SHALAT GERHANA. https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag, ika terjadi gerhana bulan atau matahari disunnahkan mengumandangkan:
اَلصَّلاَةُ جَامِعَةٌ.
"Mari shalat berjama'ah."
Dari 'Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu, dia mengatakan, “Ketika
terjadi gerhana matahari di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, maka diserukanlah:
إِنَّ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ
“Sesungguhnya shalat dilakukan secara berjama’ah.” [1]
Jika orang-orang telah berkumpul di masjid, maka imam shalat dua raka’at
bersama mereka sebagaimana disebutkan dalam hadits di bawah ini:
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Pada zaman Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Lalu
beliau pergi ke masjid dan orang-orang pun berbaris di belakang beliau,
kemudian beliau bertakbir. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
membaca dengan bacaan yang panjang. Lantas bertakbir dan melakukan ruku'
dengan panjang. Kemudian beliau mengucap: " سَمِعَ اللهُ لِمَنْ
حَمِدَهُ ." Lalu bangkit dan tidak melakukan sujud. Setelah itu beliau
membaca bacaan yang panjang, namun tidak sepanjang bacaan pertama.
Kemudian bertakbir lalu melakukan ruku' dengan ruku’ yang panjang namun
tidak sepanjang ruku' pertama. Setelah itu beliau mengucap: “سَمِعَ
اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ Kemudian beliau sujud.
Pada raka’at kedua, beliau melakukan seperti pada raka’at pertama.
Hingga beliau juga melakukan empat ruku' dalam empat sujud dan matahari
pun telah tampak kembali sebelum beliau selesai." [2]
Khutbah Setelah Shalat
Jika imam selesai salam, disunnahkan baginya berkhutbah di hadapan
orang-orang. Menasihati mereka, mengingatkan, dan mendorong mereka untuk
berbuat amal shalih.
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam shalat pada hari di mana terjadi gerhana matahari... kemudian dia
menyebutkan tata cara shalat tersebut. Lalu melanjutkan, "Kemudian
beliau salam, sedangkan matahari telah tampak kembali. Beliau lantas
berkhutbah di hadapan orang-orang. Beliau mengatakan bahwa gerhana
matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan
Allah. Tidaklah gerhana itu terjadi karena mati atau lahirnya seseorang.
Jika kalian melihatnya, maka bergegaslah untuk shalat." [3]
Dari Asma' Radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam menyuruh membebaskan budak pada saat terjadi gerhana
matahari."[4]
Dari Abu Musa, dia berkata, “Ketika terjadi gerhana matahari. Tiba-tiba
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri dengan terkejut. Beliau
khawatir jika hari itu terjadi Kiamat. Beliau mendatangi masjid kemudian
mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku', dan sujud yang terpanjang
yang pernah aku lihat. Beliau lantas berkhutbah, “Ini adalah salah satu
tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkan oleh-Nya. Bukan lantaran mati
atau lahirnya seseorang. Namun, dengan peristiwa itu Allah ingin
menakuti para hamba-Nya. Jika kalian melihat hal itu terjadi, maka
bersegeralah untuk mengingat Allah, berdo’a, dan beristighfar
kepada-Nya." [5]
Pengertian secara lahiriyah dari sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam : “Maka bersegeralah... dan seterusnya,” menunjukkan wajibnya
perbuatan tersebut. Jadi, hukum shalat gerhana adalah fardhu kifayah.
Sebagaimana dikatakan Abu ‘Awanah dalam kitab Shahiihnya (II/398),
"Penjelasan tentang wajibnya shalat gerhana" Kemudian di menyebutkan
beberapa hadits shahih tentang masalah tersebut. Hal itu juga tampak
dilakukan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahiihnya. Dia berkata
(II/38), "Bab perintah shalat ketika terjadi gerhana matahari dan
bulan..." Lalu dia menyebutkan sejumlah hadits berkenaan dengan masalah
tersebut.
Al-Hafizh berkata dalam Fat-hul Baari (II/527), “Pendapat Jumhur
menyatakan bahwa ia adalah sunnah mu-akkadah. Abu ‘Awanah menyatakannya
dalam kitab Shahiihnya sebagai perbuatan yang wajib. Dan saya tidak
menjumpai pendapat seperti itu pada ulama selainnya. Hanya saja, apa
yang diriwayatkan dari Malik bahwa beliau memperlakukannya sebagaimana
shalat Jum’at. Dan az-Zain bin al-Munir menukil dari Abu Hanifah bahwa
dia mewajibkannya. Begitupula beberapa pengarang kitab madzhab
Hanafiyyah. Mereka menyatakannya sebagai hal yang wajib." [6]
SHALAT ISTISQA
Jika hujan tidak turun, dan suatu daerah tertimpa kekeringan, maka
disunnahkan keluar menuju tanah lapang untuk shalat Istisqa' (memohon
hujan). Kemudian seorang imam melakukan shalat dua raka’at bersama
masyarakat. Setelah itu dia memperbanyak do’a dan istighfar sambil
merubah letak syal (selendang)nya dan menjadikan bagian kanannya di atas
bagian kirinya.
Dari 'Abbad bin Tamim z, dari pamannya, 'Abdullah Zaid, dia berkata,
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menuju tanah lapang untuk
shalat Istisqa'. Beliau menghadap ke kiblat lalu shalat dua raka’at dan
membalik syalnya. Sufyan berkata, ‘Aku diberitahu al-Mas’udi dari Abu
Bakr, dia berkata, ‘Beliau menjadikan bagian kanan dari syal tersebut di
atas bagian kiri.’”[7]
Dan darinya, dia berkata, “Aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam ketika keluar untuk shalat Istisqa'. Dia berkata, ‘Beliau lalu
menghadapkan punggungnya ke arah para penduduk dan menghadap ke kiblat
sambil berdo’a. Kemudian beliau merubah letak syalnya lantas shalat dua
raka’at bersama kami. Beliau mengeraskan bacaannya pada kedua raka’at
tersebut." [8]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz,https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/533 no.
1045), Shahiih Muslim (II/627 no. 910), Sunan an-Nasa-i (III/136).
[2]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/533 no.
1046)], Shahiih Muslim (II/619 no. 901 (3)), Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (IV/46 no. 1168), Sunan an-Nasa-i (III/130).
[3]. Ibid.
[4]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih al-Bukhari (no. 118)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/543 no. 1045).
[5]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/545 no.
1059)], Shahiih Muslim (II/628 no. 912), Sunan an-Nasa-i (III/153).
[6]. Tamaamul Minnah (hal. 261), dengan sedikit pengubahan.
[7]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/515 no.
1027)], ini adalah lafazh darinya, Shahiih Muslim (II/611 no. 894 (2)),
Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/24 no. 1149), Sunan at-Tirmidzi
(I/34 no. 553), Sunan an-Nasa-i (II/155) dengan lafazh hampir serupa.
[8]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 1029)], Shahiih al-Bukhari
(Fat-hul Baari) (II/514 no. 1025), ini adalah lafazhnya, Shahiih Muslim
(II/611 no. 894 (4)), dalam riwayatnya tidak terdapat kata:
"mengeraskan." Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/26 no. 1150).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar