PENGHALANG-PENGHALANG DALAM MENUNTUT ILMU.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag, 8. Tidak Mengamalkan Ilmu
Tidak mengamalkan ilmu merupakan salah satu penyebab hilangnya
keberkahan ilmu. Orang yang memilikinya akan dimintai pertanggungjawaban
atas ilmunya. Allah Ta’ala benar-benar mencela orang yang melakukan hal
ini dalam firman-Nya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang
tidak kamu kerjakan. Hal (itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu
mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” [Ash-Shaff: 3]
Tidak mengamalkan ilmu terbagi menjadi dua:
Pertama: Meninggalkan perintah-perintah syari’at dan meninggalkan
perintah untuk tidak melakukan berbagai hal yang diharamkan syari’at.
Hal ini termasuk dosa besar dan kepadanyalah ditujukan ayat-ayat dan
hadits-hadits tentang ancaman tidak mengamalkan ilmu.
Kedua: Meninggalkan perkara-perkara yang di-anjurkan dan meninggalkan
perintah untuk menjauhi perkara-perkara yang dimakruhkan. Terkadang hal
ini dicela, namun tidak masuk dalam nash-nash ancaman. Tetapi, sudah
seharusnya bagi seorang alim dan para penuntut ilmu untuk melakukan
berbagai perkara yang dianjurkan dan menjauhkan berbagai perkara yang
dimakruhkan.[1]
'Ali bin Abi Thalib (wafat th. 40 H) radhiyallaahu ‘anhu mengatakan,
“Ilmu itu memanggil amal. Jika ia memenuhi panggilan tersebut (maka itu
baik), dan jika tidak ia akan pergi.”[2]
Mengapa demikian? Karena ilmu dan amal adalah dua perkara yang saling
berkaitan. Bisa jadi keduanya berkumpul dan bisa jadi keduanya berpisah.
Apabila ada ilmu yang tidak diiringi dengan amal, maka orang yang
memilikinya akan dimintai pertanggungjawaban atas ilmu tersebut.
Imam adz-Dzahabi rahimahullaah menggambarkan kondisi di zamannya dalam
perkataannya, “Hari ini, tidak tersisa dari ilmu-ilmu yang sedikit ini
kecuali sangat sedikit dan ada pada orang tertentu saja. Begitu
sedikitnya orang yang mengamalkan di antara mereka yang berilmu sedikit
itu. Cukuplah Allah bagi kami dan Dia-lah sebaik-baik penolong.” [3]
9. Putus Asa dan Rendah Diri
Wahai para penuntut ilmu! Kita, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnu
Hajar al-‘Asqalani (wafat th. 852 H), dan ulama-ulama lainnya sama-sama
disebutkan dalam firman Allah,
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ
شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan
hati nurani, agar kamu bersyukur.” [An-Nahl: 78]
Kita semua adalah orang yang disebutkan dalam ayat di atas. Ayat ini menyatakan bahwa semua manusia itu sama.
Putus asa dan tidak percaya diri merupakan salah satu sebab tidak
diperolehnya ilmu. Jangan merasa rendah diri dengan lemahnya kemampuan
menghafal, lemah dalam pemahaman, lambat dalam membaca, atau cepat
lupa... Semua penyakit ini akan hilang jika kita meluruskan niat dan
mencurahkan usaha.
Imam al-Bukhari (wafat th. 256 H) rahimahullaah pernah ditanya, “Apakah
obat lupa itu?” Beliau menjawab, “Senantiasa melihat ke kitab.” (yaitu
selalu membaca dan mengulangnya).[4]
Selain itu, menjauhi maksiyat adalah sebab paling utama dalam membantu
menguatkan hafalan. Jadi kita tidak boleh putus asa dan rendah diri,
namun kita harus bersungguh-sungguh dan memohon pertolongan kepada Allah
Ta’ala.
10. Terbiasa Menunda-nunda
Seorang ulama Salaf berkata, “Menunda-nunda adalah termasuk tentara iblis.”
Sebagian penuntut ilmu terbiasa menunda-nunda belajarnya dalam waktu
lama. Mereka mengatakan, “Saya akan menghafalkan kitab si fulan pada
hari anu. Saya akan membaca kitab si fulan setelah melakukan ini dan
itu.”
Yusuf bin Asbath (wafat th. 195 H) rahimahullaah mengatakan, “Muhammad
bin Samurah as-Sa-ih menulis surat kepadaku sebagai berikut, ‘Wahai
saudaraku, janganlah sifat menunda-nunda menguasai jiwamu dan tertanam
dalam hatimu karena ia membuat lesu dan merusak hati. Ia memendekkan
umur kita, sedangkan ajal segera tiba... .Bangkitlah dari tidurmu dan
sadarlah dari kelalaianmu! Ingatlah apa yang telah engkau kerjakan,
engkau sepelekan, engkau sia-siakan, engkau hasilkan, dan apa yang
engkau lakukan. Sungguh, semua itu akan dicatat dan dihisab sehingga
seolah-olah engkau terkejut dengannya dan engkau sadar dengan apa yang
telah engkau lakukan, atau menyesali apa yang telah engkau
sia-siakan.”[5]
Setiap orang yang ingin mendapatkan ilmu dan ingin berkepribadian
sebagaimana orang yang berilmu, hendaklah tidak menyia-nyiakan waktunya
sedikit pun. Sesungguhnya jika seseorang mau membaca sejarah tentang
kesungguhan ulama Salaf dalam memanfaatkan waktunya ia akan merasa
takjub sekaligus heran.
11. Belajar kepada Ahlul Bid’ah
Seorang penuntut ilmu tidak boleh belajar kepada Ahlul bid’ah karena ia
(ahlul bid’ah) merasa ridha dengan sesuatu yang menyelisihi agama Allah,
seolah-olah ia mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala belum
menyempurnakan agama ini dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
belum sempurna dalam menyampaikan seluruh risalah.”
Tidak diragukan apabila seorang penuntut ilmu bermajelis dengan orang
yang memiliki sifat di atas maka ia akan memperoleh kejelekan, dan tidak
ada yang datang kepadanya, kecuali berbagai kerusakan. Karena, meskipun
orang yang bermajelis dengannya tidak mengamalkan bid’ahnya, maka
paling tidak ia mendapatkan syubhat (keraguan) darinya sehingga ia
menjadi bingung dalam segala urusannya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيْسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيْسِ السُّوْءِ كَحَامِلِ
الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ
يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ
رِيْحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيْرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ
وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيْحًا خَبِيْثَةً.
“Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk hanyalah seperti
penjual minyak wangi dan pandai besi. Adapun penjual minyak wangi, bisa
jadi ia memberikanmu minyak, atau engkau membeli darinya, atau engkau
mendapatkan aroma yang harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi
ia membakar bajumu atau engkau mendapatkan bau yang tidak sedap.” [6]
Imam an-Nawawi (wafat th. 676 H) rahimahullaah berkata mengomentari
hadits ini, “Di dalam hadits ini terdapat keutamaan bermajelis dengan
orang-orang shalih, orang-orang yang memiliki kebaikan, akhlak mulia,
wara’, ilmu, dan adab. Dan (di dalamnya juga terdapat) larangan
bermajelis dengan pelaku kejahatan, ahlul bid’ah, orang-orang yang
membicarakan aib orang lain, dan yang selainnya dari berbagai macam
perbuatan tercela.” [7]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُلْتَمَسَ الْعِلْمُ عِنْدَ اْلأَصَاغِرِ.
“Sesungguhnya di antara tanda-tanda Kiamat adalah dipelajarinya ilmu dari al-ashaaghir.” [8]
Imam Ibnul Mubarak (wafat th. 181 H) rahimahullaah ditanya tentang
al-ashaaghir? Beliau menjawab, “Al-ashaaghir adalah ahlul bid’ah.” [9]
Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu mengatakan,
لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْـرٍ مَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ قِـبَـلِ
أَصْحَابِ مُـحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَكَابِرِهِمْ
فَإِذَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ قِبَلِ أَصَاغِرِهِمْ فَذَلِكَ حِيْنَ
هَلَكُوْا.
“Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu
dari para Shahabat Nabi shallalaahu ‘alaihi wa sallam dan para ulama
Ahlus Sunnah. Apabila mereka mengambil ilmu dari ahlul bid’ah, maka
itulah saat kebinasaan mereka.”[10]
Yang dimaksud dengan al-akaabir adalah ulama Ahlus Sunnah yang memahami
Al-Qur'an dan As-Sunnah menurut pemahaman para Shahabat. Dan yang
dimaksud dengan al-ashaaghir adalah ahlul bid'ah. [11]
Para ulama telah mengecam duduk-duduk bersama Ahlul Bid’ah, maka bagaimana dengan mengambil ilmu dari mereka??!!
Imam al-Hasan al-Bashri dan Ibnu Sirin (wafat th. 110 H) rahimahumallaah
mengatakan, “Janganlah kalian bermajelis dengan pengikut hawa nafsu
(ahlul bid’ah), jangan berdebat dengan mereka, dan jangan mendengarkan
perkataan mereka.” [12]
Adapun alasan dilarangnya mendengarkan ilmu dari ahlul bid’ah adalah
agar namanya tidak terkenal, pengikutnya menjadi sedikit, dan selamat
dari berbagai syubhatnya.[13]
Bersungguh-sungguhlah dalam menimba ilmu dari para ulama atau para
ustadz yang memang telah dikenal keteguhannya dalam memegang Al-Qur-an
dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih.
Peringatan:
Pada zaman sekarang ini, tolok ukur manusia dalam menilai sesuatu sudah
rusak. Mereka menganggap bahwa “orang alim/ulama” adalah setiap orang
yang dapat memberikan nasehat yang dapat menyentuh hati atau memberikan
ceramah dengan semangat berapi-api, atau khutbah Jum’at dengan retorika
yang mengesankan. Mereka inilah yang dianggap sebagai ulama sehingga
orang-orang awam belajar dengan mereka, bahkan meminta fatwa dari
mereka.
Wallaahul Musta’aan.
Oleh karena itu, jauhilah kebiasaan masyarakat awam yang mengambil ilmu
dari para pemberi nasihat dan khatib Jum’at yang mereka anggap sebagai
orang alim karena hal itu berarti menyandarkan ilmu bukan kepada
ahlinya. Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan
ahlinya, maka tunggulah datangnya hari Kiamat. Karena, tidak semua orang
yang pandai dalam memberikan nasehat, ceramah, maupun khutbah Jum’at
adalah orang alim. Ini bukan berarti kita tidak boleh mendengar nasihat
dan khutbah mereka, namun maksudnya adalah tidak boleh mengambil
(belajar) ilmu syar’i kepada mereka, dan tidak menempatkan mereka pada
kedudukan ulama. Allah-lah yang memberikan taufiq.[14]
Imam Muhammad bin Sirin (wafat tahun 110 H) rahimahullaah mengatakan,
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ، فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ.
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapakah kalian mengambil agama kalian?” [15]
Imam Malik bin Anas (wafat th. 179 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu
tidak boleh dipelajari dari empat orang: (1) orang bodoh yang
menampakkan kebodohannya meskipun banyak meriwayatkan hadits, (2) ahlu
bid’ah yang mengajak kepada hawa nafsunya, (3) orang yang berdusta saat
berbicara dengan orang lain meskipun ia tidak berdusta dalam
meriwayatkan hadits, dan (4) orang shalih ahli ibadah namun tidak
memahami apa yang ia katakan.” [16]
Syaikh Bakr Abu Zaid hafizhahullaah mengatakan, “Wahai para pelajar!
Jadilah Salafi sejati (ikutilah jejak para ulama Salaf). Hati-hatilah
jangan sampai para ahli bid’ah mencelakakanmu karena mereka banyak
membuat jalan untuk menjegalmu. Mereka bungkus semua itu dengan ucapan
yang manis seperti madu padahal ia adalah madu yang pahit dan kucuran
air mata, indah kulit luarnya dengan tipuan dan khayalan belaka,
mempertontonkan keluarbiasaan yang dianggap “karamah”, menjilati tangan
serta mencium pundak?? Tidaklah semua itu melainkan bara buatan ahli
bid’ah dan panasnya api fitnah yang ditanamkan dalam hatimu yang akan
menjeratmu dalam lingkaran syaitannya. Demi Allah! Tidaklah orang yang
buta bisa menuntun dan memberi petunjuk untuk memimpin orang-orang buta
sepertinya.”[17]
12. Tergesa-gesa Ingin Memetik Buah Ilmu
Seorang penuntut ilmu tidak boleh tergesa-gesa dalam usahanya untuk
memperoleh ilmu. Menuntut ilmu tidak cukup dilakukan satu atau dua tahun
karena yang demikian menyalahi jalan Salafush Shalih. Menuntut ilmu
agama tidak bisa melalui jalan kursus atau belajar dengan singkat. Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja menerima wahyu selama 23 tahun.
Sebagian pelajar ada yang menyangka bahwa menuntut ilmu laksana santapan
lezat dan minuman segar, yang cepat terlihat hasil dan manfaatnya
sehingga ia beranggapan dalam hatinya bahwa setelah berlalu satu tahun
-atau lebih bahkan kurang- dari umurnya yang ia habiskan untuk menuntut
ilmu, maka ia akan menjadi seorang berilmu yang ahli. Ini adalah
pendapat yang keliru, gambaran yang rusak, dan cita-cita yang rendah.
Bahaya yang ditimbulkannya sangat besar dan kerusakannya sangat luas
karena dapat mendorong pelakunya berbicara tentang agama Allah Ta’ala
tanpa ilmu, menganggap dirinya hebat, dan akhirnya mencintai kesombongan
dan merasa sudah alim, padahal ia belum layak untuk itu. [18]
Orang yang memperhatikan keadaan para Salaf, maka ia akan merasa heran
sekaligus takjub dengan kegigihan mereka dalam berusaha memperoleh ilmu
secara terus-menerus. Mereka tidak merasa lemah, pantang menyerah, dan
tidak pernah sombong. Semboyan mereka adalah ‘Menuntut ilmu dari
pangkuan sang ibu sampai masuk liang lahat’. Semboyan ini bukanlah
hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Imam Yahya bin Abi Katsir (wafat tahun 132 H) rahimahullaah mengatakan,
“Ilmu tidak bisa diperoleh dengan tubuh yang dimanjakan.” [19]
Imam Ibnul Madini (wafat th. 234 H) rahimahullaah mengatakan, “Dikatakan
kepada Imam asy-Sya’bi, ‘Dari mana Anda peroleh semua ilmu ini?’ Beliau
menjawab, ‘Dengan tidak bergantung pada manusia, menjelajahi berbagai
negeri, bersabar seperti sabarnya benda mati, dan berpagi-pagi
mencarinya seperti berpagi-paginya burung gagak.’”[20]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Lihat ‘Awaa-iquth Thalab (hal. 23-24), karya ‘Abdus Salam bin Barjas Ali ‘Abdul Karim.
[2]. Iqtidhaa’ al-‘Ilmi al-‘Amal (no. 40). Perkataan yang serupa
diri-wayatkan juga dari Ibnu Munkadir, Sufyan ats-Tsauri, dan Waki’ bin
Jarrah. Lihat Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/707, no. 1274) dan
al-Iqtidhaa’ (no. 41).
[3]. Tadzkiratul Huffaazh (III/157), karya al-Hafizh adz-Dzahabi, cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah.
[4]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/1227, no. 2414).
[5]. Iqtidha al-‘Ilmi al-‘Amal (hal. 114, no. 201).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/408), al-Bukhari (no.
2101, 5534) dan Muslim (no. 2628), lafazh ini milik Muslim, dari
Shahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu.
[7]. Syarah Shahiih Muslim lin Nawawi (XVI/178).
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam kitab az-Zuhd
(no. 52), Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jaami’ (I/612, no. 1051 dan 1052),
ath-Thabrani dalam al-Kabiir (XXII/908), dari Abu Umayyah al-Jumahi
radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no.
695).
[9]. Lihat Syarah Ushuul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah (I/95, no. 102).
[10]. Atsar shahih: Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam kitab az-Zuhd
(no.764), ‘Abdurrazzaq dalam Mushannaf (no. 20446, 20483), dan Ibnu
‘Abdil Barr dalam al-Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/617, no.
1060).
[11]. Ta'liq Syaikh Ahmad Farid atas kitab az-Zuhd karya Imam Ibnul Mubarak (hal. 425)
[12]. Diriwayatkan oleh ad-Darimi dalam Sunannya (I/110). Lihat Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (hal. 528-536).
[13]. Dinukil dari ath-Thariiq ilal ‘Ilmi (hal. 87-88) dengan sedikit perubahan dan tambahan.
[14]. Dinukil dari ‘Awaaiquth Thalab (hal. 33-34) dengan sedikit perubahan.
[15]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam muqaddimah kitab Shahiihnya (I/14).
[16]. Siyar A’laamin Nubalaa’ (VI/ 61).
[17]. Hilyah Thaalibil ‘Ilmi (hal. 42).
[18]. Lihat ‘Awaa-iquth Thalab (hal. 57) dengan sedikit perubahan.
[19]. Diriwayatkan oleh Muslim (no. 612 (175)) dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/384, no. 553).
[20]. Tadzkiratul Huffaazh (I/64).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar