GOLONGAN AWAM TERGESA-GESA DALAM MENGELUARKAN FATWAhttps://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag, .Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ketika dilontarkan
pertanyaan yang berkaitan dengan syari'at pada suatu majlis, umpamanya,
orang-orang awam berlomba-lomba mengeluarkan fatwa dan mengemukakan
pendapat dalam masalah tersebut yang biasanya tidak berdasarkan ilmu.
Apa komentar Syaikh yang mulia mengenai fenomena ini? Dan apakah ini
merupakan kebaikan terhadap Allah dan RasulNya?
Jawaban
Sebagaimana diketahui, bahwa seseorang tidak boleh berbicara tentang
masalah agama Allah tanpa berdasarkan ilmu, karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah berfirman,
"Artinya : Katakanlah, 'Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji,
baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar
hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan
Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu
ketahui." [Al-A'raf : 33]
Hendaknya seseorang bersikap hati-hati dan takut berkata atas nama Allah
tanpa berdasarkan ilmu. Ini tidak termasuk perkara duniawi yang
merupakan medan akal. Bahkan, sekalipun mengenai perkara duniawi yang
merupakan medan akal, hendaknya seseorang berhati-hati (tidak
terburu-buru) dan perlahan-lahan, karena bisa jadi jawaban dirinya akan
menjadi jawaban yang lainnya, sehingga seolah-olah ia menetapkan dari
dua jawaban dan ungkapannya menjadi ungkapan terakhir yang menentukan.
Banyak orang yang berbicara dengan pendapat mereka, maksud saya, dalam
perkara-perkara yang bukan syari'at. Jika ia perlahan-lahan dan
mengakhirkan pengungkapannya, akan tampak yang benar baginya dari
banyaknya pendapat yang ada yang sebelumnya tidak terbesit di dalam
benaknya. Karena itu, saya sarankan kepada setiap orang, hendaklah
perlahan-lahan untuk menjadi pembicara yang terakhir sehingga ia
seolah-olah menjadi penentu di antara pendapat-pendapat tersebut. Sikap
ini pun untuk mengetahui ragamnya pendapat yang belum diketa-huinya
sebelum ia mendengarnya saat itu. Demikian ini untuk perkara-perkara
duniawi. Adapun untuk perkara-perkara agama, seseorang sama sekali tidak
boleh berpendapat kecuali dengan ilmu yang diketahuinya dari Kitabullah
dan Sunnah RasulNya atau pendapat-pendapat para ahlul ilmi.
[Alfazh wa Mafahim fi Mizanisy Syari'ah, hal. 44-46, Syaikh Ibnu Utsaimin]
PENGARUH ZAMAN TERHADAP FATWA
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ada fenomena yang telah
memasyarakat, yang mana sebagian orang memahami bahwa sebagian perkara
yang dulu diharamkan, seperti radio, kini menjadi halal. Mereka
mengatakan, bahwa berubahnya zaman atau tempat mempengaruhi fatwa. Kami
mohon perkenan Syaikh yang mulia untuk menjelaskan kebenaran dalam hal
ini. Dan bagaimana membantah orang yang mengatakan seperti itu? Semoga
Allah memberi anda kebaikan.
Jawaban:
Sebenarnya, fatwa tidak berubah dengan berubahnya zaman, tempat atau pun
individu, akan tetapi, hukum syari'at itu bila terkait dengan alasan,
jika alasannya ada maka hukumnya berlaku, jika alasannya tidak ada maka
hukumnya pun tidak berlaku. Adakalanya seorang pemberi fatwa melarang
manusia terhadap sesuatu yang dihalalkan Allah karena sesuatu itu
menyebabkan manusia melakukan yang haram, hal ini sebagaimana yang
dilakukan oleh Umar Radiyallahu anhu dalam masalah talak tiga, yaitu
ketika ia melihat orang-orang menyepelekannya sehingga ia
memberlaku-kannya. Sebelumnya, pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, pada masa Abu Bakar Radiyallahu anhu dan pada dua tahun pertama
masa kekhilafahan Umar, talak tiga dianggap satu, lalu karena Umar
melihat orang-orang banyak menyepelekannya maka ia melarang mereka yang
melakukan itu untuk rujuk kepada isteri-isterinya. Demikian juga tentang
hukuman peminum khamr, sebelumnya, pada masa Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan pada masa Abu Bakar, hukumannya tidak lebih dari 40 kali
cambukan, tapi karena orang-orang masih banyak yang suka minum khamr,
maka Umar bermusyawarah dengan para sahabat Radiyallahu anhu, yang
hasilnya menetapkan hukumannya menjadi 80 kali cambukan.
Jadi, hukum-hukum syari'at itu tidak mungkin dipermainkan manusia, jika
mau mereka mengharamkan dan jika mau mereka halalkan, tapi hukum-hukum
syari'at itu harus berdasarkan pada alasan-alasan syar'iyyah yang bisa
menetapkan atau meniadakan.
Adapun tentang radio, tidak ada seorang pun yang mengharamkannya dari
kalangan ulama analistis. Sedangkan yang mengharamkannya hanyalah
orang-orang yang tidak mengetahui hakikatnya. Adapun para ulama
analistis terutama Syaikh kita, Abdurrahman bin Sa'di tidak memandangnya
sebagai hal yang haram, bahkan mereka memandang bahwa radio itu
termasuk hal-hal yang diajarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada
manusia, terkadang bermanfaat dan terkadang pula merusak, tergantung
isinya. Demikian juga pengeras suara (loudspeaker), pada awal
kemunculannya diingkari oleh sebagian orang, tapi itu karena tanpa
penelitian. Sedangkan para analis tidak mengingkarinya, bahkan mereka
memandang bahwa pengeras suara itu termasuk ni'mat Allah Subhanahu wa
Ta’ala untuk memudahkan mereka dalam menyampaikan khutbah dan wejangan
kepada yang jauh.
[Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin yang beliau tanda tangani]
KEDUDUKAN DAN KEUTAMAAN AHLUL ILMU
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana kedudukan dan keutamaan ahlul ilmi dalam Islam?
Jawaban
Kedudukan ahlul ilmi adalah kedudukan yang paling agung, karena para
ahlul ilmi adalah pewaris para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
karena itulah diwajibkan pada mereka untuk menjelaskan ilmu dan mengajak
manusia ke jalan Allah, kewajiban ini tidak dibebankan kepada selain
mereka. Di dunia ini mereka laksana bintang-bintang di langit, yang mana
mereka membimbing manusia yang sesat dan bingung serta menjelaskan
kebenaran kepada mereka dan memperingatkan mereka terhadap keburukan.
Karena itu, di bumi ini, mereka bagaikan air hujan yang membasahi bumi
yang kering kerontang, lalu tumbuhlah tumbuhan dengan izin Allah. Di
samping itu, diwajibkan kepada para ahlul ilmi untuk beramal, berakhlak
dan beretika yang tidak seperti yang diwajibkan pada selain mereka,
karena mereka adalah suri teladan, sehingga mereka adalah manusia yang
paling berhak dan paling berkewajiban untuk melaksanakan syari'at, baik
dalam etika maupun akhlaknya.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
[Dari fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin yang beliau tanda tangani]
[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah
Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini,
Disusun oleh Khalid Al-Juraisy,Penerjemah Amir Hamzah, ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar