Kita berbicara tentang kaum wanita yang patut diteladani, dan kita tidak
bisa melupakan seorang wanita yang mencapai derajat kemauan tertinggi
dan mendapatkan kabar gembira (bahwa dia akan masuk) Surga, sedangkan
dia berjalan di permukaan bumi. Dari wanita inilah kita belajar
kemuliaan, kesabaran, dan memberi sumbangsih di jalan agama ini.
Ia adalah al-Ghumaisha' binti Milhan Ummu Sulaim Radhiyallahu ‘anha,
yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentangnya:
“Aku memasuki Surga lalu aku mendangar suara, maka aku bertanya,
‘Siapakah ini?’ Mereka berkata, ‘Ini adalah al-Ghumaisha’ binti Milhan,
Ummu Anas bin Malik.’” [1]
Bagaimana kisah Shahabiyah yang mulia ini?
Pertama : Mari Kita Dengar Kisah Pernikahannya.
An-Nasa-i meriwayatkan dari hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu, ia
mengatakan: “Abu Thalhah (datang) melamar, lalu Ummu Sulaim berkata,
‘Demi Allah, orang semisalmu, wahai Abu Thalhah, tidak akan ditolak.
Tetapi engkau adalah pria kafir sedangkan aku wanita muslimah, dan tidak
halal bagiku menikahimu. Jika engkau masuk Islam, maka itulah maharku
dan aku tidak meminta kepadamu selainnya. Kemudian dia masuk Islam, lalu
hal itu menjadi maharnya.’ Tsabit berkata, ‘Aku tidak mendengar seorang
wanita pun yang lebih mulia maharnya dibanding Ummu Sulaim, (maharnya)
yaitu Islam.’” [2]
Kedua : Kesabarannya.
Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa seorang anak dari
Abu Thalhah sakit. Ketika Abu Thalhah keluar, anak itu meninggal. Ketika
Abu Thalhah kembali, dia bertanya, “Bagaimana anakku?” Ummu Sulaim
menjawab, “Ia dalam kondisi sangat tenang,” seraya menghidangkan makan
malam kepadannya, dan dia pun makan. Dalam sebuah riwayat disebutkan
bahwa Ummu Sulaim berkata, “Jangan beritahukan kepada Abu Thalhah
tentang kematian anaknya.” Kemudian ia melakukan tugasnya sebagai isteri
kepada suaminya, lalu suaminya berhubungan intim dengannya. Ketika
akhir malam, ia berkata kepada suaminya, “Wahai Abu Thalhah, bagaimana
pendapatmu bila keluarga si fulan meminjam suatu pinjaman, lalu
memanfaatkannya, kemudian ketika pinjaman itu diminta, mereka tidak
suka?” Ia menjawab, “Mereka tidak adil.” Ummu Sulaim berkata,
“Sesungguhnya anakmu, fulan, adalah pinjaman dari Allah dan Dia telah
mengambilnya.” Abu Thalhah beristirja’ (mengucapkan: Innaa lillaahi wa
innaaa ilaih raaji’uun) dan memuji Allah seraya mengatakan, “Demi Allah,
aku tidak membiarkanmu mengalahkanku dalam kesabaran.” Pada pagi
harinya, dia datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tatkala beliau melihatnya, beliau bersabda, “Semoga Allah memberkahi
kalian berdua di malam hari kalian.” Keberkahan itu, sejak malam itu,
mencakup ‘Abdullah bin Abi Thalhah, dan tidak ada pada kaum Anshar
seorang pemuda yang lebih baik darinya. Dari ‘Abdullah tersebut lahirlah
banyak anak, dan ‘Abdullah tidak meninggal sehingga dia dikaruniai
sepuluh anak yang semuanya hafal al-Qur-an, dan dia wajat di jalan
Allah. [3]
Ketiga : Jihadnya Di Jalan Allah.
Muslim meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu ‘anhu bahwa pada perang
Hunain, Ummu Sulaim membawa pisau kecil. Senjata itu bersamanya. Ketika
Abu Thalhah melihatnya, maka dia mengatakan, “Wahai Rasulullah! Ini
adalah Ummu Sulaim, ia membawa pisau kecil.” Mengetahui hal itu, beliau
bertanya, “Untuk apa pisau kecil ini?” Ia menjawab, “Aku membawanya;
jika seorang dari kaum musyrik mendekat kepadaku, maka aku robek
perutnya dengannya.” Mendengar hal itu beliau tertawa. Ia berkata,
“Wahai Rasulullah, akan kubunuh orang-orang yang masuk Islam setelah
kita dari kalangan thulaqa' [4] yang melarikan diri darimu!” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Wahai Ummu Sulaim, Allah telah
mencukupi dan berbuat baik.” [5]
Keempat : Kemuliaannya Di Rumahnya.
Kita masih membicarakan Shahabiyah mulia ini, dan kita akan mendengarkan
tentang kemuliaannya di rumahnya dan pengetahuannya bahwa Allah Azza wa
Jalla akan memberi ganti kepada orang-orang yang berinfak. [6]
Dalam Shahiih al-Bukhari dari hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu, ia
menuturkan bahwa Abu Thalhah berkata kepada Ummu Sulaim, “Aku telah
mendengar suara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan lemah
yang aku ketahui beliau sedang lapar; apakah engkau mempunyai sesuatu?”
Ia menjawab, “Ya.” Lalu ia mengeluarkan sejumlah roti yang terbuat dari
gandum, kemudian mengeluarkan kerudungnya lalu membungkus roti tersebut
dengan sebagiannya. Kemudian ia melilitkannya di bawah tanganku, lalu
mengutusku kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pun
pergi dan menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid
bersama sejumlah orang. Ketika aku berada di hadapan mereka, beliau
bertanya kepadaku, “Apakah Abu Thalhah mengutusmu?” Aku menjawab, “Ya.”
Beliau bertanya, “Dengan membawa makanan?” Aku menjawab, “Ya.” Maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang-orang
yang bersamanya, “Berdirilah!” Beliau beranjak dan aku pun beranjak dari
hadapan mereka hingga aku sampai kepada Abu Thalhah, lalu aku
mengabarkan kepadanya. Abu Thalhah berkata, “Wahai Ummu Sulaim,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang bersama sejumlah
orang, sedangkan kita tidak mempunyai sesuatu untuk menjamu mereka.” Ia
menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Lalu Abu Thalhah pergi
hingga bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. datang dan Abu Thalhah
menyertainya, lalu beliau berkata, “Kemarilah wahai Ummu Sulaim, apa
yang engkau miliki?” Maka ia membawa roti tersebut. Lantas Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. memerintahkan untuk membukanya, dan Ummu
Sulaim membuat kuah untuk menguahinya. Kemudian Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. mengatakan pada makanan itu apa yang hendak
dikatakannya, kemudian beliau bersabda, “Izinkanlah untuk sepuluh orang
orang!” Maka makanan itu mengizinkan mereka, lalu mereka makan hingga
kenyang, lalu mereka keluar. Kemudian beliau bersabda, “Izinkanlah untuk
sepuluh orang!” Maka ia mengizinkan mereka, lalu mereka makan hingga
kenyang. Lalu beliau bersabda, “Izinkahlah untuk sepuluh orang!” Maka ia
menginzinkan mereka, lalu mereka makan hingga kenyang, kemudian mereka
keluar. Selanjutnya beliau mengatakan, “Izinkan untuk sepuluh orang!”
Kemudian mereka semua makan hingga kenyang. Mereka semua berjumlah 70
atau 80 orang. [7]
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia
Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin
Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu
Katsair]
__https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,________
Foote Note
[1]. HR. Muslim (no. 2456) kitab Fadhaa-ilush Shahaabah, Ahmad (no. 13102).
[2]. HR. An-Nasa-i (no. 3341) kitab an-Nikaah, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih an-Nasa-i.
[3]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5470) kitab al-‘Aqiiqah, Muslim
(no. 2144), kitab Fadhaa-ilush Shahaabah, Ahmad (no. 11617).
[4]. Ath-thulaqa’ adalah orang-orang yang masuk Islam dari penduduk
Makkah pada hari penaklukan Makkah. Mereka dinamakan demikian karena
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi kebebasan kepada mereka, dan
keislaman mereka sangatlah lemah. Oleh karena itu, Ummu Sulaim
berkeyakinan bahwa mereka itu munafik yang berhak dibunuh karena mereka
melarikan diri.
[5]. HR. Muslim (no. 1809) kitab al-Jihaad was Siyar, Abu Dawud (no. 3718) kitab al-Jihaad, Ahmad (no. 11698).
[6]. Fiqhut Ta’aamul Bainaz Zaujaini, al-'Adawi (hal. 100).
[7]. HR. Al-Bukhari (no. 3578) kitab al-Manaaqib, Muslim (no. 2040)
kitab al-Asyribah, at-Tirmidzi (no. 3630) kitab al-Manaaqib, Ahmad (no.
13135), Malik (no. 1725) kitab al-Jaami’, ad-Darimi (no. 43), kitab
al-Muqaddimah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar