Suami melaksanakan tugas-tugas agamanya dan takut kepada Allah, tetapi
dia diuji dengan seorang isteri yang seringkali tidak bersuci dengan
baik dari janabah, yang saya ketahui bahwa wanita ini menjadikan
pancuran air mengguyur tubuhnya, dan air tersebut tidak mengenai
kepalanya. Apakah dia berdosa setiap kali menyetubuhinya setelah mandi
dengan cara yang telah saya sebutkan tadi?
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Jawaban
Suami tersebut wajib menasihati isterinya dan menjelaskan kepadanya
tentang cara mandi janabah. Yaitu harus mengguyurkan air di atas
kepalanya, meskipun dalam keadaan terikat; berdasarkan apa yang
diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari hadits Ummu
Salamah Radhiyallahu ‘anha, bahwasanya ia menuturkan: "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku memintal rambut kepalaku, apakah aku harus
menguraikannya untuk mandi janabah?" Beliau menjawab:
"Cukuplah engkau mengguyurkan (air) di atas kepalamu sebanyak tiga kali
guyuran, kemudian guyurkan air pada seluruh tubuhmu, maka engkau menjadi
bersih." [1]
PERTANYAAN TENTANG HUKUM BERSUCI SETELAH BERCUMBU
Tatkala suami isteri bercumbu, mencium, atau menyentuh dengan syahwat,
lalu dia melihat di celana dalamnya ada cairan yang berasal dari
farjinya setelah kemaluannya ereksi kemudian melunak. Lalu ditanyakan
tentang pengaruh-pengaruh yang disebabkan oleh hal itu berupa bersuci,
serta sah dan tidaknya puasa?
Jawaban
Penanya tidak menyebutkan dalam pertanyaannya bahwa ia merasa sperma
keluar karena mencumbui isterinya. Ia hanyalah menyebutkan bahwa dia
melihat cairan di celana dalam-nya. Tampaknya, wallaahu a’lam, bahwa apa
yang dilihatnya adalah madzi, [2] bukan mani. Madzi adalah najis yang
mengharuskan untuk menyuci kemaluan, dan tidak membatalkan puasa menurut
pendapat yang shahih dari pendapat-pendapat para ulama. Ia juga tidak
wajib mandi karenanya. Adapun jika yang keluar adalah mani, maka ia
wajib mandi dan membatalkan puasa. Mani adalah suci, hanya saja ia kotor
dan disyari’atkan mencuci bagian pakaian atau celana yang terkena mani.
Orang yang berpuasa disyari’atkan menjaga puasanya dengan meninggalkan
segala hal yang akan membangkitkan syahwatnya, seperti bercumbu dan
sejenisnya. [3]
PERTANYAAN TENTANG TEMPAT TIDUR YANG TERNODA
Jika seorang pria mencampuri isterinya, lalu pakaian dan tempat tidur
ternoda oleh bekas persetubuhan, maka apa hukum mengenai hal itu, dan
apakah seseorang wajib untuk mandi setiap selesai berampur?
Jawaban
Pertama, dia wajib mencuci apa yang mengenai pakaian dan tempat tidur
bekas persetubuhan; karena di dalamnya terdapat kotoran vagina dan
cairannya yang bercampur dengan mani.
Kedua, jika penis laki-laki telah masuk ke dalam vagina pe-rempuan, maka
ia wajib mandi, walaupun tidak keluar mani. Dibolehkan mandi hanya
sekali setelah menyetubuhi dua kali atau lebih kepada seorang isteri
atau lebih; berdasarkam hadits shahih dari Anas Radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggilir para isterinya dengan
sekali mandi. [4]
PERTANYAAN TENTANG KELUARNYA MANI TANPA PERSETUBUHAN
Jika cairan keluar dari wanita tanpa persetubuhan atau mimpi, apakah ia
wajib mandi? Apakah wanita sama dengan laki-laki dalam hal pembagian
cairan yang keluar dari kemaluannya, seperti mani, madzi dan wadi?
Ataukah cairannya tersebut mengharuskan mandi, jika keluar, bagaimana
pun keadaannya?
Jawaban
Jika mani keluar dari wanita dengan kenikmatan, maka ia wajib mandi,
walaupun keluarnya mani tersebut darinya tanpa persetubuhan dan mimpi.
Jika madzi keluar darinya, maka ia wajib mencuci kemaluannya. Jika wadi
keluar darinya, maka hukumnya seperti hukum air kencing dan ia wajib
mencucinya. Pembagian cairan wanita sebagaimana yang berlaku pada
laki-laki. Ia harus berwudhu’, jika hendak melakukan sesuatu yang
meng-haruskan bersuci, seperti shalat dan sejenisnya, wa billaahit
taufiiq. [5]
PERTANYAAN APAKAH MENYENTUH WANITA MEMBATALKAN WUDHU?
Syaikh ‘Utsaimin menjawab: Yang benar bahwa menyentuh wanita tidak
membatalkan wudhu’ secara mutlak, kecuali jika keluar sesuatu darinya
(mani). Dalil atas hal itu adalah hadits shahih dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, bahwa beliau mencium salah seorang isterinya dan
pergi untuk menunaikan shalat tanpa berwudhu’. Karena pada dasarnya
tidak ada yang membatalkan sehingga ada dalil yang secara tegas
membatalkannya. Dan oleh karena orang itu telah menyempurnakan
bersucinya sesuai dengan dalil syar’i, maka tidak dapat dianggap batal
kecuali dengan dalil syar’i.
Jika dikatakan: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah berfirman dalam Kitab-Nya:
‘Atau menyentuh wanita.’” [Al-Maa-idah : 6]
Jawaban
Yang dimaksud dengan bersentuhan dalam ayat ini adalah jima’
(persetubuhan), sebagaimana diriwayatkan secara shahih dari Ibnu ‘Abbas
Radhiyallahu ‘anhuma. Kemudian, di sana terdapat dalil lainnya berupa
pembagian ayat ini, yaitu pembagian bersuci menjadi ashliyyah (asli) dan
badaliyyah (pengganti), juga pembagian bersuci menjadi kubra (besar)
dan shughra (kecil), serta pembagian sebab-sebab bersuci, baik yang
kubra maupun shughra.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerja-kan shalat,
maka basuhlah wajah dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki… ”
[Al-Maa-idah: 6]
Ini adalah bersuci dengan air, yaitu (thaharah) ashliyyah shughra.
Kemudian Dia berfirman.
"Dan jika kamu junub, maka bersuci (mandi)lah." [Al-Maa-idah: 6]
Ini adalah bersuci dengan air, yaitu (thaharah) ashliyyah kubra.
Kemudian, Dia pun berfirman.
"Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air
(kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah.” [An-Nisaa’: 43]
Firman Allah, “Maka bertayammumlah,” ini adalah (thaharah) badal (pengganti).
Sedangkan firman-Nya,“Atau menyentuh perempuan,” merupakan penjelasan
mengenai sebab (thaharah) kubra. Seandainya kita memahaminya sebagai
sentuhan dengan tangan, niscaya dalam ayat ini Allah telah menyebutkan
dua sebab untuk bersuci shughra dan mendiamkan tentang sebab bersuci
yang kubra. Padahal Dia berfirman, "Dan jika kamu junub, maka bersuci
(mandi)lah," ini jelas menyelisihi balaghah (keindahan bahasa)
al-Qur-an. Atas dasar hal itu, maka ayat ini menunjukkan bahwa yang
dimaksud dengan firman Allah, “Atau kamu menyentuh perempuan,” (adalah)
kamu menyetubuhi wanita, sehingga ayat ini mencakup dua hal yang
menyebabkan bersuci: sebab besar dan sebab kecil. Thaharah yang kecil
ada di empat anggota tubuh, sedangkan yang besar ada pada seluruh tubuh.
Thaharah seluruh tubuh yang digantikan dengan tayammum cukup diwakili
oleh dua anggota tubuh saja (wajah dan tangan), karena dalam tayammum
ini adalah sama saja, baik thaharah kecil maupun besar.
Atas dasar ini, maka pendapat yang kuat bahwa sekedar menyentuh wanita
tidak membatalkan wudhu’ secara mutlak, baik dengan syahwat maupun tidak
. Kecuali bila keluar sesuatu darinya, maka ia wajib mandi jika yang
keluar tersebut adalah mani. Ia pun wajib mencuci kemaluan dan buah
dzakarnya disertai dengan wudhu’ jika yang keluar adalah madzi. [6]
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia
Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin
Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu
Katsair]
____https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,______
Foote Note
[1]. HR. Muslim (no. 330) kitab al-Haidh, at-Tirmidzi (no. 106) kitab
ath-Thahaarah, an-Nasa-i (no. 242) kitab ath-Thahaarah, Abu Dawud (no.
251) kitab ath-Thahaarah wa Sunanuhaa, Ibnu Majah (no. 603) kitab
ath-Thahaarah, Ahmad (no. 25938), ad-Darimi (no. 1157) kitab
ath-Thahaarah.
[2]. Madzi adalah cairan bening kental yang biasanya keluar dari
kemaluan laki-laki pada saat mencumbu isterinya sebelum mencampurinya
[3]. Fataawaa al-Lajnah ad-Daa-imah lil Iftaa'.
[4]. HR. Muslim (no. 309) kitab al-Haidh, Ibnu Majah (no. 478) kitab
al-Haidh, at-Tirmidzi (no. 140) kitab ath-Thahaarah. Lihat Fataawaa
al-Lajnah ad-Daa-imah lil Iftaa'.
[5]. Fataawaa al-Lajnah ad-Daa-imah lil Ifta’ (V/297).
[6]. Dinisbatkan oleh penulis kitab Fataawaa al-‘Ulamaa' fii ‘Isyratin
Nisaa', (hal. 36) kepada kitab Majmuu’ Fataawaa wa Rasaa-il Syaikh Ibni
‘Utsaimin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar