BOLEHNYA ORANG LAIN MENGURUSI SEMBELIHAN NASIKAH (AQIQAH)https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag, Diperbolehkan selain wali anak, untuk mengurusi sembelihan nasikah dan
tidak ada larangan dalam hal itu. Dalilnya adalah ucapan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits Samurah Radhiyallahu ‘anhu.
كُلُّ غُلاَمٍ مُرْاَهِنُ بِعَقِيْقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ
“Artinya : Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh kelahirannya…”
Berkata Al-Allamah Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (5/133) : “Ucapan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “disembelih untuknya” ada dalil di
dalamnya bahwa boleh bagi orang lain untuk mengurusi penyembelihan
nasikah tersebut, sebagaimana bolehnya kerabat mengurusi kerabatnya dan
seseorang mengurusi dirinya”
Kami katakan :
Perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga termasuk dalil yang
terbesar atas kebolehan tersebut di mana beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah mengaqiqahi kedua cucunya Al-Hasan dan Al-Husain.
WALIMAH NASIKAH (AQIQAH)
Tidak ada hadits marfu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
meriwayatkan tentang walimah nasikah ini, akan tetapi ada riwayat dari
sahabat beliau yang meunjukkan hal tersebut.
1. Muawiyah bin Qurrah berkata : “Ketika lahir Iyyas [1] aku mengundang
sekelompok sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku menjamu
mereka, lalu mereka berdo’a. Aku katakana : “Kalian telah berdo’a maka
semoga Allah memberkahi kalian dalam apa yang kalian doakan”. Jika aku
berdo’a dengan satu do’a maka mereka mengaminkan”.
Muawiyah berkata : “Maka aku mendo’akan Iyyas dengan do’a yang banyak untuk kebaikan agamanya dan akal’ [2]
2. Bilal bin Ka’ab Al-Akki’ berkata : “Kami yakni aku, Ibrahim bin
Adham, Abdul Aziz bin Qarir dan Musa bin Yasar, mengunjungi Yahya bin
Hasan Al-Bakri Al-Filisthini di kampungnya. Maka Yahya datang pada kami
dengan membawa makanan. Musa tidak ikut memakan hidangan karena ia
sedang puasa. Maka berkata Yahya : “Telah mengimani kami di masjid ini
selama 40 tahun seorang lelaki dari Bani Kinanah dari sahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kunyahnya Abu Qurshafah. Kebiasan Abu
Qurshafah ini adalah puasa sehari dan berbuka sehari. Lalu lahir
anaknya ayahku maka ayahku mengundangnya bertetapan dengan hari
puasanya, maka ia berbuka”
Ibrahim berdiri lalu menyapunya dengan bajunya dan Musa berbuka dari puasanya [3]
Dengan demikian disyari’atkan walimah nasikah dan bagi yang diundang
hendaklah memenuhinya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda.
أذا دعا أحدكم أخاه فليجب عرسا كان أو نحوه
“Artinya : Bila salah seorang dari kalian mengundang saudaranya maka
hendaklah ia memenuhinya apakah undangan nikah atau semisalnya” [4]
Berkata Imam Syafi’i dalam Al-Umm : “Mendatangi undangan walimah adalah wajib”.
Dan beliau berkata :
“Dan aku tidak memberikan keringanan pada seorangpun untuk meninggalkannya”
Tentunya dikecualikan jika ada kemungkaran di dalam acara tersebut maka ketika itu wajib untuk tidak menghadirinya.
[Disalin dari kitab Ahkamul Maulud Fi Sunnatil Muthahharah edisi
Indonesia Hukum Khusus Seputar Anak Dalam Sunnah Yang Suci, Penulis
Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ah dan Muhammad bin Khalifah
bin Muhammad Ar-Rabah, Penerjemah Ummu Ishaq Zulfa bint Husain,
Penerbit Pustaka Al-Haura]
_______https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Footnote
[1]. Iyyas adalah putra Muawiyah bin Qurrah, ia seorang qadhi yang
masyhur dengan kepandaian, ia tsiqah, sebagaimana disebutkan dalam
At-Taqrib.
[2]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (1255) dan
sanadnya shahih, di dalamnya ada Hazm bin Abi Hazm, kata Syaikh
Al-Albani (dalam) Ash-Shahihah (3/418) : “Dia diperbincangkan tanpa
hujjah”.
Dan ini yang benar maka ia (Hazm) tsiqah sebagaimana dikatakan oleh
Ahmad, Ibnu Main dan selain keduanya, dan tidak perlu menoleh pada
ucapan Ibnu Hajar dal At-Taqrib.
[3]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (1253) dan
sanadnya dlaif. Di dalam sanadnya ada Muhammad bin Abdul Aziz Al-Umari :
“Ia suhuduq sering wahm” seperti yang dinyatakan dalam “At-Taqrib”. Dan
rawi yang bernama Bilal bin Kaab kata Al-Hafidzh ia maqbul yakni jika
ada yang mengikutinya dalam periwayatan.
[4]. Shahih dikeluarkan oleh Musim (10/246-Nawawi) dan selainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar