PENGERTIAN ILMU SYAR’I.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,Secara bahasa اَلْعِلْمُ (al-‘ilmu) adalah lawan dari اَلْجَهْلُ
(al-jahl atau kebodohan), yaitu mengetahui sesuatu sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya, dengan pengetahuan yang pasti.
Secara istilah dijelaskan oleh sebagian ulama bahwa ilmu adalah ma’rifah
(pengetahuan) sebagai lawan dari al-jahl (kebodohan). Menurut ulama
lainnya ilmu itu lebih jelas dari apa yang diketahui.
Adapun ilmu yang kita maksud adalah ilmu syar’i, yaitu ilmu yang
diturunkan oleh Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya berupa keterangan dan
petunjuk. Maka, ilmu yang di dalamnya terkandung pujian dan sanjungan
adalah ilmu wahyu, yaitu ilmu yang diturunkan oleh Allah saja. [1] Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَإِنَّمَا
أَنَا قَاسِمٌ وَاللهُ يُعْطِي، وَلَنْ تَزَالَ هَذِهِ الْأُمَّةُ
قَائِمَةً عَلَى أَمْرِ اللهِ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى
يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ.
“Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, Dia akan
menjadikannya faham tentang agamanya. Sesungguhnya aku hanyalah yang
membagikan dan Allah-lah yang memberi. Dan ummat ini akan senantiasa
tegak di atas perintah Allah, tidak akan membahayakan mereka orang-orang
yang menyelisihi mereka hingga datangnya keputusan Allah (hari
Kiamat).”[2]
Imam al-Auza’i (wafat th. 157 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu adalah
apa yang berasal dari para Shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun yang datang bukan dari seseorang dari mereka, maka itu bukan
ilmu.” [3]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah mengatakan, “Ilmu
adalah mengetahui sesuatu dengan pengetahuan yang sebenarnya.
Tingkatan Ilmu Pada Seseorang Ada Enam Tingkatan.
Pertama: Al-‘Ilmu yakni mengetahui sesuatu sesuai dengan keadaan yang pasti dan yang sebenarnya dengan pengetahuan.
Kedua: Al-Jahlul basith yakni tidak mengetahui sesuatu sama sekali.
Ketiga: Al-Jahlul murakkab yakni mengetahui sesuatu tidak sesuai dengan
yang sebenarnya. Disebut murakkab karena pada orang tersebut ada dua
kebodohan sekaligus, yaitu bodoh karena ia tidak mengetahui yang
sebenarnya dan bodoh karena beranggapan bahwa dirinya tahu padahal
sebenarnya ia tidak tahu.
Keempat: Al-Wahm yakni mengetahui sesuatu dengan kemungkinan salah lebih besar daripada benarnya.
Kelima: Asy-Syakk yakni mengetahui sesuatu yang kemungkinan benar atau salahnya sama.
Keenam: Azh-Zhann yakni mengetahui sesuatu yang kemungkinan benarnya lebih besar daripada salahnya.
Sedang Ilmu Itu Terbagi Menjadi Dua, Dharuri Dan Nazhari.
Dharuri yaitu pengetahuan yang dapat diperoleh secara langsung tanpa
memerlukan penelitian dan dalil, seperti pengetahuan bahwa api itu
panas.
Nazhari yaitu pengetahuan yang hanya bisa diperoleh dengan cara
melakukan penelitian dan dengan dalil, misalnya pengetahuan tentang
wajibnya niat dalam berwudhu'.”[4]
Adapun jika dilihat dari sudut pembebanannya (kewajibannya) kepada seorang Muslim, maka ilmu syar’i ini terbagi menjadi dua.
Pertama: ‘Ilmu ‘aini yakni ilmu yang wajib diketahui dan dipelajari oleh
setiap Muslim dan Muslimah, contohnya ilmu tentang iman, thaharah
(bersuci), shalat, puasa, zakat –apabila telah memiliki harta yang
mencapai nishab dan haul- haji ke Baitullah bagi yang mampu, dan segala
apa yang telah diketahui dengan pasti dalam agama dari berbagai perintah
dan larangan. Tidaklah anak-anak yang menginjak dewasa ditanya tentang
ilmu ini, melainkan mereka mengetahuinya.
Kedua: ‘Ilmu kifa-i yakni ilmu yang tidak wajib atas setiap Muslim untuk
mengetahui dan mempelajarinya. Apabila sebagian dari mereka telah
mengetahui dan mempelajarinya, maka gugurlah kewajiban atas sebagian
yang lainnya. Namun, apabila tidak ada seorang pun dari mereka yang
mengetahui dan mempelajarinya padahal mereka sangat membutuhkan ilmu
tersebut, maka berdosalah mereka semuanya. Contohnya adalah menghafalkan
Al-Qur-an, ilmu qira’at, ilmu waris, ilmu hadits, mengetahui halal dan
haram, dan yang sejenisnya. Jenis ilmu ini tidak wajib dipelajari oleh
setiap individu Muslim dan Muslimah, tetapi cukup dilakukan sebagian
mereka.[5]
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_______
Footnote
[1]. Lihat Kitaabul ‘Ilmi (hal. 13), karya Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin rahimahullaah, cet. Daar Tsurayya lin Nasyr, th. 1420 H.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (I/306, II/234, IV/92, 95,
96), al-Bukhari (no. 71, 3116, 7312), dan Muslim (no. 1037), lafazh ini
milik al-Bukhari dari Shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallaahu
‘anhuma.
[3]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/618, no. 1067).
[4]. Syarah Tsalaatsatil Ushuul (hal. 18-19).
[5]. Lihat kitab Thariiq ilal ‘Ilmi as-Subulun Naaji’ah li Thalabil
‘Uluumin Naafi’ah (hal. 18-19), karya ‘Amr bin ‘Abdul Mun’im Salim
hafizhahullaah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar