HAK-HAK MAYIT YANG WAJIB DITUNAIKAN.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,Ada empat perkara yang merupakan hak mayit yang wajib ditunaikan oleh
siapa saja yang menghadirinya, baik dari keluarga mayit atau bukan,
yaitu memandikannya, mengkafaninya, menShalatinya dan menguburkannya.
Hak Ketiga: Menshalatkannya
Shalat Jenazah
Shalat jenazah hukumnya fardhu kifayah, berdasarkan perintah Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beberapa hadits, di antaranya hadits
Zaid bin Khalid al-Juhani, bahwasanya ada seorang laki-laki dari
Sahabat Rasulullah meninggal pada perang Khaibar, kemudian Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dikabarkan tentang hal itu, lalu beliau
bersabda:
صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ. فَتَغَيَّرَتْ وُجُوْهُ النَّاسِ لِذَلِكَ,
فَقَالَ: إِنَّ صَاحِبَكُمْ غَلَّ فِي سَبِيْلِ اللهِ. فَفَتَشْنَا
مَتَاعَهُ فَوَجَدْنَا خَرْزًا مِنْ خَرْزِ الْيَهُوْدِ لاَ يُسَاوِى
دِرْهَمَيْنِ.
“Shalatilah sahabat kalian.” Maka berubahlah raut muka para Sahabat
mendengar ucapan beliau, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya teman
kalian telah melakukan kecurangan dalam jihad fii sabilillah.” Kemudian
kami memeriksa bekalnya dan kami temukan kain sulaman milik Yahudi yang
harganya tidak sampai dua dirham. [1]
Dikecualikan Hukum Wajibnya Shalat Jenazah Atas Dua golongan
Pertama: Anak kecil yang belum baligh
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Telah meninggal Ibrahim putera
Rasulullah, umurnya saat itu delapan belas bulan, dan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menshalatinya.” [2]
Kedua: Orang yang mati syahid
Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Para syuhada’
Uhud tidak dimandikan, dan mereka dikuburkan bersama darah-darah mereka,
juga mereka tidak dishalati.” [3]
Akan tetapi tidak wajibnya shalat bukan berarti menafikan disyari’atkannya shalat atas dua golongan tersebut.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata: “Dihadapkan
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mayit seorang anak kecil
dari kaum Anshar, maka beliau menshalatinya...” [4]
Dan diriwayatkan juga dari ‘Abdullah bin Zubair Radhiyallahu anhuma, ia
berkata, “Bahwasanya pada perang Uhud Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam memerintahkan untuk membawa jenazah Hamzah, kemudian jasadnya
ditutupi dengan selembar kain, lalu beliau menshalatinya dan bertakbir
sembilan kali takbir, selanjutnya dishaffkan di hadapannya jenazah yang
lain (korban perang Uhud), kemudian beliau menshalati mereka dan jenazah
Hamzah juga.” [5]
Semakin banyak orang yang shalat jenazah, maka itu lebih utama dan
bermanfaat bagi jenazah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam :
مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّى عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
يَبْلُغُوْنَ مِائَةٌ كُلُّهُمْ يَشْفَعُوْنَ لَهُ إِلاَّ شُفِعُوْا
فِيْهِ.
“Tidaklah seorang mayit dishalatkan oleh kaum muslimin yang mencapai
seratus orang yang semuanya berhak memberi syafa’at kecuali mereka akan
memberi syafa’at baginya.”[6]
Juga dalam riwayat yang lain beliau bersabda:
مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ, فَيَقُوْمُ عَلىَ جَنَازَتِهِ
أَرْبَعُوْنَ رَجُلاً لاَ يُشْرِكُوْنَ بِاللهِ شَيْئًا إِلاَّ شَفَعَهُمُ
اللهُ فِيْهِ.
“Tidaklah seorang muslim meninggal, kemudian dia dishalatkan oleh empat
puluh laki-laki yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun,
maka Allah akan memberinya syafa’at.” [7]
Disunnahkan untuk membuat tiga shaff di belakang imam walaupun jumlah
jama’ahnya sedikit, sebagaimana yang diriwayatkan dari Martsad
al-Yazani, dari Malik bin Hubairah, ia berkata bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ مَيِّتٍ يَمُوْتُ فَيُصَلِّى عَلَيْهِ ثَلاَثَةُ صُفُوْفٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ أَوْجَبَ.
“Tidaklah seseorang meninggal, kemudian dishalatkan oleh tiga shaff dari
kaum muslimin kecuali wajiblah atasnya (mendapat syafa’at).”
Berkata Martsad, “Malik selalu membagi shaff orang yang menshalati jenazah menjadi tiga shaff, berdasarkan hadits ini.” [8]
Jika terdapat banyak jenazah laki-laki dan perempuan, boleh menshalatkan
jenazah tersebut satu-persatu masing-masing dengan satu shalat dan ini
adalah hukum asalnya. Boleh juga menshalati semua jenazah tersebut hanya
dengan satu shalat dan meletakkan jenazah laki-laki -walaupun anak
kecil- di dekat imam dan jenazah perempuan mendekati arah Kiblat,
sebagaimana yang diriwayat-kan dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar bahwasanya ia
menshalati sembilan jenazah sekaligus, seraya mengaturnya dengan posisi
jenazah laki-laki mendekati imam, jenazah perempuan mendekati arah
Kiblat dan menjadikan mereka dalam satu shaff sambil meletakkan jenazah
Ummu Kultsum binti ‘Ali, isteri ‘Umar bin al-Khaththab, juga putranya
yang bernama Zaid bersama mereka. Dan yang menjadi imam saat itu Sa’id
bin al-‘Ash, sedang di antara makmum terdapat Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah,
Abu Sa’id dan Abu Qatadah, kemudian diletakkan anak kecil tersebut di
dekat imam. Seorang laki-laki mengingkari hal tersebut sambil melihat ke
arah Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa'id dan Abu Qatadah, ia berkata,
“Apa-apaan ini!’ Maka mereka semua berkata, “Inilah Sunnah.” [9]
Dimana Tempat Shalat Jenazah?
Shalat jenazah boleh dilakukan di masjid, berdasarkan riwayat dari
‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Ketika Sa’ad bin Abi Waqqash
Radhiyallahu anhu wafat, isteri-isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam meminta supaya jenazahnya dibawa ke dalam masjid agar mereka
bisa menshalatkannya, maka para pembawa jenazah memenuhi permintaan
mereka dan meletakkannya di dekat kamar mereka, lalu mereka
menshalatkannya. Selanjutnya jenazah Sa’ad dibawa keluar melalui pintu
jenazah yang mengarah ke tempat biasanya orang-orang duduk. Lalu
isteri-isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar kabar
bahwasanya orang-orang mencela hal itu sambil berkata, “Belum pernah
selama ini jenazah dibawa ke dalam masjid (ini adalah hal yang baru).”
Ketika ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma mendengar hal itu, ia berkata,
“Sungguh sangat cepat orang mencela sesuatu yang mereka tidak ada ilmu
tentangnya, mereka mengecam kami karena membawa jenazah ke dalam masjid,
padahal tidaklah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menshalati
Suhail bin Ba-idha’ melainkan di tengah-tengah masjid.” [10]
Tetapi lebih utama jika shalat jenazah dilaksanakan di luar masjid, di
suatu tempat yang memang khusus dipersiapkan untuk shalat jenazah,
sebagaimana yang diperaktekkan pada zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Dan hal ini merupakan yang lebih sering beliau lakukan.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Orang-orang
Yahudi datang menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan
membawa seorang laki-laki dan perempuan dari kaum mereka yang telah
melakukan zina, lalu beliau memerintahkan agar mereka dirajam, maka
mereka pun dirajam di dekat tempat yang biasa digunakan untuk shalat
jenazah yang terletak di samping masjid.” [11]
Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Bahwasanya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahu kami atas wafatnya
raja Najasyi pada hari dimana ia meninggal, kemudian beliau keluar ke
tempat shalat (jenazah), lalu beliau membuat shaff dan bertakbir empat
kali.”[12]
Dilarang shalat jenazah di antara kuburan, berdasarkan hadits Anas
Radhiyallahu anhua bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
melarang menshalatkan jenazah di antara kuburan. [13]
Dimana Tempat Berdirinya Imam?
Diriwayatkan dari Abu Ghalib al-Khayyath, dia berkata, “Aku pernah
menyaksikan Anas bin Malik menshalati jenazah laki-laki, maka dia
berdiri di samping kepala mayit, manakala jenazah laki-laki itu telah
dibawa, dihadapkan kepadanya jenazah perempuan dari Quraisy atau Anshar,
lalu dikatakan kepadanya, ‘Wahai Abu Hamzah (Anas) ini adalah jenazah
Fulanah binti Fulan, shalatilah ia.’ Maka dia pun menshalatkannya dan
dia berdiri di tengah-tengah jenazah itu. Saat itu ikut hadir bersama
kami al-‘Ala-i bin Ziyad al-‘Adawi, ketika dia melihat perbedaan tempat
berdirinya Anas saat menshalati jenazah laki-laki dan perempuan, dia pun
bertanya, ‘Wahai Abu Hamzah, apakah memang demikian posisi berdirinya
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam saat menshalati mayit
sebagaimana yang engkau lakukan?’ Dia pun menjawab, ‘Ya, memang
demikian.’ Kemudian al-‘Ala-i menoleh ke arah kami sambil berkata,
‘Peliharalah oleh kalian (Sunnah ini).’”[14]
Tata Cara Shalat Jenazah
Boleh bertakbir saat shalat jenazah sebanyak empat, lima hingga sembilan
kali, maka hendaklah ini dilakukan sesekali dan pada kesempatan yang
lain menggunakan yang lainnya.
Adapun bertakbir empat kali, maka hal ini berdasarkan pada hadits Abu
Hurairah Radhiyallahu anhua, ia berkata, “Bahwasanya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahu kami atas wafatnya raja
Najasyi pada hari dimana ia meninggal, kemudian beliau keluar ke tempat
shalat (jenazah), lalu beliau membuat shaff dan bertakbir empat kali.”
[15]
Sedangkan dalil tentang bertakbir lima kali adalah hadits dari
‘Abdurrahman bin Abi Laila, dia berkata, “Zaid bin Arqam bertakbir pada
saat shalat jenazah empat kali dan pada kesempatan yang lain lima kali,
maka aku pun bertanya kepadanya tentang hal itu, maka dia menjawab,
“Beginilah dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir.”
[16]
Adapun bertakbir enam atau tujuh kali, terdapat beberapa hadits mauquf
yang menerangkan akan hal ini, namun hukumnya termasuk dalam
hadits-hadits yang marfu' karena diriwayatkan bahwa sebagian Sahabat
utama melakukan hal ini di hadapan Sahabat yang lainnya dan tidak ada
seorang pun dari mereka yang menentangnya, di antaranya:
Pertama:
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Ma’qil, bahwasanya ‘Ali bin Abi Thalib
menshalatkan jenazah Sahal bin Hanif, dan dia bertakbir enam kali,
kemudian dia menoleh kepada kami sambil berkata, “Dia termasuk ahli
Badar.”[17]
Kedua:
Dan dari Musa bin ‘Abdillah bin Yazid, dia berkata, “Bahwasanya ‘Ali
menshalatkan jenazah Abu Qatadah, kemudian ia bertakbir tujuh kali dan
sesungguhnya Abu Qatadah adalah ahli Badar.” [18]
Ketiga:
Juga dari ‘Abdu Khair, dia berkata, “Bahwasanya ‘Ali bertakbir enam kali
saat menshalatkan ahli Badar, saat menshalati Sahabat yang lainnya dia
bertakbir lima kali, dan jika menshalatkan orang selain mereka dia
bertakbir empat kali.”[19]
Adapun bertakbir sembilan kali, maka dalilnya adalah apa yang
diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Zubair Radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam menshalati jenazah Hamzah dan beliau
bertakbir sembilan kali.[20]
Disyari’atkan Mengangkat Kedua Tangan Pada Saat Takbir Yang Pertama
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas bahwasanya Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya pada takbir yang pertama
ketika shalat Jenazah, kemudian beliau tidak mengulanginya lagi.” [21]
Kemudian meletakkan tangan kanan di atas telapak tangan, pergelangan dan
lengan tangan sebelah kiri, lalu meletakkan keduanya di atas dada,
sebagaimana yang diriwayatkan dari Suhail bin Sa’ad, dia berkata,
“Bahwasanya orang-orang diperintahkan untuk meletakkan tangan kanan di
atas tangan kiri di saat shalat.” [22]
Selanjutnya membaca surat al-Faatihah dan surat yang lainnya setelah
melakukan takbir yang pertama, sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Thalhah bin ‘Abdillah bin ‘Auf, dia berkata, “Aku pernah shalat Jenazah
di belakang Ibnu ‘Abbas dan saat itu ia membaca surat al-Faatihah dan
sebuah surat lainnya. Ia sengaja mengeraskan bacaannya agar aku
mendengarnya, setelah selesai shalat aku memegang tangannya dan
menanyakan hal itu, ia pun menjawab, ‘Aku sengaja mengeraskan suaraku
agar engkau mengetahui bahwa ini adalah Sunnah dan haq.’” [23]
Dan dibaca secara sirri (pelan tidak terdengar), sebagaimana yang
diterangkan dalam hadits Abu Umamah bin Sahl, ia berkata: “Termasuk
Sunnah dalam shalat Jenazah untuk membaca surat al-Faatihah secara pelan
tidak terdengar (sirr) setelah takbir yang pertama, kemudian bertakbir
tiga kali, lalu salam ketika takbir yang terakhir.” [24]
Setelah itu dilanjutkan dengan melakukan takbir yang kedua dan membaca
shalawat kepada Nabi Shallallau 'alaihi wa sallam. Ini semua berdasarkan
hadits Abu Umamah yang telah disebutkan tadi, bahwasanya ada seorang
Sahabat yang mengabarinya, “Sesungguhnya termasuk Sunnah dalam shalat
Jenazah agar imam bertakbir, kemudian membaca surat al-Faatihah setelah
takbir yang pertama secara sirr, lalu dilanjutkan dengan membaca
shalawat atas Nabi dan berdo’a dengan ikhlas untuk si mayit pada tiga
takbir yang berikutnya, dan dia tidak membaca padanya satu surat pun,
kemudian setelah itu dia salam dengan sirr pula.” [25]
Kemudian dilanjutkan dengan melakukan takbir yang berikutnya, dan
mengikhlaskan do’a untuk si mayit pada sisa takbir tersebut, berdasarkan
sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
إذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى الْمَيِّتِ فَأَخْلِصُوْا لَهُ الدُّعَاءَ.
“Jika kalian menshalatkan jenazah, maka do’akanlah ia dengan penuh keikhlasan.” [26]
Hendaklah berdo’a dengan do’a-do’a yang telah diajarkan oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, di antaranya do’a yang diriwayatkan dari
‘Auf bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam menshalatkan jenazah, maka aku hapalkan do’a yang
beliau baca, yaitu:
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ,
وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ, وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ
وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ, وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقّى
الْثَوْبُ اْلأبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ
دَارِهِ وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ, وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ
وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ, وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ
النَّارِ.
‘Ya Allah ampunilah dan rahmatilah dia, bebaskanlah ia dan maafkanlah,
dan tempatkanlah ia di tempat yang mulia (Surga), lapangkanlah kuburnya,
dan mandikanlah ia dengan air, salju dan embun, bersihkanlah ia dari
kesalahannya sebagaimana kain putih dibersihkan dari kotoran, dan
gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya, keluarga yang
lebih baik dari keluarganya, dan isteri yang lebih baik dari isterinya,
dan masukkanlah ia ke dalam Surga serta jauhkanlah ia dari adzab kubur
dan adzab Neraka.’”
Berkata ‘Auf bin Malik, “Aku berharap seandainya aku yang menjadi mayit itu.”[27]
Disyari’atkan untuk berdo’a di antara takbir yang terakhir dan salam.
Hal ini berdasarkan hadits Abu Ya’fur, dari ‘Abdullah bin Abi Aufa, ia
berkata, “Aku menyaksikannya (yaitu Ibnu Abi Aufa) melakukan takbir
dalam shalat Jenazah empat kali, kemudian dia berdiri sejenak -berdo’a-
kemudian berkata, ‘Apakah kalian menyangka aku bertakbir lima kali?’
Yang hadir menjawab, ‘Tidak.’ Dia pun berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir empat kali.’” [28]
Setelah itu, melakukan salam dua kali seperti salam dalam shalat fardhu,
ke sebelah kanan dan kiri, berdasarkan hadits ‘Abdullah bin Mas’ud
Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Tiga hal yang Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam selalu melakukannya namun ditinggalkan oleh manusia,
salah satunya adalah mengucapkan salam ketika shalat jenazah,
sebagaimana salam dalam shalat.” [29]
Diperbolehkan hanya dengan satu salam yang pertama saja, berdasarkan
hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam shalat jenazah, kemudian beliau bertakbir empat kali
serta salam satu kali. [30]
Tidak Dibolehkan Menshalatkan Jenazah Pada Waktu-Waktu Yang Dilarang Padanya Mengerjakan Shalat Kecuali Karena Darurat
Berdasarkan hadits ‘Uqbah bin ‘Amir, dia berkata, “Ada tiga waktu di
mana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kami untuk shalat
dan menguburkan mayit padanya, yaitu ketika matahari terbit hingga
meninggi, ketika tengah hari hingga matahari condong ke barat, dan
ketika matahari hampir terbenam hingga terbenam.” [31]
Keutamaan Shalat Jenazah dan Mengantarnya (Ke Kuburan)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ وَلَمْ يَتْبَعْهَا فَلَهُ قيِرَاطٌ، فَإِنْ
تَبِعَهَا فَلَهُ قِيْرَاطَانِ, قِيْلَ وَمَا قِيْرَاطَانِ؟ قَالَ:
أَصْغَرُهُماَ مِثْلَ أُحُدٍ.
“Barangsiapa yang menshalati jenazah, kemudian dia tidak mengantarnya
(ke kuburan), maka dia mendapatkan satu qirath. Jika dia mengantarnya,
maka baginya dua qirath.” Para Sahabat bertanya, “Berapa ukuran dua
qirath itu?” Beliau menjawab, “Ukuran terkecilnya seperti gunung Uhud.”
[32]
Dan keutamaan dalam mengantar jenazah ini hanya khusus untuk laki-laki,
berdasarkan pada larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
kepada para wanita untuk mengikuti jenazah, dan ini merupakan larangan
yang maknanya penyucian. Telah diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah, dia
berkata, “Kami (wanita) dilarang ikut mengantar jenazah tetapi larangan
itu tidak dikeraskan atas kami.” [33]
Diharamkan mengiringi jenazah dengan hal-hal yang bertentangan dengan
syari’at dan telah diterangkan dalam beberapa dalil tidak boleh
mengiringinya dengan dua perkara, yaitu menangis dengan suara keras dan
mengiringinya dengan dupa/kemenyan, sebagaimana sabda beliau:
لاَتُتْبِعُ الْجَناَزَةَ بِصَوْتٍ وَلاَ نَارٍ.
“Janganlah kalian iringi jenazah dengan rintihan suara dan api.” [34]
Dan termasuk dalam hal-hal yang dilarang adalah mengeraskan suara dzikir
di depan jenazah, karena hal itu adalah bid’ah, berdasarkan riwayat
Qais bin ‘Ibad, ia berkata, “Para Sahabat Rasulullah membenci
mengeraskan suara di dekat jenazah.” [35]
Disebabkan juga karena hal ini merupakan bentuk penyerupaan dengan adat
umat Nasrani, sesungguhnya mereka (Nasrani) mengeraskan suara mereka
saat membaca Injil dan dzikir dengan suara sendu bertalu-talu yang
melambangkan rasa belasungkawa. Dan lebih buruk dari itu, mengiringinya
dengan alat-alat musik yang dimainkan dengan irama penuh haru,
sebagaimana yang banyak dilakukan di negara-negara Islam karena meniru
orang-orang kafir. Hanya kepada Allah-lah kita mohon pertolongan.
Diwajibkan Untuk Mempercepat Langkah Saat Mengusung Mayit Tetapi Bukan Dengan Lari-Lari Kecil
Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
أَسْرِعُوْا بِالْجَناَزَةِ, فَإِنْ تَكُنْ صَالِحَةً فخَيْرٌ
تُقَدِّمُوْنَهَا عَلَيْهِ, وَإِنْ تكُنْ غَيْرَ ذَلِكَ فَشَرٌّ
تَضَعُوْنَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ.
“Segerakanlah pemakaman jenazah, jika ia termasuk orang-orang yang
berbuat kebaikan, maka kalian telah menyerahkan kebaikan itu kepadanya,
dan jika dia bukan termasuk orang yang berbuat kebaikan, maka kalian
telah melepaskan kejelekan dari pundak-pundak kalian.” [36]
Boleh berjalan di depan dan di belakang jenazah. Juga di sebelah kiri
dan kanannya, tapi dengan jarak yang tidak terlalu jauh dengan mayit,
kecuali orang yang mengendarai kendaraan, maka ia harus berjalan di
belakang jenazah, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits al-Mughirah
bin Syu’bah bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَلرَّاكِبُ خَلْفَ الْجَنَائِزِ, وَالْمَاشِى حَيْثُ شَاءَ مِنْهَا.
“Orang yang mengendarai kendaraan hendaknya berjalan di belakang
jenazah, sedangkan yang berjalan kaki boleh sebelah mana saja yang dia
suka.” [37]
Tetapi berjalan di belakang jenazah lebih utama, karena hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
وَاتَّبِعُوا الْجَنَائِزَ.
“Dan ikutilah jenazah.”
Dan hal ini diperkuat lagi dengan perkataan ‘Ali Radhiyallahu anhu,
“Berjalan di belakang jenazah lebih utama dari pada berjalan di
depannya, sebagaimana keutamaan orang yang shalat berjama’ah dari orang
yang shalat sendiri.” [38]
Apa Yang Harus Diucapkan Oleh Orang Yang Masuk Atau Melewati Kuburan
Diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia bertanya, “Wahai
Rasulullah, apa yang harus aku ucapkan untuk mereka (mayit)?” Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Ucapkanlah:
اَلسَّلاَمُ عَلَى أَهْلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
وَالْمُسْلِمِيْنَ, وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِيْنَ مِنَّا
وَالْمُسْتَأْخِرِيْنَ, وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلاَحِقُوْنَ.
'Semoga keselamatan selalu dilimpahkan kepada penghuni perkampungan ini
dari kaum muslimin dan mukminin, dan semoga Allah merahmati orang-orang
yang telah terdahulu dari kita dan juga mereka yang datang belakangan,
dan insya Allah kami akan menyusul kalian semua.” [39]
Juga dari Sulaiman bin Buraidah Radhiyallahu anhuma, dari ayahnya, dia
berkata, “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
mengajarkan kepada kami jika kami keluar menuju kuburan agar
mengucapkan:
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْ مِنِيْنَ
وَالْمُسْلِمِيْنَ, وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلاَحِقُوْنَ,
أَسْئَلُ اللهَ لَناَ وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ.
"Semoga keselamatan selalu dilimpahkan kepada penghuni perkampungan ini
dari kaum muslimin dan mukminin, dan insya Allah kami akan menyusul
kalian semua, dan aku memohon kepada Allah agar memberikan keselamatan
kepada kita semua.’”[40]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz,https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Footnote
[1]. Shahih: [Ahkaamul Janaa-iz, hal. 79)], Sunan Abu Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (VII/378, no. 2693), Sunan Ibni Majah (II/950, no. 2838), Sunan
an-Nasa-i (IV/64).
[2]. Sanadnya hasan: [Ahkaamul Janaa-iz, hal. 80], [Shahiih Sunan Abi
Dawud (no. 2729)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (VIII/376, no.
3171).
[3]. Hasan: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 2688)], Sunan Abi Dawud
(‘Aunul Ma’buud) (VIII/408, no. 3119) secara ringkas, Sunan at-Tirmidzi
(II/241, no. 1021) secara panjang.
[4]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1839)], Shahiih Muslim (IV/2050, no. 2262), Sunan an-Nasa-i (IV/57).
[5]. Sanadnya hasan: [Ahkaamul Janaa-iz, hal. 49], semua perawinya
tsiqah (ter-percaya) dan riwayat ini dikeluarkan oleh ath-Thahawi dalam
al-Ma’aanil Atsaar (I/290).
[6]. Shahih: [Shahih Sunan an-Nasa-i (no. 1881)], Shahih Muslim (II/654,
no. 947), Sunan at-Tirmidzi (II/247/1034), Sunan an-Nasa-i (IV/75).
[7]. Shahih: [Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 2267)], Shahiih
Muslim (II/655, no. 947), Sunan Abu Dawud (‘Aunul Ma'buud) (VIII/451,
no. 3154), Sunan Ibni Majah (I/477, no. 1489) dengan lafazh seperti ini.
[8]. Hasan: [Ahkaamul Janaa-iz, hal. 99-100], Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud VIII/448, no. 3150), Sunan at-Tirmidzi (II/246, no. 1033), Sunan
Ibni Majah (I/478, no. 1490).
[9]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1869)], [Ahkaamul Janaa-iz, hal. 103], Sunan an-Nasa-i (IV/81).
[10]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1859)], Shahiih Muslim
(II/668, no. 973 (100)), ini adalah lafazhnya. Hadits ini juga
diriwayatkan secara singkat dalam Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(VIII/477, no. 3173), Sunan an-Nasa-i (IV/68).
[11]. Shahih: [Ahkamul Janaa-iz 106], Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/199, no. 1329),
[12]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/116, no.
1245), Sha-hiih Muslim (II/656, no. 951), Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (IX/5, no. 3188), Sunan an-Nasa-i (IV/72).
[13]. Sanadnya hasan: [Ahkamul Janaa-iz, hal. 108], berkata al-Albani,
“Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath (II/80, no.
1).
[14]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1214)], Sunan Abi Dawud
(‘Aunul Ma’buud) (VIII/484, no. 3178), Sunan at-Tirmidzi (II/249, no.
1039), Sunan Ibni Majah (I/479, no. 1494).
[15]. Telah berlalu takhrijnya.
[16]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1222)], Shahiih Muslim
(II/659, no. 957),Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (VIII/494, no. 3181),
Sunan at-Tirmidzi (II/244, no. 1028), Sunan Ibni Majah (I/482, no.
1505), Sunan an-Nasa-i (IV/72).
[17]. Sanadnya shahih: [Ahkamul Janaa-iz, hal. 113], Mustadrak al-Hakim (III/409), al-Baihaqi (IV/36).
[18]. Sanadnya shahih: [Ahkamul Janaa-iz, hal. 114], al-Baihaqi (IV/36).
[19]. Sanadnya shahih: [Ahkamul Janaa-iz, hal. 113], ad-Daraquthni (II/73, no. 7), al-Baihaqi (IV/37).
[20]. Telah berlalu takhrijnya, hal. 166 (kitab asli)
[21]. Perawinya tsiqah (terpercaya) [Ahkamul Janaiz, hal. 116].
[22]. Telah berlalu takhrijnya.
[23]. Shahih: [Ahkamul Janaa-iz, hal. 119], Sunan an-Nasa-i (IV/75),
adapun hadits tentang membaca al-Fatihah saja, telah diriwayatkan oleh
Shahih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/203, no. 1335), Sunan Abu Dawud
(‘Aunul Ma’buud) (VIII/ 495, no. 3182), Sunan at-Tirmidzi (II/246, no.
1032), Sunan Ibni Majah (I/ 479, no. 1495)
[24]. Sanadnya shahih: [Ahkamul Janaa-iz, no. 111], Sunan an-Nasa-i (IV/75).
[25]. Shahih: [Ahkamul Janaa-iz, hal. 122], asy-Syafi’i dalam al-Umm (I/170), al-Baihaqi (IV/39
[26]. Hasan: [Irwaa-ul Ghalil (no. 732)], [Shahih al-Jaami'ish Shaghiir
(no. 669)], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (VIII/496, no. 3183), Sunan
Ibni Majah (I/480, no. 1497)
[27]. Shahih: [Ahkaamul Janaa-iz hal. 123], Shahih Muslim (II/662, no.
963), Sunan Ibni Majah (I/481, no. 1500), Sunan an-Nasa-i (IV/73).
[28]. Sanadnya shahih: [Ahkamul Janaa-iz, hal. 126], al-Baihaqi (IV/35).
[29]. Sanadnya hasan: [Ahkamul Janaa-iz hal. 127], al-Baihaqi (IV/43).
[30]. Sanadnya hasan: [Ahkam al-Janaa-iz hal. 128], Mustadrak al-Hakim (I/360), al-Baihaqi (IV/43).
[31]. Telah berlalu takhrijnya.
[32]. Shahih: [Shahiih al-Jaami'ish Shaghiir (no. 6355)], Shahiih Muslim (II/653, no. 945 (53)).
[33]. Muttafaq ‘alaihi: Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari III/144, no.
1278), Shahiih Muslim (II/646, no. 938), Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (VIII/449, no. 3151), Sunan Ibni Majah (I/502, no. 1577).
[34]. Hasan: [Ahkaamul Janaa-iz, hal. 70], Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (VIII/453, no. 3155)
[35]. Semua perawinya tsiqah (terpercaya): [Ahkaamul Janaa-iz, hal. 71], al-Bai-haqi (IV/73).
[36]. Telah berlalu takhrijnya
[37]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3533)], Sunan
at-Tirmidzi (II/248, no. 1036), Sunan an-Nasa-i (IV/55), Sunan Abi Dawud
(‘Aunul Ma’buud) (VIII/467, no. 3164).
[38]. Sanadnya hasan: [Ahkamul Janaa-iz, hal. 74], al-Baihaqi (IV/25).
[39]. Shahih: [Shahiih al-Jaami'ish Shaghiir (no. 4421)], [Ahkamul
Janaa-iz, hal. 183], Shahiih Muslim (II/669, no. 973(103)), Sunan
an-Nasa-i (IV/91).
[40]. Shahih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 1928)], Shahiih Muslim (II/671, no. 975), Sunan an-Nasa-i (IV/94).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar