SHALAT ORANG YANG MELAKUKAN SAFAR. https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag, A. Orang yang Sedang Safar Wajib Mengqashar Shalat Zhuhur, 'Ashar, dan 'Isya'
Allah berfirman:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن
تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ
كَفَرُوا ۚ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
mengqashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.
Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu.” [An-Nisaa':
101]
Dari Ya'la bin Umayyah, dia menanyakan ayat ini pada 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu. Dia berkata:
إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
“... jika kamu takut diserang orang-orang kafir...” [An-Nisaa: 101]
.
Padahal orang-orang sudah dalam keadaan aman. 'Umar berkata, "Dulu, aku
juga bingung dengan masalah ini sebagaimana kamu. Lalu aku menanyakannya
pada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lantas beliau bersabda:
صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ، فَاقْبَلُوْا صَدَقَتَهُ.
"Itu adalah shadaqah dari Allah untuk kalian. Maka, terimalah shadaqah-Nya." [1]
Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Melalui lisan Nabi
kalian, Allah mewajibkan shalat empat raka’at dalam keadaan mukim, dua
raka’at ketika safar, dan satu raka’at ketika dalam keadaan takut." [2]
Dari 'Umar Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Shalat dalam safar dua
raka’at, shalat Jum’at dua raka’at, shalat Idul Fithri dan Idul Adh-ha
dua raka’at. Sempurna, tidak diqashar. Berdasarkan ucapan Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam." [3]
Dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Pertama kali, shalat
diwajibkan dua raka’at. Kemudian hal ini ditetapkan bagi shalat dalam
keadaan safar. Sedangkan pada saat mukim dikerjakan secara lengkap (4
raka’at)." [4]
Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Aku pernah menemani
perjalanan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau tidak
pernah shalat lebih dari dua raka’at hingga Allah mewafatkannya. Pernah
juga aku menyertai perjalanan Abu Bakar, dan dia juga tidak pernah
shalat lebih dari dua raka’at hingga Allah mewafatkannya. Aku pun pernah
bepergian bersama 'Umar, dan dia juga tidak pernah shalat lebih dari
dua raka’at hingga Allah mewafatkannya. Aku juga pernah safar bersama
'Utsman, dia tidak pernah shalat lebih dari dua raka’at hingga Allah
mewafatkannya. Allah berfirman:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya, pada Rasulullah benar-benar terdapat teladan yang baik bagi kalian...” [Al-Ahzaab: 21] [5]
B. Batasan Jarak Shalat Qashar
Para ulama memiliki banyak pendapat yang berbeda dalam menentukan
batasan jarak diperbolehkannya mengqashar shalat. Sampai-sampai Ibnu
al-Mundzir dan yang lainnya menyebutkan lebih dari dua puluh pendapat
dalam masalah ini. Yang rajih (kuat) adalah, "Pada dasarnya, tidak ada
batasan jarak yang pasti. Kecuali yang disebut safar dalam bahasa Arab,
yaitu bahasa yang digunakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam saat
berkomunikasi dengan mereka (orang-orang Arab). Jika memang safar
mempunyai batasan selain dari apa yang baru saja kami kemukakan, tentu
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan lupa menjelaskannya. Para
Sahabat pun tidak akan lalai menanyakan hal tersebut pada beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka juga tidak akan bersepakat untuk
mengabaikan penukilan riwayat yang menjelaskan batasan tersebut kepada
kita." [6]
C. Tempat Diperbolehkannya Mengqashar Shalat
Mayoritas ulama berpendapat bahwa, disyari'atkan mengqashar shalat
ketika telah meninggalkan tempat mukim dan keluar dari daerah tempat
tinggal. Ini adalah syarat. Dan tidaklah disempurnakan shalat (4
raka’at) sampai memasuki rumah pertama (di dalam tempat tinggalnya).
Ibnul Mundzir berkata, "Aku tidak mengetahui bahwa Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam melakukan qashar dalam beberapa safarnya kecuali
beliau telah keluar dari Madinah. Anas Radhiyallahu anhu berkata, "Aku
shalat Dzuhur empat raka’at bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
di Madinah. Sedangkan di Dzul Hulaifah dua raka’at." [7]
Jika seorang musafir tinggal di suatu daerah untuk menunaikan suatu
kepentingan, namun tidak berniat mukim, maka dia melakukan qashar hingga
meninggalkan daerah tersebut.
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari sambil tetap mengqashar
shalat."[8]
Ibnul Qayyim berkata, "Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah
mengatakan pada umat, ‘Janganlah seseorang mengqashar shalat jika
tinggal lebih lama dari itu.’ Hanya kebetulan saja lama tinggal beliau
bertepatan dengan masa tersebut."[9]
Jika seseorang berniat mukim, maka dia shalat secara lengkap setelah
sembilan belas hari. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu 'Abbas Radhiyallahu
anhu, "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tinggal selama sembilan belas
hari sambil melakukan qashar. Jika kami melakukan safar selama sembilan
belas hari, maka kami melakukan qashar. Dan jika lebih dari itu, maka
kami menyempurnakan shalat." [10]
D. Menjama' Dua Shalat
Sebab-sebabnya:
1. Safar
Dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata, "Jika Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bepergian sebelum matahari tergelincir, beliau
akhirkan Zhuhur hingga waktu 'Ashar. Beliau turun dari kendaraannya lalu
menjama' keduanya. Dan jika matahari sudah tergelincir sebelum
melakukan perjalanan, maka beliau shalat Zhuhur lalu naik kendaraan."
[11]
Dari Mu'adz Radhiyallahu anhu: "Saat terjadinya perang Tabuk, jika Nabi
Shallallahu 'alaihi wa salalm bepergian sebelum matahari tergelincir,
beliau akhirkan Zhuhur sampai waktu 'Ashar. Kemudian beliau menjama'
kedua shalat tersebut. Jika bepergian sesudah matahari tergelincir,
beliau menjama' shalat Zhuhur dengan 'Ashar lalu berangkat. Bila
bepergian sebelum Maghrib, beliau akhirkan Maghrib hingga menjama'nya
dengan 'Isya. Bila bepergian setelah Maghrib, beliau mengawalkan waktu
'Isya dan menjama'nya dengan Maghrib." [12]
Masih dari Mu’adz: "Para Sahabat pernah bepergian bersama Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika perang Tabuk. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjama' shalat Zhuhur dengan 'Ashar, dan
shalat Maghrib dengan 'Isya'." Dia berkata lagi: "Pada suatu hari beliau
mengakhirkan shalat. Beliau keluar lalu shalat Zhuhur dan 'Ashar dengan
dijama'. Setelah itu beliau masuk. Tak lama kemudian beliau keluar lagi
lalu shalat Maghrib dan 'Isya dengan dijama'."[13]
2. Hujan
Dari Nafi' Radhiyallahu anhu, "Jika 'Abdullah Ibnu 'Umar Radhiyallahu
anhuma mengumpulkan para amir (gubernur) antara Maghrib dan 'Isya'
ketika hujan, maka dia menjama' shalat bersama mereka."
Dari Hisyam bin 'Urwah: "Ayahnya -'Urwah-, Sa'id bin al-Musayyib, dan
Abu Bakar bin 'Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam bin al-Mughirah
al-Makhzumi pernah menjama' shalat Maghrib dengan 'Isya' pada suatu
malam ketika hujan turun. Mereka menjama' kedua shalat tersebut tanpa
ada yang mengingkari." [14]
Dari Musa bin 'Uqbah, "Ketika turun hujan, ‘Umar bin 'Abdul 'Aziz pernah
menjama' shalat Maghrib dengan 'Isya' di akhir waktu. Sedangkan Sa'id
bin al-Musayyib, 'Urwah bin az-Zubair, Abu Bakar bin 'Abdurrahman,
beserta para ulama zaman itu bermakmum di belakangnya. Namun, mereka
tidak mengingkari perbuatan tersebut." [15]
Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjama' shalat Zhuhur dengan
'Ashar, dan shalat Maghrib dengan 'Isya', tidak dalam keadaan takut
maupun safar."[16]
Dia juga berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
menjama' shalat Zhuhur dengan 'Ashar dan shalat Maghrib dengan 'Isya di
Madinah, tidak dalam keadaan takut maupun hujan." [17]
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma memberikan indikasi bahwa menjama'
shalat ketika hujan sudah diketahui pada masa Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Jika tidak demikian, maka tidak ada gunanya menyebutkan
kalimat "tanpa hujan" sebagai alasan dibolehkannya menjama' shalat."
[18]
3. Kebutuhan Mendesak
Dari Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata, "Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjama' shalat Zhuhur dengan
'Ashar di Madinah, tidak dalam keadaan takut maupun dalam perjalanan."
Abu az-Zubair berkata, Lalu aku bertanya pada Sa'id, ‘Kenapa beliau
melakukannya?’ Dia menjawab, ‘Aku pernah bertanya hal yang sama kepada
Ibnu 'Abbas. Lalu dia berkata, ‘Beliau tidak ingin memberatkan salah
seorang pun dari umatnya.’" [19]
Masih dari Ibnu ‘Abbas, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
menjama' shalat Zhuhur dengan 'Ashar, dan shalat Maghrib dengan 'Isya
di Madinah, tidak dalam keadaan takut maupun hujan." Ibnu 'Abbas
Radhiyallahu anhuma ditanya, "Apa maksud di balik perbuatan beliau itu?"
Dia menjawab, "Beliau tidak ingin memberatkan umatnya."
Imam an-Nawawi berkata dalam Syarh Muslim (V/219), "Sejumlah imam
berpendapat tentang bolehnya menjama' shalat dalam keadaan mukim bagi
orang yang tidak menjadikannya kebiasaan. Ini adalah pendapat Ibnu Sirin
dan Asyhab, pengikut Imam Malik. Al-Khaththabi meriwayatkan pendapat
ini dari al-Qaffal dan asy-Syasyi al-Kabiir, pengikut imam asy-Syafi'i,
dari Abu Ishaq al-Marwazi, dari mayoritas kalangan ahli hadits. Ibnul
Mundzir juga memilih pendapat ini. Pendapat ini diperkuat oleh zhahir
perkataan Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma : "Beliau tidak ingin
memberatkan umatnya." Dia tidak menyebutkan alasan sakit atau yang
lainnya. Wallaahu a’lam."
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz,https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Footnote
[1]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 3762)], Shahiih Muslim
(I/478 no. 686), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/64 no. 1187),
Sunan an-Nasa-i (III/116), Sunan Ibni Majah (I/339 no. 1065), dan Sunan
at-Tirmidzi (IV/309 no. 5025).
[2]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 876)], Shahiih Muslim (I/479
no. 687), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/124 no. 1234), Sunan
an-Nasa-i (III/118), dan Sunan Ibni Majah (I/339 no. 1068), tanpa
kalimat terakhir.
[3]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 871)], Sunan an-Nasa-i (III/183), dan Sunan Ibni Majah (I/338 no. 1063).
[4]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/569 no.
1090)], Shahiih Muslim (I/478 no. 685), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(IV/63 no. 1186), dan Sunan an-Nasa-i (I/225).
[5]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/479 no. 689)], Sunan Abi Dawud
(‘Aunul Ma’buud) (IV/90 no. 1211), Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari)
(II/577 no. 1102), dan Sunan an-Nasa-i (III/123).
[6]. Al-Muhalla (V/21).
[7]. Fiqhus Sunnah (I/240, 241)]. Ucapan Anas Radhiyallahu anhu
diriwayatkan dalam Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/569 no. 1089),
Shahiih Muslim (I/480 no. 690), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/69
no. 1190), Sunan at-Tirmidzi (II/29 no. 544), dan Sunan an-Nasa-i
(I/235). Yang dimaksud dengan ucapan-nya: "Di Dzul Hulaifah dua
raka'at," adalah shalat 'Ashar. Sebagaimana di-jelaskan oleh
riwayat-riwayat lain, selain riwayat Shahiih al-Bukhari.
[8]. Shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 1094)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/102 no. 1223).
[9]. Fiqhus Sunnah (I/241).
[10]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 575)], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul
Baari) (II/561 no. 1080), Sunan at-Tirmidzi (II/31 no. 547), Sunan Ibni
Majah (I/341 no. 1075), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/97 no.
1218), hanya saja dia mengatakan: "Tujuh belas."
[11]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/583 no.
1112)], Shahiih Muslim (I/489 no. 704), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(IV/58 no. 1206), dan Sunan an-Nasa-i (I/284).
[12]. Shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 1067)], Ahmad (Fat-hur
Rabbaani) (V/120 no. 1236), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (IV/75 no.
1196), dan Sunan at-Tirmidzi (II/33 no. 551).
[13]. Shahih: [Shahih Sunan Abi Dawud (no. 1065)], Sunan Abi Dawud
(‘Aunul Ma’buud) (IV/72 no. 1194), Sunan an-Nasa-i (I/284), Muslim dan
Ibnu Majah hanya meriwayatkan bagian pertama saja di Shahiih Muslim
(I/490 no. 706), dan Sunan Ibni Majah (I/340 no. 1070).
[14]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (III/40)], Muwaththa' al-Imam Malik (hal. 102 no. 328).
[15]. Shahih: [Irwaa’ul Ghaliil (III/40)] dan al-Baihaqi (III/168, 169).
[16]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 1068)].
[17]. Shahih: [Shahiihul Jaami’ush Shaghiir (no. 1070)], Shahiih Muslim
(I/489 no. 705), Sunan an-Nasa-i (I/290), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (IV/ 77 no. 1198), dengan tambahan kalimat terakhir.
[18]. Ucapan al-Albani dalam Irwaa’ul Ghaliil (III/40).
[19]. Telah ditakhrij sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar