguasai hakekat Islam yang diwariskan dan tidak
menelaahnya dari sumber-sumber yang asli, yaitu Al-Qur-an dan As-Sunnah
yang shahih.
b. Tertipu oleh “sistematika-sistematika ilmiah yang semu” yang mengundang mereka kepada konflik.
c. Ada keinginan supaya terkenal sebagai ahli fikir, pakar atau supaya
dikatakan sebagai tokoh cendekiawan, tujuannya mencari popularitas
dunia.
d. Dirinya dikuasai oleh hawa nafsu sehingga pemikirannya yang sesat
tidak dapat bergerak melainkan hanya mengekor kepada kaum orientalis.
e. Mereka berambisi untuk mendapatkan harta yang banyak, kedudukan dan
pangkat, sehingga mereka menyembunyikan kebenaran ayat-ayat Allah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنزَلَ اللَّهُ مِنَ الْكِتَابِ
وَيَشْتَرُونَ بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا ۙ أُولَٰئِكَ مَا يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ إِلَّا النَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ أُولَٰئِكَ
الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَىٰ وَالْعَذَابَ
بِالْمَغْفِرَةِ ۚ فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ ذَٰلِكَ بِأَنَّ
اللَّهَ نَزَّلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ ۗ وَإِنَّ الَّذِينَ اخْتَلَفُوا
فِي الْكِتَابِ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang telah
diturunkan Allah, yaitu Al-Kitab dan menjualnya dengan harga yang
sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke
dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada
mereka pada hari Kiamat dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka
siksa yang amat pedih. Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan
dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka, alangkah beraninya
mereka menentang api Neraka! Yang demikian itu adalah karena Allah telah
menurunkan Al-Kitab dengan membawa kebenaran; dan sesung-guhnya
orang-orang yang berselisih tentang (kebenaran) Al-Kitab itu,
benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (dari kebenaran).” [Al-Baqarah:
174-176][1]
Tidak diragukan lagi bahwa pertentangan yang terjadi antara umat Islam
dan penentang-penentangnya tidak akan selesai dan berhenti begitu saja
sebelum maksud jahat mereka terbongkar dan terkalahkan. Pertentangan ini
berlangsung antara haq dan hawa nafsu, antara ilmu dan kebodohan,
antara lapang dada dan dendam, serta antara cahaya dan kegelapan.
Menurut Sunnatullaah, kebenaran, ilmu, sikap lapang dada dan cahaya itu
selamanya pasti menang, sebagai-mana diisyaratkan Allah dalam
firman-Nya:
بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ ۚ وَلَكُمُ الْوَيْلُ مِمَّا تَصِفُونَ
“Bahkan Kami (Allah) melemparkan yang haq itu atas kebathilan, sehingga
yang haq itu menghancurkannya dan musnahlah kebathilan itu. Dan
kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat
yang tidak layak).” [Al-Anbiyaa’: 18]
Di antara tokoh-tokoh yang menentang Sunnah adalah Mahmud Abu Rayyah
dalam buku Adhwaa-u ‘alas Sunnah Muhammadiyyah, Dr. Thaha Husain, Dr.
‘Ali Hasan ‘Abdul Qadir, Anderson, Goldzieher, Schacht, Har Gibb, Philip
K. Hitti, Dr. Taufiq Shidqi dalam maka-lahnya: al-Islam Huwal Qur-aan
Wahdah, dan selainnya.[2]
MAKNA AS-SUNNAH DALAM SYARI’AT ISLAM
A. Menurut Etimologi (Bahasa)
Menurut etimologi (bahasa) Arab, kata As-Sunnah diambil dari kata-kata:
سَنَّ - يَسِنُّ - وَيَسُنُّ - سَنًّا فَهُوَ مَسْنُوْنٌ وَجَمْعُهُ سُنَنٌ. وَسَنَّ اْلأَمْرَ أَيْ بَيَّنَهُ.
a. Artinya: “Menerangkan.”
وَالسُّنَّةُ: السِّيْرَةُ وَالطَّبِيْعَةُ وَالطَّرِيْقَةُ.
b. Sunnah artinya: “Sirah, tabi’at, jalan.”
وَالسُّنَّةُ مِنَ اللهِ: حُكْمُهُ وَأَمْرُهُ وَنَهْيُهُ.
c. Sunnah dari Allah artinya: “Hukum, perintah dan larangan-Nya.” [3]
Menurut bahasa, kata As-Sunnah berarti jalan, atau tuntunan baik yang
terpuji maupun yang tercela, sesuai dengan hadits Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam :
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ
مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ
شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ
وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ
يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.
‘Barangsiapa yang memberi teladan (contoh) perbuatan yang baik, ia akan
mendapatkan pahala perbuatan tersebut serta pahala orang yang
mengikutinya (sampai hari Kiamat) tanpa mengurangi pahala mereka sedikit
pun. Barangsiapa yang memberikan contoh kejelekan, maka ia akan
mendapatkan dosa perbuatan tersebut serta dosa orang-orang yang
mengikutinya (sampai hari Kiamat) tanpa mengurangi dosa mereka sedikit
pun.’” [4]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا
بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ سَلَكُوْا حُجْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوْهُ.
“Sesungguhnya kalian akan menempuh jalan (mencontoh) orang-orang sebelum
kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga
sekiranya mereka memasuki lubang biawak sekalipun, kalian akan ikut
memasukinya.” [5]
Bila disebut Sunnatullaah, artinya adalah hukum-hukum Allah, perintah dan larangan-Nya yang dijelaskan kepada manusia.
Allah al-Hakiim berfirman:
سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِن قَبْلُ
“Sunnatullaah tentang orang-orang sebelummu...” [Al-Ahzaab: 62]
Di antara lafazh Sunnah dalam Al-Qur-an yang berarti jalan, cara yang baik atau buruk.
Allah al-‘Aziiz berfirman:
يُرِيدُ اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ
“Allah hendak menerangkan (hukum syari’at-Nya) kepadamu dan menunjukimu
kepada jalan-jalan orang-orang sebelummu...” [An-Nisaa’: 26]
Yakni, Allah akan menunjukkan kepada kalian cara-cara orang sebelum
kalian, yaitu cara (perjalanan hidup) mereka yang terpuji.[6]
Terkadang pula Sunnah bermakna balasan dari perbuatan tercela, yaitu
Sunnah-Nya tentang pembinasaan ummat-ummat yang durhaka kepada
Rasul-Rasul-Nya.
Di antaranya firman Allah:
قُل لِّلَّذِينَ كَفَرُوا إِن يَنتَهُوا يُغْفَرْ لَهُم مَّا قَدْ سَلَفَ وَإِن يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّتُ الْأَوَّلِينَ
“Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang-orang kafir apabila mereka
berhenti dari kekufuran mereka, maka Allah akan ampunkan dosa-dosa
mereka yang terdahulu. Jika mereka kembali (berbuat kejelekan), maka
telah berlaku Sunnah bagi orang-orang terdahulu.” [Al-Anfaal: 38]
Dan firman-Nya:
لَا يُؤْمِنُونَ بِهِ ۖ وَقَدْ خَلَتْ سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ
“Mereka itu tidak beriman kepada Nabi padahal telah lalu Sunnah terhadap orang-orang terdahulu.” [Al-Hijr: 13]
Sunnah di sini maksudnya adalah balasan Allah tentang pembinasaan ummat-ummat yang durhaka kepada Rasul-Rasul-Nya. [7]
]https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Lihat juga surat al-Baqarah ayat 159-160.
[2]. As-Sunnah wa Makaanatuha fit Tasyri’ Islami oleh Dr. Mushthafa
as-Siba’i, cetakan al-Maktab al-Islami th. 1398 H, atau pada hal. 15-37,
cetakan I/ Daarul Warraaq th. 1419 H. Diraasat fil Hadits an-Nabawy
(hal. 26), Dr. Muhammad Musthafa al-A’zhumy, Difaa’ ‘anis Sunnah, Dr.
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah.
[3]. Al-Qamusul Muhith (IV/231), Lisanul Arab (VI/399-400) dan Mukh-taarush Shihaah (hal. 317).
[4]. Hadits shahih riwayat Ahmad (IV/357, 358, 359, 360, 361, 362),
Muslim (no. 1017), an-Nasa-i (V/76-77), ad-Darimi (I/ 130-131), Ibnu
Majah (no. 203), Ibnu Hibban (no. 3308), at-Ta’liiqatul Hisaan ‘ala
Shahih Ibni Hibban (no. 3297), ath-Thahawi dalam al-Musykiil (no. 243),
ath-Thayalisi (no. 705) dan al-Baihaqi (IV/175-176), dari Shahabat Jarir
bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu.
[5]. Hadits shahih riwayat Ahmad (III/84, 89), al-Bukhari (no. 3456,
7320), Muslim (no. 2669) dan Ibnu Majah (no. 3994), dari Shahabat Abu
Sa’id al-Khudry Radhiyallahu anhu.
[6]. Tafsir Ibni Katsiir (I/522) dan Tafsir Fat-hul Qadir (I/452).
[7]. Lihat tafsir ayat tersebut dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir (II/341 dan 602).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar