MENZIARAHI KOTA MADINAH AL-MUNAWARAH*https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,Keutamaan Kota Madinah
Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ تَعَالَىٰ سَمَّى الْمَدِينَةَ طَابَةَ.
“Sesungguhnya Allah Subahnahu wa Ta'ala menamakan Madinah dengan Thabah.” [1]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu a'nhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْمَدِيْنَةَ كَالْكِيْرِ، تُخْرِجُ الْخَبِيْثَ، لاَ تَقُومُ
السَّاعَةُ حَتَّى تَنْفِيَ الْمَدِيْنَةُ شِرَارَهَا، كَمَا يَنْفِي
الْكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيْدِ.
“Sesungguhnya Madinah itu seperti alat peniup api yang mengeluarkan hal
yang kotor. Tidak akan terjadi Kiamat itu sampai Madinah menghilangkan
keburukan-keburukan yang ada di dalamnya sebagaimana alat peniup api
mengilangkan kotoran besi.” [2]
Keutamaan Masjid Nabawi Dan Shalat Di Dalamnya
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia menyatakan bahwa hadits ini bersambung kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِ الْحَرَامِ، وَمَسْجِدِي هَذَا، وَمَسْجِدِ اْلأَقْصَى.
“Tidak boleh mengadakan perjalanan kecuali ke tiga masjid; Masjidil Haram, masjidku ini, dan Masjidil Aqsa.” [3]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي هٰذَا، خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِي غَيْرِهِ مِنَ الْمَسَاجِدِ، إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ.
"Shalat di masjidku ini lebih baik daripada seribu kali shalat di masjid lain, kecuali Masjidil Haram.’” [4]
Dari ‘Abdullah bin Zaid bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا بَيْنَ بَيْتِي وَمِنْبَرِي رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ.
“Di antara rumahku dan mimbarku terdapat taman dari taman-taman Surga.” [5]
Adab-Adab Mengunjungi Masjid Nabawi Yang Mulia Dan Kuburan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Yang Mulia
Keutamaan yang khusus dimiliki oleh Masjid Nabawi yang mulia, Masjidil
Haram dan Masjid Aqsha adalah kemuliaan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala
untuk tiga masjid ini dan kelebihan shalat di dalamnya daripada shalat
di tempat lain. Barangsiapa yang datang mengunjungi Masjid Nabawi
hendaknya datang untuk mendapatkan pahala dan memenuhi panggilan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menganjurkan untuk mengunjungi dan
menziarahi Masjid Nabawi.
Tidak ada adab-adab yang dikhususkan untuk tiga masjid ini dari
masjid-masjid yang lain, kecuali kerancuan yang bisa saja terjadi pada
sebagian manusia, akhirnya mereka menetapkan adab-adab khusus untuk
Masjid Nabawi. Kerancuan ini tidak akan pernah terjadi seandainya kubur
Rasulullah yang mulia tidak di dalam masjid.
Agar urusan ini menjadi jelas bagi kaum muslimin apabila ia datang ke
Madinah dan ingin mengunjungi Masjid Nabawi, kami akan membawakan
adab-adab menziarahi masjid ini:
1. Apabila ia masuk hendaknya ia masuk dengan kaki kanan kemudian membaca:
اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ، اَللّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ.
“Ya Allah, semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Muhammad. Ya Allah, bukalah pintu-pintu rahmat-Mu untukku,” [6]
Atau membaca:
أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.
“Aku berlindung kepada Allah Yang Mahaagung, dengan wajah-Nya Yang
Mahamulia dan kekuasaan-Nya yang abadi, dari syaitan yang terkutuk.” [7]
2. Shalat Tahiyatul Masjid dua raka’at sebelum duduk.
3. Hendaknya menghindari shalat ke arah kuburan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam yang mulia dan menghadap ke kuburan tersebut ketika
berdo’a.
4. Kemudian menuju kuburan Nabi yang mulia untuk memberi salam kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Hendaknya ia menghindari meletakkan tangan di atas dada, menganggukkan
(menundukkan) kepala, merendahkan diri yang tidak pantas dilakukan
kecuali kepada Allah saja dan beristigatsah kepada Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam. Hendaknya ia memberi salam kepada Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam dengan kalimat dan lafazh yang ia pakai untuk memberi
salam kepada orang yang dikuburkan di Baqi’. Ada beberapa bacaan yang
shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di antaranya:
اَلسَّلاَمُ عَلَىٰ أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
وَالْمُسْلِمِيْنَ وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا
وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ، بِكُمْ لَلاَحِقُونَ.
“Semoga kesejahteraan untukmu, wahai penduduk kampung (barzakh) dari
orang-orang mukmin dan muslim. Semoga Allah merahmati orang-orang yang
terdahulu dan orang-orang yang terakhir di antara kita. Sesungguhnya
kami -insya Allah- akan menyusul kalian.” [8]
Kemudian memberi salam kepada dua Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ; Abu Bakar dan ‘Umar dengan salam yang sama.
5. Bukan adab yang baik mengangkat suara di masjid atau di dekat kubur
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia. Hendaknya ia bersuara
dengan suara yang rendah, karena sopan santun terhadap Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah wafat sama dengan sopan santun
ketika beliau hidup.
6. Hendaknya ia selalu menjaga shalat berjama’ah di shaf yang pertama, karena keutamaannya yang banyak dan pahalanya yang besar.
7. Hendaknya semangat untuk shalat di Raudhah tidak membuatnya terlambat
mendapatkan shaf pertama. Tidak ada keutamaan yang membedakan antara
shalat di Raudhah dengan shalat di seluruh bagian masjid.
8. Tidak termasuk Sunnah, menjaga (melaksanakan) shalat empat puluh
raka’at (shalat arba’in) berturut-turut di masjid Nabawi dengan dasar
hadits yang masyhur diucapkan orang dari mulut ke mulut:
مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِيْنَ صَلاَةً لاَ يَفُوْتُهُ صَلاَةٌ،
كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَنَجَا مِنَ الْعَذَابِ،
وَبَرِىءَ مِنَ النِّفَاقِ.
“Barangsiapa yang shalat di masjidku empat puluh shalat, ia tidak pernah
ketinggalan satu shalat pun, maka ia akan dicatat jauh dari api Neraka,
selamat dari adzab dan jauh dari kemunafikan.” [9]
Hadits ini dha’if, tidak shahih!!
9. Tidak disyari’atkan memperbanyak kunjungan ke makam Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun salam akan disampaikan kepada
beliau dimanapun orang yang menyalami itu berada. Walaupun ia berada di
ujung dunia, ia dan orang yang di depan kuburan Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam sama-sama mendapat pahala memberi salam dan shalawat kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
10. Jika ia keluar dari masjid, tidak perlu berjalan mundur, hendaknya ia keluar dengan kaki kiri dan membaca:
اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ، اَللّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ.
“Ya Allah, curahkanlah shalawat dan salam kepada Muhammad. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu berupa karunia-Mu” [10]
Masjid Quba
Disunnahkan bagi orang yang datang ke Madinah untuk pergi menuju masjid
Quba, lalu shalat di sana, mencontoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam yang selalu mengunjungi masjid Quba dengan berjalan kaki, beliau
datang ke masjid Quba pada hari Sabtu dan shalat dua raka’at di sana.
[11]
Beliau bersabda:
مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ، ثُمَّ أَتَىٰ مَسْجِدَ قُبَاءٍ، فَصَلَّى فِيْهِ، كَانَ لَهُ كَأَجْرِ عُمْرَةٍ.
“Barangsiapa yang bersuci di rumahnya kemudian mendatangi masjid Quba
dan shalat di sana, ia akan mendapat pahala seperti pahala umrah.” [12]
Baqi’ Dan Uhud
Baqi’ adalah kuburan kaum muslimin di Madinah, di sana ada banyak
kuburan para Sahabat. Sampai sekarang kuburan itu masih dipakai untuk
menguburkan kaum muslimin, kebanyakan di antara mereka adalah
orang-orang yang mendatangi Madinah dengan keinginan agar mati di
Madinah hingga dapat dikubur di Baqi’.
Dan,
أُحُدٌ جَبَلٌ يُحِبُّنَا وَنُحِبُّهُ.
“Uhud adalah gunung yang mencintai kami dan kami mencintainya.”
Di gunung ini dikubur tujuh puluh lebih syuhada, yaitu orang-orang yang
ikut berperang dalam peperangan yang terjadi di situ, sehingga perang
itu dinisbatkan ke gunung itu dan diberi nama ‘Perang Uhud.’
Tidak ada larangan jika ada seseorang datang ke Madinah kemudian hendak
mengunjungi Baqi’ dan para syuhada uhud. Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam dulu telah melarang ziarah kubur, kemudian membolehkannya agar
mengingatkan kita pada kematian dan mengambil pelajaran dari tempat
kembali orang-orang yang dikubur tersebut. Namun kita wajib berhati-hati
agar tidak bertabarruk (mencari berkah) dengan kuburan, meminta tolong
kepada penghuni kubur, meminta syafa’at kepada mereka bagi orang-orang
yang hidup dan bertawassul (beribadah melalui perantara) dengan mereka
kepada Rabb alam semesta.
Tidak disyari’atkan bagi seseorang untuk datang ke Uhud menuju tempat
yang dikatakan tempat shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di
lereng gunung untuk shalat di sana atau memanjat gunung Uhud guna
mencari berkah atau memanjat gunung para pemanah guna meniti jejak para
Sahabat. Hal itu dan apa saja selain salam dan do’a untuk para syuhada
tidak disyari’atkan dan bukan hal yang disukai dalam syari’at, bahkan
ini termasuk perkara yang diada-adakan yang di-larang. Mengenai hal ini
‘Umar Radhiyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya yang membuat umat
sebelummu celaka adalah mencari-cari jejak para Nabi mereka (yang tidak
disyari’atkan untuk diikuti).” Hendaknya perkataan ‘Umar ini dapat
membuat kita puas dan menghentikan perbuatan-perbuatan seperti itu.
Muzaaraat (Tempat-Tempat Yang Diziarahi)
Di Madinah ada tempat lain yang dikenal dengan nama Muzaaraat, seperti
tujuh masjid yang dekat dengan medan perang Khandaq, masjid Qiblatain,
beberapa sumur, masjid Gumamah, beberapa masjid yang dinisbatkan kepada
Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Aisyah -semoga Allah meridhai mereka semua-.
Mengkhususkan kunjungan ke semua masjid ini tidak disyari’atkan. Tidak
boleh sekali-kali bagi para pengunjung masjid-masjid ini menyangka bahwa
dengan menziarahi masjid-masjid itu ia akan mendapat tambahan pahala,
karena sesungguhnya mencari-cari jejak para Nabi dan orang-orang shalih
adalah sebab kehancuran umat sebelum kita. Tidak dibenarkan bagi kaum
muslimin menyeselishi petunjuk Nabi mereka Shallallahu 'alaihi wa sallam
dan petunjuk para Sahabat. Karena kebaikan yang paling baik terdapat
dalam petunjuk Nabi dan para Sahabatnya, dan keburukan yang paling buruk
adalah menyelisihi petunjuk Nabi dan para Sahabatnya.
Peringatan yang Sangat Penting
Pertama, banyak orang berusaha untuk tinggal di Madinah lebih lama
ketimbang tinggal di Makkah sedangkan shalat di Masjidil Haram setara
dengan shalat seratus ribu kali di masjid lain. Adapun shalat di masjid
Nabawi setara dengan shalat seribu kali di masjid lain.
Perbedaan keutamaan shalat di Makkah dengan shalat di Madinah sangat
besar, hendaknya jama’ah haji merasa puas dengan tinggal lebih lama di
Makkah daripada di Madinah
Kedua, banyak jama’ah haji menyangka bahwa ziarah ke Masjid Nabawi
adalah salah satu dari rangkaian manasik haji. Oleh karena itu, mereka
berusaha dengan semangat tinggi untuk menziarahi Masjid Nabawi
sebagaimana usaha mereka untuk mengerjakan manasik haji. Sampai-sampai
jika ada seseorang menunaikan ibadah haji kemudian tidak mengunjungi
Masjid Nabawi, menurut mereka hajinya kurang!!
Mereka membawakan hadits-hadits yang palsu, seperti, “Barangsiapa yang
menunaikan ibadah haji, kemudian tidak datang mengunjungiku, maka ia
benar-benar telah memutuskan hubungan denganku.”
Perkara ini tidak seperti prasangka mereka. Ziarah Masjid Nabawi
hukumnya sunnah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mensyari’atkan
shalat di sana, namun tidak ada hubungan antara ziarah dengan ibadah
haji. Sahnya haji tidak tergantung pada ziarah Masjid Nabawi, bahkan
kesempurnaan haji pun tidak tergantung pada ziarah. Karena ziarah ke
Masjid Nabawi bukan termasuk manasik haji, namun ziarah ini
disyari’atkan karena masjid itu sendiri.
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz,https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
* Irsyaadus Saari.
[1]. Shahih: [Shahiih al-Jaami'ish Shaghiir (no. 1775)], Shahiih Muslim (II/1007, no. 1385).
[2]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 782)], Shahiih Muslim (II/1005, no. 1381).
[3]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/63, no. 1189), Shahiih
Muslim (II/1014, no. 1397), Sunan Abi Dawud (VI/15, no. 2017), Sunan
an-Nasa-i (II/37).
[4]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/63, no. 1190), Shahiih
Muslim (II/1012, no. 1394), Sunan at-Tirmidzi (I/204, no. 324), Sunan
an-Nasa-i (II/35).
[5]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/70, no. 1195), Shahiih Muslim (II/1010, no. 1390), Sunan an-Nasa-i (II/35).
[6]. Hadits ini telah dibawakan
[7]. Hadits ini telah dibawakan.
[8]. Hadits ini telah dibawakan.
[9]. Dikeluarkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits
ad-Dha’iifah (no. 364) dan beliau berkata, “Dikeluarkan oleh Ahmad
(III/155) dan ath-Thabrani dalam kitab al-Mu’jamul Ausath (II/125, no.
1) dari kitab Zawaa-id al-Mu’jamiin melalui jalan ‘Abdurrahman bin Abi
Rijal dari Nubaith bin ‘Amr dari Anas bin Malik secara marfu’.”
Ath-Thabrani berkata: “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Anas
kecuali Nubaith kemudian ‘Abdur-rahman sendirian meriwayatkan hadits
ini.” Al-Albani berkata, “Sanad ha-dits ini dha’if, Nubaith tidak
dikenal kecuali dalam hadits ini.” Selesai
[10]. Hadits ini telah dibawakan
[11]. Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (III/69, no. 1193-1194),
Shahiih Muslim (II/1016, no. 1399), Sunan Abi Dawud (VI/25, no. 2024),
Sunan an-Nasa-i (II/37).
[12]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 116)], Sunan Ibni Majah (I/453, no. 1412).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar