GOLONGAN YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT. https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag, Allah berfirman:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ
عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ
وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekaan) budak, orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu
ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana.” [At-Taubah: 60]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat ini (II/364),
“Manakala Allah menyebutkan penolakan orang-orang munafik dan
pencelaannya kepada Rasulullah j dalam masalah pembagian sedekah. Dia
melanjutkannya dengan menjelaskan bahwa yang menetapkan pembagian
tersebut, menerangkan hukumnya serta yang menangani masalah ini adalah
Allah sendiri. Dia tidak mewakilkan pembagiannya kepada seorang pun,
kemudian Dia-lah yang membagi shadaqah tersebut kepada golongan-golongan
yang tersebut di dalam ayat di atas.”
Apakah Wajib Membagi Rata Harta Zakat Kepada Semua GolonganTersebut?
Berkata Ibnu Katsir rahimahullah, “Para ulama berselisih pendapat
berkenaan dengan delapan golongan yang berhak menerima zakat, apakah
wajib menyerahkan harta zakat kepada setiap golongan atau boleh
diserahkan kepada sebagian golongan saja yang memungkinkan untuk
diberikan kepadannya? Dalam masalah ini ada dua pendapat:
Pertama: Wajib menyerahkannya kepada semua golongan dan ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i dan jama’ah para ulama.
Kedua: Tidak wajib menyerahkannya kepada semua golongan, bahkan boleh
membagikannya kepada satu golongan saja dan menyerahkan semua harta
zakat kepada mereka walaupun ada golongan yang lain. Dan ini adalah
pendapat Imam Malik dan beberapa orang dari kaum Salaf dan khalaf, di
antara mereka ‘Umar, Hudzaifah, Ibnu ‘Abbas, Abul ‘Aliyah, Sa’id bin
Zubair dan Maimun bin Mihran. Berkata Ibnu Jarir, ‘Ini adalah pendapat
kebanyakan ahli ilmu.’ Berdasarkan pendapat ini, maka tujuan penyebutan
golongan-golongan tersebut dalam ayat ini adalah untuk menerangkan
tentang golongan yang berhak menerima zakat bukan untuk menjelaskan
kewajiban membagikannya kepada semua golongan tersebut.”
Ibnu Katsir rahimahullah kembali berkata, “Kami akan menyebutkan
beberapa hadits yang berkaitan dengan delapan golongan tersebut:
Pertama : Orang-Orang Fakir
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Amr Radhiyallahu anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقََةُ لِغَنِيٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ سَوِيٍّ.
“Zakat tidak halal diberikan kepada orang kaya dan mereka yang memiliki kekuatan untuk bekerja.” [1]
Dari ‘Ubaidillah bin 'Adi bin al-Khiyar bahwa ada dua orang yang telah
bercerita kepadanya bahwa mereka telah menghadap Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam untuk meminta zakat kepada beliau. Kemudian beliau
memperhatikan mereka dan beliau melihat mereka masih kuat, lalu beliau
bersabda:
إِنْ شِئْتُمَا أَعْطَيْتُكُمَا وَلاَ حَظَّ فِيْهَا لِغَنِيٍّ وَ لاَ لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ.
“Jika kalian mau aku akan berikan kalian zakat, namun tidak ada zakat
bagi orang kaya dan mereka yang masih kuat untuk bekerja.” [2]
Kedua : Orang-Orang Miskin
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
لَيْسَ الْمِسْكِيْنُ بِهَذَا الطَّوَافِ الَّذِي يَطُوْفُ عَلَى النَّاسِ,
فَتَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ, وَالتَّمْرَةُ
وَالتَّمْرَتَانِ, قَالُوْا فَمَا الْمِسْكِيْنُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟
قَالَ: اَلَّذِي لاَيَجِدُ غِنًى يُغْنِيْهِ, وَلاَ يُفْطَنُ لَهُ
فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ, وَلاَ يَسْأَلُ النَّاسَ.
“Bukanlah termasuk orang miskin mereka yang keliling meminta-minta
kepada manusia, kemudian hanya dengan sesuap atau dua suap makanan dan
satu atau dua buah kurma ia kembali pulang.” Para Sahabat bertanya,
“Kalau begitu siapakah yang dikatakan sebagai orang miskin, wahai
Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang miskin adalah orang yang tidak
mempunyai sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhannya. Namun tidak ada yang
mengetahui keadaannya sehingga ada yang mau memberinya sedekah dan ia
juga tidak meminta-minta kepada manusia.” [3]
Ketiga : Amil Zakat
Mereka adalah petugas yang mengumpulkan dan menarik zakat, mereka berhak
menerima sejumlah harta zakat sebagai ganjaran atas kerja mereka dan
tidak boleh mereka termasuk dari keluarga Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam yang diharamkan atas mereka memakan se-dekah, sebagaimana
yang diriwayatkan dalam Shahiih Muslim dari ‘Abdul Muththalib bin
Rabi’ah bin al-Harits, bahwasanya ia dan al-Fadhl bin al-‘Abbas pergi
menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta agar
mereka berdua dijadikan sebagai amil zakat, maka Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الصَّدَقَةَ لاَتَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلاَ ِلآلِ مُحَمَّدٍ, إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ.
“Sesungguhnya zakat itu tidak halal bagi Muhammad dan keluarga Muhammad, karena ia sebenarnya adalah kotoran manusia.” [4]
Keempat : Mu-allaf (Orang-Orang yang Dilunakkan Hatinya)
Mereka ada beberapa macam. Ada yang diberikan harta zakat agar mereka
masuk Islam, sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah
memberikan Shafwan bin Umayyah harta dari hasil rampasan perang Hunain,
dan dia ikut berperang dalam keadaan masih musyrik, ia bercerita,
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak henti-hentinya memberiku
harta rampasan hingga akhirnya beliau menjadi manusia yang paling aku
cintai, padahal sebelum itu beliau adalah manusia yang paling aku
benci.” [5]
Dan di antara mereka ada yang sengaja diberikan harta zakat agar mereka
semakin bagus keislamannya dan semakin kuat hatinya dalam Islam,
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
salla ketika perang Hunain, beliau memberikan seratus ekor unta kepada
sekelompok pemuka kaum ath-Thulaqa’ (orang-orang kafir Quraisy yang
tidak diperangi di saat penaklukan Makkah), kemu-dian beliau bersabda:
إِنِّي َلأُعْطِيَ الرَّجُلَ، وَغَيْرَهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهُ, خَشْيَةَ
أَنْ يَكُبَّهُ اللهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ.
“Sesungguhnya aku memberi (harta) pada seseorang, padahal yang lainnya
lebih aku cintai daripadanya, hanya saja aku takut Allah akan
memasukkannya ke dalam Neraka.” [6]
Dalam ash-Shahiihain diriwayatkan dari Abu Sa’id, bahwasanya ‘Ali
menyerahkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam emas mentah
batangan dari Yaman, kemudian beliau membagikannya kepada empat orang,
al-Aqra’ bin Habis, ‘Uyainah bin Badar, ‘Alqamah bin ‘Ulatsah dan Zaid
al-Khair, lalu beliau bersabda, “Aku ingin melunakkan hati mereka.” [7]
Di antara mereka ada yang diberikan zakat dengan maksud agar orang-orang
yang seperti mereka ikut masuk Islam. Juga ada yang diberikan harta
zakat supaya nantinya bisa mengumpulkan harta zakat dari orang-orang
yang setelahnya atau untuk mencegah bahaya dari beberapa negeri terhadap
kaum muslimin.
Allaahu a'lam.
Apakah harta zakat masih diberikan kepada orang-orang yang dilunakkan
hatinya setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggal ?
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat:
Diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Amir, Sya’bi dan sejumlah ulama lainnya,
bahwasanya mereka tidak diberikan harta zakat setelah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, karena Islam dan kaum muslimin
telah jaya dan mereka telah menguasai beberapa negara, serta telah
ditundukkan bagi mereka banyak kaum.
Dan pendapat yang lain mengatakan bahwasanya mereka tetap berhak
menerima zakat, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap
memberikan mereka zakat setelah penaklukan Makkah dan Hawazin. Dan
perkara ini terkadang dibutuhkan sehingga harta zakat diberikan kepada
mereka.”
Kelima :Budak
Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri, Muqatil bin Hayyan, ‘Umar bin
‘Abdil ‘Aziz, Sa’id bin Jubair, an-Nakha’i, az-Zuhri dan Ibnu Zaid
mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan budak adalah al-Mukatab
(budak yang telah mengadakan perjanjian dengan tuannya untuk membayar
sejumlah uang sebagai tebusan atas dirinya). Hal ini juga diriwayatkan
dari Abu Musa al-‘Asyari. Dan ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i juga
al-Laitsi. Berkata Ibnu ‘Abbas dan al-Hasan, “Tidak mengapa harta zakat
tersebut dijadikan sebagai tebusan untuk memerdekakan budak.” Dan ini
adalah madzhab Ahmad, Malik dan Ishaq. Maksudnya bahwa memberikan zakat
kepada budak sifatnya lebih umum dari sekedar memerdekakan al-Mukatab
atau membeli budak, kemudian memerdekakannya. Banyak sekali
hadits-hadits yang menerangkan tentang pahala orang-orang yang
memerdekakan budak. Dan sesungguhnya Allah akan membebaskan dari api
Neraka anggota badan orang yang memerdekakan budak sebagai ganjaran dari
anggota badan budak yang ia merdekakan, hingga kemaluan dengan kemaluan
[8]. Hal ini semua karena balasan dari suatu amalan se-suai dengan
jenis amalan tersebut:
وَمَا تُجْزَوْنَ إِلاَّ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ.
“Dan tidaklah kalian diberi ganjaran kecuali sesuai dengan amalan yang kalian kerjakan.”
Keenam : Orang yang Berhutang
Mereka ada beberapa jenis, ada yang menanggung hutang orang lain dan
manakala telah sampai waktu pembayaran ia menggunakan hartanya untuk
melunasinya sehingga hartanya habis, ada yang tidak bisa melunasi
hutangnya, ada yang merugi karena kemaksiatan yang diperbuat kemudian
dia bertaubat, mereka inilah yang berhak menerima zakat.
Dalil dalam masalah ini adalah hadits Qabishah bin Mukhariq al-Hilali,
ia berkata, “Aku sedang menanggung hutang orang lain, kemudian aku
mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta
bantuan beliau, beliau berkata, “Tunggulah, jika ada zakat yang kami
dapatkan kami akan menyerahkannya kepadamu.” Selanjutnya beliau
bersabda:
يَا قَبِيْصَةُ , إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَتَحِلُّ إِلاَّ ِلأَحَدِ
ثَلاَثَةٍ: رَجُلٌ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ
حَتَّى يُصِيْبَهَا ثُمَّ يُمْسِِكَ, وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ
اِجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ, حَتَّى يُصِيْبَ
قِوَاماً مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ, وَرَجُلٌ
أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُوْمَ ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ
قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ, فَحَلَّتْ لَهُ
الْمَسْأَلَةُ, حَتَّى يُصِيْبَ قِوَاماً مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا
مِنْ عَيْشٍ, فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبيْصَةُ ! سُحْتًا
يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا.
“Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta tidak dihalalkan kecuali
bagi salah satu dari tiga orang, yaitu orang yang menanggung hutang
orang lain, maka ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian
ia berhenti meminta-minta, orang yang ditimpa musibah yang menghabiskan
hartanya, ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup atau
beliau berkata, sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, dan orang
yang ditimpa kesengsaraan hidup sampai tiga orang dari kaumnya yang
berpengetahuan (alim) berkata, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan
hidup.’ Ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup atau
beliau berkata: Sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Adapun
selain tiga golongan tersebut, wahai Qabishah, maka haram hukumnya dan
mereka yang memakannya adalah memakan makanan yang haram.’” [9]
Ketujuh : Orang yang Berjuang di Jalan Allah (Fii Sabilillaah)
Mereka adalah para pasukan perang yang tidak punya hak dari baitul mal.
Adapun Imam Ahmad, al-Hasan dan Ishaq mengatakan bahwa orang yang
berhaji termasuk dalam fii sabilillaah, ber-dasarkan sebuah hadits.
Saya (penulis) berkata, “Yang mereka maksud dengan hadits adalah hadits
Ibnu ‘Abbas, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin
menunaikan haji dan ada seorang isteri yang berkata kepada suaminya,
‘Sertakanlah aku berhaji bersama Rasulullah.’ Suami tersebut menjawab,
‘Aku tidak memiliki harta yang bisa kugunakan untuk membiayaimu pergi
haji.’ Lalu isterinya berkata, ‘Hajikanlah aku dengan untamu itu.’ Dia
berkata, ‘Itu adalah unta yang aku gunakan untuk berjuang di jalan
Allah.’ Kemudian lelaki tersebut datang kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteriku
mengucapkan salam atasmu dan ia telah memintaku untuk menghajikannya
bersamamu, ia berkata, ‘Hajikanlah aku bersama Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam.’ Lalu aku menjawab, ‘Sesungguhnya aku tidak memiliki
harta yang akan kugunakan untuk membia-yaimu pergi haji.’ Ia berkata
lagi, ‘Kalau begitu hajikanlah aku dengan untamu itu.’ Aku berkata
kepadanya, ‘Itu adalah unta yang aku gunakan untuk berjuang di jalan
Allah.’’ Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
‘Sesungguhnya jika engkau menghajikan ia dengan unta tersebut juga
termasuk dalam fii sabilillaah.’” [10]
Kedelapan : Ibnus Sabil
Dia adalah musafir yang berada di suatu negeri dan tidak memiliki
sesuatu apa pun yang bisa membantunya dalam perjalanan, maka ia
diberikan dari harta zakat secukupnya yang bisa diguna-kan untuk pulang
kampung, walaupun mungkin dia memiliki sedikit harta. Dan hukum ini
berlaku bagi mereka yang melakukan perjalanan jauh dari negerinya dan
tidak ada sesuatu apa pun bersamanya, maka ia diberikan sejumlah harta
dari zakat yang bisa mencukupinya untuk bekal pulang pergi. Dan dalilnya
adalah ayat tentang golongan yang berhak menerima zakat, juga apa yang
diri-wayatkan oleh Imam Abu Dawud, Ibnu Majah dari hadits Ma’mar dari
Yazid bin Aslam, dari ‘Atha' bin Yasar, dari Abu Sa’id radhiyallahu
anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلاَّ خَمْسَةٍ: اَلْعَامِلُ عَلَيْهَا
أَوْ رَجُلٌ اِشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ غَارِمٌ اَوْ غَازٍ فِي سَبِيْلِ
اللهِ أَوْ مِسْكِيْنٌ تُصُدِّقَ عَلَيْهِ فَأَهْدَى مِنْهَا لِغَنِيٍّ.
“Zakat itu tidak halal diberikan kepada orang kaya kecuali lima macam,
yaitu amil zakat atau orang yang membelinya dengan hartanya atau orang
yang berhutang atau orang yang berperang di jalan Allah atau orang
miskin yang menerima zakat, kemudian dia menghadiahkannya kepada orang
kaya.”[11]
Selesai perkataan Ibnu Katsir.”-pent.
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz,
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7251)], Sunan
at-Tirmidzi (II/81, no. 647), Sunan Abi Dawud (V/42, no. 1617), dan
diriwayatkan dari Abu Hurairah z: Sunan Ibni Majah (I/589, no. 1839),
Sunan an-Nasa-i (V/99).
[2]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1438)], Sunan Abi Dawud (V/41, no. 1617), Sunan an-Nasa-i (V/99).
[3]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim II/719, no. 1039), dan ini adalah
lafazhnya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari III/341, no. 1479), Sunan
an-Nasa-i (V/75), Sunan Abi Dawud (V/39, no. 1615).
[4]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 1664)], Shahiih Muslim
(II/752, no. 1072), Sunan Abi Dawud (VII/205, no. 2969), Sunan an-Nasa-i
(V/105). Berkata an-Nawawi, “Yang dimaksud dengan ausaakhun naas,
bahwasanya zakat tersebut sebagai pembersih dan pensuci bagi harta dan
jiwa mereka, sebagaimana firman Allah, ‘Ambillah zakat dari sebagian
harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.’
Maka, zakat tersebut ibarat alat pencuci kotoran.” (Shahiih Muslim
Syarah an-Nawawi (VII/251), cet. Qurthubah).
[5]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 1588)], Shahiih Muslim
(II/754, no. 1072 (168)), Sunan Abi Dawud (VIII/205-208, no. 2969),
Sunan an-Nasa-i (V/ 105-106)
[6]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/79, no.
27), Shahiih Muslim (I/132, no. 150), Sunan Abi Dawud (XII/440, no.
4659), Sunan an-Nasa-i (VIII/103).
[7]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (VIII/67, no.
4351), Sha-hiih Muslim (II/741, no. 1064), Sunan Abi Dawud (XIII/109,
no. 4738).
[8]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6051)]. Diriwayatkan
oleh at-Tir-midzi dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata,
“Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اعْتَقَ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً أَعْتَقَ اللهُ مِنْهُ بِكُلِّ عُضْوٍ
مِنْهُ عُضْوًا مِنَ النَّارِ حَتَّى يَعْتِقَ فَرْجَهُ بِفَرْجِهِ.
“Barangsiapa yang memerdekakan seorang budak yang beriman niscaya Allah
akan memerdekakan dengannya (anggota badan budak) setiap anggota badan
orang yang memerdekakannya dari api Neraka sampai kemaluannya dengan
kemaluannya.” (III/49, no. 1541).
[9]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 568)], Shahiih Muslim
(II/722, no. 1044), Sunan Abi Dawud (V/49, no. 1624), Sunan an-Nasa-i
(V/96). Dan termasuk dari zawil hija orang yang berakal dan pintar.
[10]. Hasan shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 1753)], Sunan Abi Dawud
(V/465, no. 19740), Mustadrak al-Hakim (I/183), al-Baihaqi (VI/164).
[11]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 725)], Sunan Abi Dawud (V/44, no. 1619), Sunan Ibni Majah (I/590, no. 1841).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar