AQIQAHhttps://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag, .Dari Yusuf bin Mahak bahwa mereka pernah masuk menemui Hafshah binti
‘Abdirrahman, lalu mereka bertanya kepadanya tentang aqiqah, maka dia
memberitahu mereka bahwa ‘Aisyah pernah memberitahunya bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan mereka untuk
menyembelih dua ekor kambing yang sama bagi anak laki-laki dan satu ekor
kambing bagi seorang anak perempuan. [HR. At-Tirmidzi, shahih]
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah ditanya tentang aqiqah, maka beliau menjawab, ‘Allah
tidak menyukai kedurhakaan.’ -seolah-olah beliau tidak menyukai nama
tersebut-. Maka dikatakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, ‘Sesungguhnya kami bertanya kepadamu, salah seorang di antara
kami dianugerahi seorang anak?’ Beliau bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَنْسُكْ عَنْهُ عَنِ الْغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ.
‘Barangsiapa yang hendak mengaqiqahi anaknya, maka hendaklah dia
melakukannya. Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama dan bagi
seorang anak perempuan satu ekor kambing.’” [HR. An-Nasa’i, hasan]
Dan diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (IV/101) melalui jalan al-Hasan dari
Samurah, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْغُلاَمُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ
“Seorang anak itu tertahan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, diberi nama, dan dicukur rambutnya.”
Hadits ini shahih. Dan al-Hasan telah mendengarnya dari Samurah. Imam
al-Bukhari mengatakan: -sebagaimana dalam kitab Fathul Baari (IX/590)-
Telah mengatakan kepadaku ‘Abdullah bin Abul Aswad, beliau berkata:
Quraisy bin Anas memberitahu kami dari Habib bin asy-Syahid, dia
berkata, Ibnu Sirin menyuruhku untuk bertanya kepada al-Hasan dari
siapakah dia mendengar hadits tentang aqiqah. Lalu aku bertanya
kepadanya, maka dia pun men-jawab, “Dari Samurah bin Jundub.”
Dan makna مُرْتَهَنٌ بِعَقِيْقَتِهِ adalah bahwa ia tertahan untuk
memberi syafa’at kepada kedua orang tuanya. Menurut bahasa, kata ar-rahn
berarti tertahan. Allah Ta’ala berfirman:
"Tiap-tiap diri tertahan (bertanggung jawab) atas apa yang telah diperbuatnya." [Al-Muddatstsir: 38]
Lahiriah hadits menunjukkan bahwa tertahan pada dirinya. Di mana ia
terlarang dan tertahan dari kebaikan yang dikehendaki. Dan hal tersebut
tidak mengharuskan dirinya akan diberikan hu-kuman di akhirat kelak,
meskipun ia tertahan (dari memberi syafa’at) akibat tindakan kedua orang
tuanya yang tidak mengaqiqahinya. Dan bisa juga seorang anak kehilangan
kebaikan disebabkan oleh tindakan berlebihan dari kedua orang tuanya,
meskipun bukan dari hasil perbuatannya. Sebagaimana pada saat bercampur,
jika dilakukan dengan menyebut nama Allah, niscaya anaknya tidak akan
dicelakakan oleh syaitan. Dan jika penyebutan nama Allah itu
ditinggalkan, niscaya anak yang dilahirkannya tidak akan mendapatkan
penjagaan tersebut. Dinukil dari kitab, Zaadul Ma’aad (II/325). Ibnul
Qayyim mengatakan bahwa ini pendapat milik Imam Ahmad.
Di dalam kitab al-Majmuu’ (VIII/406), Imam an-Nawawi mengatakan, “Aqiqah
adalah sunnah. Yang dimaksudkan adalah penyembelihan kambing untuk anak
yang dilahirkan. Hal itu didasarkan pada apa yang diriwayatkan oleh
Buraidah bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahi
Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhuma. Dan aqiqah sama sekali tidak
wajib. Hal itu didasarkan pada apa yang diriwayatkan ‘Abdurrahman bin
Abi Sa’id dari ayahnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
ditanya mengenai aqiqah, maka beliau menjawab, ‘Allah tidak menyukai
kedurhakaan. Dan orang yang dikaruniai seorang anak, lalu dia hendak
(menyukai dalam) mengaqiqahi anaknya itu, maka hendaklah dia
melakukannya.’
Dengan demikian, beliau telah menggantungkan hal tersebut pada kesukaran
sehingga menunjukkan bahwa ia tidak wajib. Selain itu, karena hal itu
merupakan bentuk penumpahan darah tanpa tindak kriminal dan tidak juga
nadzar sehingga tidak wajib, sebagaimana halnya hukum kurban.”
[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia
Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]
BAGAIMANAKAH CARA MENGHITUNG HARI KETUJUH
Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Dalam masalah inipun para ulama telah berselisih menjadi dua madzhab.
Madzhab yang pertama : Mengatakan bahwa menghitung jumlah tujuh hari itu
ialah dengan memasukkan hari kelahirannya sebagai hari pertama atau
dihitung satu hari.
Maka menurut madzhab pertama ini, apabila seorang anak lahir pada hari
Ahad misalnya, baik lahirnya pada pagi hari sesudah fajar (shubuh) atau
siang hari atau sore hari atau malam hari atau tengah malam sampai
sebelum fajar hari Ahad malam Senin sama saja, maka cara menghitungnya
sebagai berikut.
1. Hari Ahad hari pertama (hari kelahiran)
2. Senin hari kedua
3. Selasa hari ketiga
4. Rabu hari keempat
5. Kamis hari kelima
6. Jum’at hari keenam
7. Sabtu hari ketujuh yaitu hari penyembelihan atau hari aqiqah.
Sedangkan madzhab kedua : Tidak menghitung hari kelahiran sebagai hari pertama. Jadi cara menghitungnya sebagai berikut.
1. Senin hari pertama
2. Selasa hari kedua
3. Rabu hari ketiga
4. Kamis hari keempat
5. Jum’at hari kelima
6. Sabtu hari keenam
7. Ahad hari ketujuh yaitu hari penyembelihan atau hari aqiqah
Menurut ImamNawawi madzhab pertamalah yang benar sesuai dengan zhahirnya
hadits yakni hadits Samurah bin Jundub, “Disembelih untuknya pada hari
ketujuh”. Zhahirnya hari kelahiran dihitung satu hari sebagai hari
pertama. Wallahu ‘alam [1]https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
[Disalin dari buku Menanti Buah Hati Dan Hadiah Untuk Yang Dinanti,
Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam, Komplek Depkes
Jl. Rawa Bambu Raya No. A2, Pasar Minggu – Jakarta]
_______
Footnote
[1]. Majmu Syarah Muhadzdzab Juz 8 hal.431, Tuhfatul Maudud Bab VI Fasal 8.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar