PENGHALANG-PENGHALANG DALAM MENUNTUT ILMU[1]https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag .Menuntut ilmu memiliki beberapa penghalang yang menghalangi antara ilmu
itu dan orang yang mencarinya. Di antara penghalang tersebut adalah:
1. Niat yang Rusak
Niat adalah dasar dan rukun amal. Apabila niat itu salah dan rusak, maka
amal yang dilakukannya pun ikut salah dan rusak sebesar salah dan
rusaknya niat.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّـمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا
نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ
إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا
أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
“Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang akan mendapatkan apa yang
diniatkan. Maka barangsiapa hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya
karena dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yang akan
dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai dengan apa yang ia niatkan.” [2]
Sesungguhnya kewajiban yang paling penting untuk diperhatikan oleh
seorang penuntut ilmu adalah mengobati niat, memperhatikan kebaikannya,
dan menjaganya dari kerusakan.
Imam Sufyan ats-Tsauri (wafat th. 161 H) rahimahullaah mengatakan,
“Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat untuk aku obati daripada
niatku.” [3]
Al-Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H) rahimahullaah menuturkan, “Siapa
yang mencari ilmu karena mengharap negeri akhirat, ia akan
mendapatkannya. Dan siapa yang mencari ilmu karena mengharap kehidupan
dunia, maka kehidupan dunia itulah bagian dari ilmunya.” Imam az-Zuhri
(wafat th. 124 H) rahimahullaah berkata, “Maka ilmu itulah bagian dari
dunianya.” [4]
Imam Malik bin Dinar (wafat th. 130 H) rahimahullaah mengatakan,
”Barangsiapa mencari ilmu bukan karena Allah Ta’ala, maka ilmu itu akan
menolaknya hingga ia dicari hanya karena Allah.”[5]
Baiknya niat merupakan penolong yang paling besar bagi seorang penuntut
ilmu dalam memperoleh ilmu, sebagaimana dikatakan Abu ‘Abdillah
ar-Rudzabari (wafat th. 369 H) rahimahullaah, “Ilmu tergantung amal,
amal tergantung keikhlasan, dan keikhlasan mewariskan pemahaman tentang
Allah ‘Azza wa Jalla.”[6]
Imam Ibrahim an-Nakha’i (wafat th. 96 H) rahimahullaah mengatakan,
“Barangsiapa mencari sesuatu berupa ilmu yang ia niatkan karena
mengharap wajah Allah, maka Allah akan memberikan kecukupan padanya.”
[7]
Hendaklah kita memperbaiki niat kita dalam menuntut ilmu dan menjauhi
niat buruk yang hanya untuk memperoleh keuntungan duniawi. Karena,
terkadang seorang penuntut ilmu terbetik niat dalam hatinya untuk tampil
(ingin terkenal). Apabila ia benar-benar ingin mempelajari ilmu,
membaca berbagai nash dan buku sejarah serta memperhatikan isinya, lalu
ia termasuk orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah Ta’ala, hal itu
akan menjadikannya sadar kembali, perhatiannya terhadap kitab-kitab itu
membuatnya bersemangat kembali untuk berbuat kebenaran dan kebaikan.
Adapun jika ia termasuk orang-orang yang dikalahkan hawa nafsu dan
syahwatnya, hendaklah ia tidak mencela, kecuali kepada dirinya
sendiri.[8]
2. Ingin Terkenal dan Ingin Tampil
Ingin terkenal dan ingin tampil adalah penyakit kronis. Tidak seorang
pun dapat selamat darinya, kecuali orang-orang yang dijaga oleh Allah
Ta’ala.
Apabila niat seorang penuntut ilmu adalah agar terkenal, ingin
dielu-elukan, ingin dihormati, ingin dipuji, disanjung, dan yang
diinginkannya adalah itu semua, maka ia telah menempatkan dirinya pada
posisi yang berbahaya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا نَعَايَا الْعَرَبِ، يَا نَعَايَا الْعَرَبِ (ثَلاَثًا)، أَخْوَفُ مَا
أَخَافُ عَلَيْكُمْ: اَلرِّيَاءُ، وَالشَّهْوَةُ الْـخَفِيَّةُ.
“Wahai bangsa Arab, wahai bangsa Arab (tiga kali), sesuatu yang paling
aku takutkan menimpa kalian adalah riya’ dan syahwat yang
tersembunyi.”[9]
Imam Ibnul Atsir (wafat th. 606 H) rahimahullaah mengatakan, “Maksud
syahwat yang tersembunyi dalam hadits ini adalah keinginan agar manusia
melihat amalnya.”[10]
Mahmud bin ar-Rabi’ (wafat th. 66 H) radhiyallaahu ‘anhu berkata,
“Ketika kematian hendak menjemput Syaddad bin Aus (wafat th. 58 H), ia
berkata, ‘Yang paling aku takutkan menimpa ummat ini adalah riya’ dan
syahwat tersembunyi.’” Dikatakan bahwa syahwat tersembunyi adalah
seseorang ingin (senang) apabila kebaikannya dipuji.[11]
Seorang hamba yang bergembira dan senang dihormati orang lantaran ilmu
yang dimiliki dan amal yang dikerjakannya, maka ini menunjukkan bahwa
adanya sifat riya’ (ingin dilihat orang lain) dan sum’ah (ingin didengar
orang lain) dalam dirinya. Barangsiapa memperlihatkan amalnya karena
riya’, maka Allah Ta’ala akan memperlihatkannya kepada manusia, dan
barangsiapa memperdengarkan amalnya, maka Allah Ta’ala akan
memperdengarkan amal (kejelekan)nya kepada manusia.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللهُ بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللهُ بِهِ.
“Barangsiapa memperdengarkan (menyiarkan) amalnya, maka Allah akan
menyiarkan aibnya. Dan barangsiapa beramal karena riya’, maka Allah akan
membuka niatnya (di hadapan manusia pada hari Kiamat).”[12]
Syahwat merupakan musibah, kecuali bagi orang yang hatinya ingat kepada
Allah Ta’ala. Ketika Imam Ahmad bin Hanbal (wafat th. 241 H)
rahimahullaah mendengar bahwa namanya disebut-sebut, beliau mengatakan,
“Semoga ini bukan ujian bagiku.” [13]
3. Lalai Menghadiri Majelis Ilmu
Para ulama Salaf mengatakan bahwa ilmu itu di-datangi, bukan mendatangi.
Tetapi, sekarang ilmu itu mendatangi kita dan tidak didatangi, kecuali
beberapa saja.
Jika kita tidak memanfaatkan majelis ilmu yang dibentuk dan pelajaran
yang disampaikan, niscaya kita akan gigit jari sepenuh penyesalan.
Seandainya kebaikan yang ada dalam majelis-majelis ilmu hanya berupa
ketenangan bagi yang menghadirinya dan rahmat Allah yang meliputi
mereka, cukuplah dua hal ini sebagai pendorong untuk menghadirinya.
Lalu, bagaimana jika ia mengetahui bahwa orang yang menghadirinya -insya
Allah- memperoleh dua keberuntungan, yaitu ilmu yang bermanfaat dan
ganjaran pahala di akhirat?!
Seorang Muslim hendaklah sadar bahwa Allah Ta’ala telah memberikan
kemudahan kepada hamba-Nya dalam menuntut ilmu. Allah Ta’ala telah
memberikan kemudahan dengan adanya beberapa fasilitas dalam menuntut
ilmu, berbeda dengan zamannya para Salafush Shalih. Bukankah sekarang
ini dengan mudahnya kita bisa dapatkan bekal untuk menuntut ilmu seperti
uang, makanan, minuman, pakaian, dan kendaraan?? Berbeda dengan para
ulama Salaf, mereka sangat sulit mendapatkan hal di atas. Bukankah
sekarang ini telah banyak didirikan masjid, pondok pesantren, majelis
ta’lim, dan lainnya disertai sarana ruangan yang serba mudah, baik
dengan adanya lampu, kipas angin, AC, dan lainnya??!! Bukankah sekarang
ini berbagai kitab ilmu telah dicetak dengan begitu rapi, bagus, dan
mudah dibaca??!! Lalu dimanakah orang-orang yang mau memanfaatkan nikmat
Allah yang sangat besar ini untuk mengkaji dan mempelajari ilmu
syar’i??? Bukankah sekarang sudah banyak ustadz-ustadz yang bermanhaj
Salaf mengajar dan berdakwah di tempat (daerah) Anda, lantas mengapa
Anda tidak menghadirinya?? Mengapa Anda tidak mau mendatangi majelis
ilmu??
4. Beralasan dengan Banyaknya Kesibukan
Alasan ini dijadikan syaitan sebagai penghalang dalam menuntut ilmu.
Berapa banyak saudara kita yang telah dinasihati dan dimotivasi untuk
menuntut ilmu syar’i, tetapi syaitan menggoda dan membujuknya.
Orang yang menyia-nyiakan kesempatan mencari ilmu, maka kesibukannya
membuat ia tidak dapat menghadiri majelis ilmu. Ia menjadikannya sebagai
bahan alasan yang sengaja dibuat-buat sehingga ketidakhadirannya di
majelis ilmu memiliki alasan yang jelas.
Berbagai kesibukan yang ada adalah penyebab utama yang menghalangi
seorang penuntut ilmu menghadiri majelis ilmu dan memperoleh ilmu yang
banyak. Tetapi, orang yang Allah Ta’ala bukakan mata hatinya, ia akan
mengatur waktunya dan mengguna-kannya sebaik mungkin sehingga memperoleh
manfaat yang banyak. Kalau seseorang mau berfikir secara wajar,
mempunyai niat dan kemauan untuk menuntut ilmu, maka ia akan dapat
mengatur waktunya dan Allah akan memudahkannya.
Oleh karena itu, pandai-pandailah mengatur waktu yang Allah Ta’ala
berikan kepada kita. Berikanlah bagian untuk menuntut ilmu syar’i.
Sisihkanlah satu atau dua hari dalam seminggu untuk menghadiri majelis
ilmu jika tidak mampu melakukannya sesering mungkin. Jangan biarkan
hari-hari kita penuh dengan kesibukan, namun kosong dari menuntut ilmu
dan berdzikir kepada Allah Ta’ala. Ingat, bahwa orang yang tidak
meghadiri majelis ilmu dan tidak mau menuntut ilmu syar’i, maka ia akan
merugi di dunia dan di akhirat.
5. Menyia-nyiakan Kesempatan Belajar di Waktu Kecil
Seseorang akan iri apabila melihat orang-orang yang lebih muda darinya
lebih bersemangat dan lebih awal mendatangi majelis ilmu. Ia akan merasa
iri pada saat melihat anak-anak kecil dan para pemuda telah hafal
Al-Qur-an. Ia menyesali masa mudanya yang tidak dimanfaatkan sebaik
mungkin untuk menghafal dan menuntut ilmu. Akibatnya, ketika ia
berkeinginan menghafal dan menuntut ilmu di masa tuanya, banyak
kesibukan dan banyak tamu yang mengunjunginya siang dan malam. Karena
itulah al-Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H) rahimahullaah mengatakan,
“Belajar hadits di waktu kecil bagai mengukir di atas batu.” [14]
Oleh karena itu, sebelum kita disibukkan oleh orang lain, direpotkan
berbagai urusan, dan menyesal seperti orang yang mengalaminya, maka
manfaatkanlah masa muda untuk menuntut ilmu syar’i. Ini bukan berarti
orang yang sudah tua boleh berputus asa dalam menuntut ilmu, namun
seluruh umur yang kita miliki adalah kesempatan untuk menuntut ilmu
karena ia adalah ibadah. Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan beribadahlah kepada Rabb-mu hingga datangnya keyakinan (kematian).” [Al-Hijr: 99]
Oleh karena itu, para remaja maupun orang tua, laki-laki maupun wanita,
segeralah bertaubat kepada Allah Ta’ala atas segala apa yang telah luput
dan berlalu. Sekarang mulailah menuntut ilmu, menghadiri majelis
ta’lim, belajar dengan benar dan sungguh-sungguh, dan menggunakan
kesempatan sebaik-baiknya sebelum ajal tiba.
Ketika ditanyakan kepada Imam Ahmad, “Sampai kapankah seseorang menuntut
ilmu?” Beliau pun menjawab, “Sampai meninggal dunia (mati).” [15]
6. Bosan dalam Menuntut Ilmu
Di antara penghalang menuntut ilmu adalah merasa bosan dan beralasan
dengan berkonsentrasi mengikuti informasi terkini guna mengetahui
peristiwa yang sedang terjadi.
Ilmu yang kita cari mendorong kita untuk mengetahui keadaan kita. Kita
tidak akan bisa mengatasi berbagai masalah dan musibah yang menimpa,
kecuali dengan meletakkannya pada timbangan syari’at. Seorang penyair
mengatakan,
اَلشَّرْعُ مِيْزَانُ اْلأُمُورِ كُلِّهَا وَشَاهِدٌ لِفَرْعِهَا وَأَصْلِهَا
Syari’at adalah timbangan semua permasalahan,
dan saksi atas cabang masalah dan pokoknya. [16]
Orang yang enggan menuntut dan menghafalkan ilmu, namun menyibukkan diri
dengan mengikuti berita koran dan majalah, radio, televisi, internet,
dan mencurahkan waktu dan tenaganya untuk hal yang demikian, kemudian
berupaya mengatasi permasalahan dengan pandangannya yang kerdil tanpa
merujuk kepada para ulama, maka ia merugi dan ia akan mengetahui
kerugiannya nanti di kemudian hari.
Sangat disayangkan, banyak aktifis muda yang marah apabila larangan
Allah Ta’ala dilanggar dan menangis karena larangan Allah Ta’ala
dilecehkan, namun mereka meremehkan berbagai kemaksiyatan yang lainnya
seperti ghibah, namimah, dan lainnya. Mereka tidak melaksanakan shalat
seperti contoh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, padahal beliau
bersabda,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِيْ أُصَلِّيْ.
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat!” [17]
Mereka pun tidak berwudhu’ seperti wudhu’nya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, padahal beliau bersabda,
مَنْ تَوَضَّأَ كَمَا أُمِرَ وَصَلَّى كَمَا أُمِرَ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa berwudhu’ seperti yang diperintahkan dan shalat seperti
yang diperintahkan, diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu.” [18]
Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan ada obatnya.
Tidaklah musibah terjadi, melainkan ada jalan keluar dalam Al-Qur-an dan
As-Sunnah. Ini adalah perkara yang tidak diragukan lagi.
Oleh karena itu, jangan sekali-kali Anda berpaling atau bosan dalam
menuntut ilmu. Belajarlah sampai Anda mendapatkan nikmatnya menuntut
ilmu. Informasi yang paling baik, benar dan akurat adalah infor-masi
dari Al-Qur-an dan Sunnah yang shahih.
7. Menilai Baik Diri Sendiri
Maksudnya adalah merasa bangga apabila dipuji dan merasa senang apabila mendengar orang lain memujinya.
Memang pujian manusia kepada Anda merupakan kabar gembira yang
disegerakan Allah Ta’ala bagi Anda. Diriwayatkan dari Abu Dzarr Jundub
bin Junadah (wafat th. 32 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata,
“Ditanyakan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Bagaimana
pendapat Anda tentang seseorang yang melakukan kebaikan, kemudian
manusia memujinya karena perbuatan tersebut?’ Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam menjawab,
تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ.
‘Itu adalah kabar gembira yang Allah segerakan bagi seorang mukmin.’” [19]
Tetapi, berhati-hatilah jika Anda merasa gembira ketika dipuji dengan
apa yang tidak Anda miliki. Sekali lagi berhati-hatilah agar hal ini
tidak menimpa Anda. Ingatlah firman Allah Ta’ala mengenai celaan-Nya
terhadap suatu kaum,
وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا
“...Dan mereka suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan...” [Ali ‘Imran: 188]
Kemudian ingatlah bahwa merasa diri baik itu pada umumnya adalah
perbuatan tercela, kecuali pada beberapa perkara yang sesuai dengan
aturan-aturan syari’at. Allah Ta’ala berfirman,
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa.” [An-Najm: 32]
Begitu juga ingatlah celaan Allah Ta’ala kepada Ahli Kitab,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ ۚ بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang
menganggap dirinya suci? Sebenarnya Allah menyucikan siapa yang Dia
kehendaki dan mereka tidak dizalimi sedikit pun.” [An-Nisaa': 49]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ اَللهُ أَعْلَمُ بِأَهْلِ الْبِرِّ مِنْكُمْ.
“Janganlah menganggap diri kalian suci, Allah lebih mengetahui orang yang berbuat baik di antara kalian.” [20]
Boleh saja seseorang merasa dirinya baik dalam beberapa hal, sebagaimana
telah kami sebutkan tadi. Misalnya perkataan Nabi Yusuf ‘alaihis
salaam,
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
“Dia (Yusuf) berkata, ‘Jadikanlah aku bendaharawan (Mesir), sesungguhnya
aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan.’” [Yusuf: 55]
Tetapi pada umumnya merasa diri baik dan suka dipuji adalah di antara
pintu masuk syaitan kepada hamba-hamba Allah Ta’ala. Karena itu,
berhati-hatilah agar Anda tidak menjadi orang yang suka dan bangga
apabila dipuji dan jangan berusaha untuk mendengarkan pujian-pujian itu.
Apabila Anda ingin mengetahui bahaya senang dipuji, perhatikanlah
ketaatan Anda yang mulai menurun, lalu perhatikanlah orang yang memuji
Anda. Sungguh, seandainya ia mengetahui apa yang tidak terlihat olehnya
tentang diri dan amal Anda yang tidak diridhai Allah Ta’ala, apakah ia
akan tetap memuji Anda??!!
Pelajaran yang dapat dipetik di sini adalah hendak-lah kita berhati-hati
terhadap sikap menganggap baik diri sendiri. Hendaklah kita
berhati-hati dari perbuatan mencantumkan gelar pada nama dengan gelar
yang tidak kita miliki. Sebab, barangsiapa tergesa-gesa untuk
mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka ia tidak akan mendapatkannya.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
_______
Footnote
[1]. Dinukil dari kitab Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi, ‘Awaa-iquth Thalab, dan Thariiq ilal ‘Ilmi.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1, 54, 2529),
Muslim (no. 1907), Abu Dawud (no. 2201), at-Tirmidzi (no. 1647),
an-Nasa-i (I/85-60, VI/158-159, VII/13), dan Ibnu Majah (no. 4227) dari
Shahabat ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
[3]. Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim (hal. 112).
[4]. Iqtidha al-‘Ilmi al-‘Amal (hal. 66, no. 103).
[5]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/748, no. 1376).
[6]. Iqtidha al-‘Ilmi al-‘Amal (hal. 32, no. 30).
[7]. Sunan ad-Darimi (I/82).
[8]. Lihat kitab Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 20).
[9]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul
Kabiir, Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyaa’ (VII/136, no. 9922), dan
Majma’uz Zawaa-id (VI/255). Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah
(no. 508).
[10]. An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (II/516).
[11]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih (I/682, no. 1203).
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 6499) dan Muslim
(no. 2987), dari Shahabat Jundub bin ‘Abdillah radhi-yallaahu ‘anhu.
[13]. Siyar A’laamin Nubalaa’ (XI/210).
[14]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/357, no. 482).
[15]. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 77).
[16]. Ishlaahul Masaajid minal Bida’ wal ‘Awaa-id (hal. 110), karya al-‘Allamah Muhammad bin Jamaluddin al-Qasimi rahimahullaah.
[17]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 631, 6008, 7246),
dari Shahabat Malik bin al-Huwairits radhiyallaahu ‘anhu.
[18]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad (V/423), an-Nasa-i
(I/90-91), Ibnu Majah (no. 1396), Ibnu Hibban (no. 1039), dan ad-Darimi
(I/182), ini lafazh Ibnu Hibban dari Shahabat Abu Ayyub dan ‘Uqbah bin
‘Amir radhiyallaahu ‘anhuma.
[19]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2642).
[20]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2142 (19)) dari Shahabiyah Zainab binti Abi Salamah radhiyallaahu ‘anha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar