NASEHAT BAGI PENUNTUT ILMU UNTUK MENETAPI KEBENARAN DAN KESABARANhttps://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag.Alhamdulillah pada tanggal, 15–19 Muharram 1427 H atau bertepatan 14–18
Februari 2006 M daurah syar’iyyah para da’i kembali diadakan oleh Ma’had
Ali Al–Irsyad di Surabaya yang bekerjasama dengan Markaz Imam Al–Albani
Yordania. Hadir dalam kesempatan kali ini Syaikh DR. Muhammad Bin Musa,
Syaikh Salim Bin I’ed. Pada edisi kali ini, sebagai bentuk penyebaran
ilmu, kami angkat muhadharah ilmiyyah Syaikh Ali Hasan ketika beliau
berkunjung ke Ma’had kami (Ma’had Al-Furqon) pada tanggal, 18 Muharram
1427 H. Semoga bermanfaat.
Segala puji hanya milik bagi Allah Jalla Jalaluhu, kita memujiNya,
meminta pertolonganNya, memohon ampunanNya dan kita meminta perlindungan
kepadaNya dari kejelekan diri dan amal kita. Barang siapa yang diberi
petunjuk oleh Allah Jalla Jalaluhu maka tidak ada seorang pun yang dapat
menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkanNya, maka tidak ada
seorang pun yang dapat memberi petunjuk. Aku bersaksi tidak sesembahan
yang benar kecuali Allah Jalla Jalaluhu, tiada sekutu bagiNya, dan aku
bersaksi bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alahi wa sallam adalah hamba
dan utusanNya.
Selanjutnya :
Sesungguhnya sebaik–baik pembicaraan adalah Kalamullah dan sebaik–baik
petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam dan
sejelek–jelek perkara adalah menambah–nambah dalam urusan agama dan
setiap perkara baru dalam agama adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah
sesat dan setiap kesesatan nerakalah tempatnya.
Lalu aku memuji kepada Alloh Jalla Jalaluhu yang telah memberikan
taufiqNya kepada kita dalam perjalanan kunjungan ilmiah yang
berkelanjutan setiap tahunnya ke negeri kalian yang indah ini, yang kami
perhatikan adanya sambutan yang hangat untuk menerima kebenaran dan
sangat berantusias untuk menimba ilmu agama. Kami pun memperhatikan
adanya sambutan yang penuh adab, kelembutan dan rasa santun yang layak
disandang oleh para penuntut ilmu. Oleh karena itu kita mohon
pertolongan kepada Alloh Jalla Jalaluhu semoga menambahkan kepada kita
semangat dan melipatgandakan pahala.
Kita memohon kepada Alloh Jalla Jalaluhu (pujian penuh barakah) semoga
Alloh Jalla Jalaluhu memudahkan kita dalam pertemuan ini di madrasah dan
ma’had kalian ini, dalam rangka saling menasehati dalam kebenaran dan
kesabaran dan juga saling mengingatkan antara kita semua karena memang
orang muslim itu (memiliki sifat) saling menasehati, sedangkan sifat
orang munafik saling mengkhianati.
Dalam rangka memenuhi permintaan saudaraku Al–Ustadz Aunur Rofiq– semoga
Alloh Jalla Jalaluhu senantiasa menolongnya dan semoga kebenar selalu
menyertaiNya, dan dalam rangka mengamalkan hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam “Agama adalah nasehat, agama adalah nasehat, agama
adalah nasehat.” Tamim Ad–Dari Rhadhiyallahu ‘anhu bertanya : “Wahai
Rasulullah ! untuk siapa ?” Beliau menjawab : “Untuk Alloh, untuk
RasulNya, untuk kitabNya, untuk para pemimpin kaum muslimin, dan untuk
seluruh kaum muslimin.”
Dan dalam rangka memenuhi undangan pertemuan ini sekaligus untuk
menyampaikan beberapa untaian nasehat. Kita memohon kepada Alloh Jalla
Jalaluhu agar anak–anakku, saudara–saudaraku yang hadir di majelis ini
dapat mengambil faedah dan manfaatnya.
Pertama.
Yang ingin aku ingatkan dalam rangka saling menasehati dan saling
berwasiat, untuk menetapi kebenaran dan kesabaran adalah masalah ikhlas.
Ikhlas merupakan rahasia (diterimanya) ibadah. Kita sering melihat
amalan seseorang yang begitu tekun, begitu bersungguh–sungguh, baik
dalam mengeluarkan shadaqah atau pun infak akan tetapi itu semua jadi
bumerang baginya (tidak mendapatkan pahala). Alloh Jalla Jalaluhu
berfirman :
“Artinya : Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami
jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” [Al–Furqan : 23]
Setiap amalan yang tidak ikhlas, bukan saja amalan tersebut tidak
bermanfaat bagi pelakunya tetapi juga menjadi bencana dan bahaya yang
akan menimpa pelakunya. Alloh Ta’a la berfirman :
“Artinya : Padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah Alloh dengan
memurnikan ketaatan kepadaNya (dalam menjalankan agamaNya dengan lurus)"
[Al–Bayyinah : 5]
Ikhlas merupakan cahaya yang memberikan petunjuk dan menyinari pelakunya
menuju jalan keselamatan serta mendekatkan diri kepada Alloh Jalla
jalaluhu.
Untuk mewujudkan keikhlasan membutuhkan ketekunan, kesabaran serta
kesungguhan, sebab menanamkan keikhlasan bukanlah perkara yang mudah
karena setan selalu mengawasi gerak–gerik manusia. Alloh Jalla Jalaluhu
berfirman.
“Artinya : Iblis menjawab : “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan
mereka semuanya, kecuali hamba–hambaMu yang mukhis di antara mereka.”
[As–Shad : 82–82]
Yang dinamakan mukhlis adalah orang yang dikokohkan keikhlasan dan
kemurnian niatnya serta kesucian hatinya menuju Rabbul Bariyyah, Yang
Maha Mulia dalam ketinggian serta Agung, berada di atas ‘Arsy). Alloh
Jalla Jalaluhu berfirman :
“Artinya : Dan orang–orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami
benar–benar akan tunjukkan jalan–jalan tersebut" [Al–Ankabut : 69]
Perjalanan hidup manusia dalam beramal, kadang kala diliputi oleh rasa
ikhlas dan jujur untuk melawan tipu daya setan ; yang mana (setan)
tersebut selalu menghiasi amalannya yang tidak ikhlas dibuat seperti
amalan yang ikhlas.
Demikian juga sebaliknya kadang kala setan menghiasi amalan orang yang
ikhlas dibuat seperti amalan orang yang tidak ikhlas sehingga membuat
dia berhenti dari beramal dan tidak beristiqomah.
Oleh karena itu, orang yang benar–benar memiliki kejujuran (dalam
beribadah) kepada Alloh Jalla Jalaluhu, akan tetapi konsisten dalam
beramal dan mampu menghalau tipu daya setan dengan melawan kecenderungan
hawa nafsunya yang selalu mengarah kepada kejelekan. Sebagaimana sabda
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam dalam hadits qudsi, Alloh Jalla
Jalaluhu berfirman
“Artinya : Aku sesuai dengan persangkaan hambaKu terhadap diriKu [HR.
Bukhari 7405 Muslim 6952 ; bersumber dari Abu Hurairah Rhadhiallahu
‘anhu]
Maka berprasangka baiklah kepada Alloh Jalla Jalaluhu dan peruntukkanlah
semua amal kebaikanmu hanya kepada Alloh Jalla Jalaluhu semata.
Perangilah was–was setan dan hawa nafsumu, niscaya Alloh Jalla Jalaluhu
akan menolongmu.
Kedua
Yang ingin saya uraikan kepada anak–anak dan saudara–saudaraku adalah
perihal “berpegang teguh kepada Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam
yang suci lagi mulia” dan hal itu merupakan salah satu syarat
diterimanya amal seorang hamba, karena amal tidak akan diterima kecuali
memenuhi dua syarat, sebagaimana seekor burung tidak akan terbang
kecuali dengan dua sayap.
Syarat yang pertama adalah Ikhlas adapun syarat kedua adalah ittiba’
(mengikuti Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam), kedua syarat
tersebut merupakan wujud realisasi dari kalimat syahadah “Laa ilaaha
illallah Muhammad Rasulullah”
Adapun maknanya adalah “laa ma’buuda bihaqqin illalloh” (tidak ada
sesembahan yang benar kecuali Alloh Jalaalahu) dan kalimat “Muhammad
Rasulullah” adalah “Laa matbuu’a bihaqqin illa Rasulullah” (tidak ada
seorang pun yang patut diikuti kecuali Rasulullah).
Alloh Jalla Jalahu berfirman ketika menyifati diriNya :
“Artinya : Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” [Al–Mulk : 2]
Berkata Fudhail Bin Iyadh : “Yang dimaksud dengan ‘ahsanu amalan’ adalah
amalan yang paling ikhlas dan paling baik.” Mereka mengatakan : “Wahai
Abu ‘Ali (ini merupakan kunyah beliau pada saat itu), apa yang dimaksud
dengan amalan yang paling ikhlas dan paling baik ?” Beliau menjawab :
“Amalan yang paling ikhlas adalah amalan yang diperuntukkan hanya kepada
Alloh semata dan amalan yang paling baik adalah amalan yang sesuai
dengan Sunnah Rasulullah.”
Sunnah yang mulia ini merupakan petunjuk menuju jalan Alloh yang lurus.
Bagaimana tidak ? Alloh telah mengaitkan hidayah seorang hamba yang ia
selalu minta kepadaNya pada setiap siang dan malam tidak kurang dari 17
kali tatkala ia mengucapkan’ ihdinash shirotol mustaqim’ (tunjukilah
kami kepada jalan yang lurus) maka Alloh telah mengaitkan bukti wujud
hidayah seorang hamba dengan mengikuti Sunnah Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa salam dalam firmanNya :
“Artinya : Dan jika kalian menaatinya (Rasul) niscaya kalian akan mendapatkan hidayah” [An–Nur : 54]
Jika kalian mengikuti Sunnahnya, melaksanakan perintahnya dan
menjadikannya sebagai suri tauladan maka kalian akan mendapatkan
petunjuk dan keselamatan. Sungguh, Alloh telah berfirman dalam kitabNya :
“Artinya : Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Alloh dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Alloh” [Al–Ahzab : 21]
Oleh karena itu, Alloh mengaitkan bukti cinta terhadapNya dengan
mencintai Rasulullah Sholallohu ‘alaihi wa salam dan mengaitkan seluruh
kecintaan ini dalam bentuk mengikuti Sunnah Rasulullah. Alloh Jalla
jalaluhu berfirman :
“Artinya : Jika kamu benar–benar mencintai Alloh maka ikutilah aku, niscaya Alloh akan mengasihimu” [Ali Imron : 1]
Inilah timbangan yang benar dalam hal kecintaan. Tidaklah bukti cinta
kepada Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam hanya melibatkan perasaan
semata, tanpa dibarengi dengan amalan yang benar serta ittiba’ yang
kokoh.
Memang benar, cinta itu melibatkan perasaan dan harapan, akan tetapi
seluruhnya tidak bernilai benar, kecuali dengan ber–qudwah dan mengikuti
Rasululloh Shalallohu ‘alaihi wa salam sepenuhnya, sehingga bentuk
kecintaan kita kepada Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam merupakan
wujud kecintaan kita kepada Alloh, sedangkan cinta kepada Nabi
Shalallohu ‘alaihi wa salam adalah dengan mengikuti Sunnahnya.
Ketiga.
Nasehat yang ingin saya wasiatkan kepada saudaraku, karena hal ini
merupakan perkara yang sangat fundamental dan mendasar sekali, yaitu
yang berkenaan dengan arti pentingnya ilmu, bagaimana antusias kita
dalam menuntutnya, mengamalkannya, serta mendakwahkannya.
Pada dasarnya, setiap hamba muslim adalah da’i menuju Alloh, sehingga
seluruh kehidupannya dicurahkan untuk memurnikan keikhlasan kepada Alloh
dan berittiba’ kepada Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam kesemuanya
itu tidak akan terwujud kecuali dengan adanya ilmu, belajar dan
mengajar. Ibnu Hajar telah menjelaskan hadits pertama dari Shahih
Bukhari yang berbunyi.
“Artinya : Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya dan
seseorang akan mendapatkan apa yang ia niatkan” [HR. Bukhari 1,
bersumber dari Umar Bin Khaththab]
Beliau menjelaskan, hadist ini merupakan dalil yang yang menunjukkan
bahwa ilmu itu mendahului niat. Kalau engkau tidak mengetahui apa yang
akan engkau katakan atau yang akan engkau kerjakan, bagaimana engkau
bisa memurnikan dan membedakan niat ? Hal itu dikuatkan dengan firman
Alloh :
“Artinya : Ketahuilah bahwa tidak illah yang haq disembah melainkan Alloh, maka mohonlah ampunan bagi dosamu” [Muhammad : 19]
Al–Imam Bukhari menjadikan ayat ini pada salah satu bab dalam kitab
Shahihnya. Beliau berkata “Bab Ilmu sebelum berkata dan berbuat”,
kemudian beliau mengomentari ayat tersebut : “Maka Alloh Jalla Jalaluhu
telah memulai dengan ilmu sebelum berucap dan beramal.”
Berilmulah, wahai saudaraku ! Dan jadikanlah tujuan kalian dalam
menuntut ilmu, mencari keridhaan Alloh Jalla Jalaluhu, jujur dan kembali
kepadaNya. Janganlah engkau jadikan tujuan menuntut ilmu dalam rangka
membantah ulama, menonjolkan diri dalam majelis, bersaing dan pamer
kepada khalayak ramai. Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam bersabda.
“Arrtinya : Barang siapa menuntut ilmu untuk membodohi orang, atau
menantang para ulama, atau mencari perhatian manusia, maka dia masuk
neraka” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Muqaddimah 253, dan
dishahihkan Al–Albani lihat Al–Misykat 225–226 ; bersumber dari sahabat
Ibnu Umar Rhadiyallahu ‘anhu]
Hadits ini merupakan peringatan keras bagi orang yang tidak ikhlas dalam
menuntut ilmu, serta tujuannya dalam menuntut ilmu tidak dalam rangka
mencari keridhoan Alloh Jalla Jalaluhu.
Sebagaimana yang telah saya sampaikan sebelumnya, bahwa syetan selalu
mengintai dan membisikkan kepadamu untuk tidak berbuat ikhlas kepada
Alloh Jalla Jalaluhu, maka janganlah engkau menggubrisnya dan
upayakanlah dirimu untuk senantiasa ikhlas dalam segala hal, utamanya
menuntut ilmu, oleh karena itu teruslah menuntut ilmu !.
Berkata Sufyan Ats–Tsauri : “Dulu kami menuntut ilmu untuk selain Alloh
tetapi ilmu itu enggan kecuali hanya untuk Alloh Jalla Jalaluhu.”
Maknanya, jiwa itu selalu memiliki tuntutan serta keinginan, terlebih
lagi ketika menginjak usia muda dan memasuki usia remaja, jiwa ini
memiliki keinginan dan dorongan yang sangat kuat untuk melakukan
berbagai macam perkara sesuai dengan kadar kejahilannya, atau ilmu yang
dimiliki serta keikhlasan kepada Rabbnya serta keikhlasan kepada Rabbnya
serta rasa ittiba’nya kepada Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam.
Kalau disebutkan permasalahan ilmu maka harus pula disebutkan tentang
pokok dan peringatan–peringatan yang berhubungan dengan masalah ini.
Dalam hal ini, ada dua hal yang sangat penting :
[1]. Hendaknya Memiliki Semangat Yang Tinggi Dalam Menuntut Ilmu Dan Istiqomah
Karena kebanyakan manusia menyangka bahwa menuntut ilmu hanya terbatas
pada selesainya masa belajar di sekolah, ma’had, universitas, atau
markaz selama satu, dua atau lima tahun.
Ini adalah kesalahan yang fatal karena ilmu tidak akan berakhir kecuali
dengan hilangnya ruh dari jasad, betapa banyak para salaf mengatakan :
“Amat merugi apabila matahari terbit sedang aku tidak menambah ilmu’.
Lihatlah Imam Ahmad, beliau selalu membawa kertas dan pena-nya, kadang
kala beliau mengajar, kadang pula belajar. Beliau adalah sosok yang
‘alim, tetapi masih menyempatkan diri untuk belajar pada orang lain.
Pada suatu hari beliau membawa barang kebutuhannya, kemudian dikatakan :
“Wahai Abu Abdillah, sampai kapankah engkau menuntut ilmu ?” Beliau
menjawab : “Menuntut ilmu itu dari buaian sampai masuk ke liang lahat
(beliau mengulanginya dua kali)".
Terus–menerus dan istiqomah karena kebutuhan manusia terhadap ilmu jauh
lebih besar dibandingkan kebutuhannya terhadap makanan dan minuman, bisa
jadi kebutuhanmu terhadap makanan atau minuman dalam sehari cukup satu
atau dua kali. Berbeda dengan kebutuhanmu terhadap ilmu, kadang engkau
membutuhkannya sebanyak dua puluh kali, lima puluh kali, bahkan lebih
dalam sehari. Di rumah engkau butuh ilmu, di pasar engkau butuh ilmu,
bermu’amalah engkau butuh ilmu, bahkan ketika menghadapi musuhmu pun
engkau butuh ilmu; semakin berkurangnya ilmu (akan menyebabkan) semakin
bertambahnya kebodohan, kejelekan, serta musibah yang akan menimpamu.
[2]. Hendaknya Beradab Dalam Menuntut Ilmu
Ilmu itu butuh adab yang menyertainya dan sopan santun yang menjaganya,
perilaku baik yang akan mengangkat derajatnya. Jangan sampai ilmu itu
menyebabkan jeleknya adab, kemarahan, kekerasan dan kurang ajar terhadap
sesama penuntut ilmu, lebih–lebih seorang murid dengan gurunya. Maka
seorang murid wajib untuk beradab terhadap gurunya sekalipun ia
mendapatkan kesalahan padanya dan sang murid menyangka bahwa dirinyalah
yang benar, meski demikian hendaklah ia tetap menjaga adabnya baik dalam
berkata, mengungkapnya dengan bahasa yang halus serta melembutkan
perkataannya.
Demikian juga ketika mengkritik guru hendaknya dengan penuh adab
sehingga gurunya mau kembali (kalau memang dia benar dan gurunya yang
salah) sehingga ia dapat mengambil faedah di antara dua keadaan ini.
Al–Imam Asy–Syafi’i terkadang menjadi guru bagi Imam Ahmad dan di lain
waktu beliau menjadi murid Imam Ahmad. Mereka berdua layaknya sahabat
yang saling belajar dan mengajar satu dengan lainnya, serta saling
mengambil faedah antara keduanya sampai–sampai Imam Syafi’i pernah
berkata kepada Imam Ahmad : “Wahai Imam Ahmad, engkau lebih tahu tentang
masalah hadits, jika engkau mendapati hadits shahih maka kabarkanlah
kepadaku supaya kita mengetahuinya dan bisa mengamalkannya.”
Kadang kala beliau meminta Imam Ahmad agar mengajari beliau,
sampai–sampai orang saat itu mengatakan kepada beliau bahwa Imam Ahmad
mengunjungimu demikian pula sebaliknya. Kemudian beliau berkata :
“Tempatku tidak membedakan kedudukan, jika dia mengunjungiku maka itu
merupakan keutamaannya, dan jika aku mengunjunginya itu karena
kemuliaannya.”
Inilah adab dalam berilmu yang seharusnya dimiliki oleh para penuntut
ilmu sebagaimana yang telah diterapkan oleh para ulama, bukan seperti
yang disangka sebagian manusia, padahal mereka baru mendapatkan sebagian
ilmu atau baru mempelajari satu bab dari bab–bab ilmu lalu menyangka
bahwa mereka telah mendapatkan dan menguasai seluruh ilmu dari awal
hingga akhir, padahal merekalah orang yang paling bodoh–wal ‘iyadzu
billah–jangan sampai keadaan kita seperti mereka.
Kalau mereka kehilangan adab dalam berilmu, maka lebih dari itu mereka
kehilangan sesuatu yang paling penting dari arti sebuah ilmu.
Wahai saudaraku, Semoga Alloh meneguhkanmu, tidakkah engkau mengetahui
sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam “Dua hal yang tidak akan
berkumpul pada diri seorang munafik, yaitu baiknya adab dan faqih dalam
masalah agama.” Tidaklah baik akhlaq ini kecuali dengan baiknya adab,
lemah lembut dan sopan santun yang tinggi.
Orang itu kita ukur dari ilmu dan kedudukannya dalam meraih ilmu, dan
bila keduanya hilang maka hampir–hampir cahaya ilmu itu lenyap dari
dirinya, dan Alloh akan melenyapkan keutamaan ilmu dari dirinya sebagai
balasan yang setimpal terhadap perbuatannya karena meremehkan ilmu,
meremehkan ahlu ilmi baik dari kalangan sejawatnya, guru–gurunya atau
yang lainnya.
Dan aku akan mempermisalkan antara ilmu dan adab sebagaimana keserasian
antara ikhlas dan ittiba’. Antara ilmu dan adab bagaikan ruh dan jasad,
maka tidak ada ruh kecuali dengan jasad dan dia tidak akan berfungsi
kecuali dengan jasad, begitu pula jasad tidak akan bergerak kecuali
dengan ruh. Jikalau permasalahan demikian (keterikatan ilmu dan adab)
maka perlu kiranya diperhatikan masalah–masalah yang berkaitan dengan
dua hal tadi, saya akan memaparkan beberapa contoh:
[a]. Lemah Lembut Dalam Penyampaian
Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam bersabda :
“Artinya : Tidaklah sikap lemah lembut ada pada sesuatu melainkan akan
menghiasinya dan tidaklah sikap lemah lembut itu dicabut kecuali akan
membuatnya menjadi jelek” [Hadits Riwayat. Muslim 2584, Abu Dawud 2477]
“Artinya : Sesungguhnya Alloh Maha Lemah Lembut lagi mencintai
kelembutan dan Dia memberikan kelemah lembutan tidak seperti dia
memberikan kekasaran” [Hadits Riwayat. Muslim 2593, bersumber dari
Aisyah Radhiyallohu ‘anha]
Coba perhatikan kisah Mu’adz bin Jabal Radhiyaallohu ‘anhu tatkala
beliau mengimami shalat jama’ah lalu beliau memanjangkan shalatnya yang
menyebabkan salah satu makmum keluar, lalu sampailah berita tersebut
kepada Rasulullah Shalallohu 'alaihi wa salam maka beliau bersabda :
“Sungguh ada golongan di antara kalian yang membuat manusia lari.”
Coba amatilah siapa mereka ?? Tidak sangsi lagi mereka adalah sahabat
Rasulullah yang paling mulia, paling agung dan paling antusias dalam
menapaki sunnah Rasulullah Shalallohu 'alaihi wa salam mereka pula orang
yang terbaik setelah para nabi dan rasul, lalu bagaimana dengan
orang–orang selain mereka??
Oleh karena itu wajib atas para da’i untuk memiliki sikap lemah lembut
dalam berdakwah dan memiliki adab baik dalam hal pembicaraan ataupun
penyampaian. Jangan sampai tertipu oleh was–was syetan sehingga ia
merasa bangga tatkala menggunakan kekerasan, ini semua termasuk tipu
daya syetan. Bagaimana tidak ? Rasulullah Shalallohu 'alaihi wa salam
telah bersabda.
“Artinya : Dan tidaklah seseorang rendah hati karena Alloh akan
mengangkat derajatnya” [Hadits Riwayat Muslim 2588, Tirmidzi 2029, Malik
1885, Ash–Shahihah 2328. bersumber dari Abu Hurairah]
[b]. Termasuk Perkara Ilmu (yakni) Masalah Khilafiyah.
Maka selayaknya bagi orang yang berselisih antara satu dengan yang
lainya di dasari dengan ilmu (Al–Qur’an dan As–Sunah) dengan di barengi
sikap lemah lembut, kasih sayang serta keinginan yang kuat dalam mencari
kebenaran.
Alangkah indahnya apa yang telah di contohkan oleh Imam Syafi’i ketika beliau mengatakan :
“Tidaklah aku berdebat dengan seorangpun melainkan aku memohon kepada
Alloh untuk menampakan kebenaran pada lisanya (lawan debatku)”
Disebutkan di dalam sebuah kitab, Imam Syafi’i berkata :
Tidaklah aku membantah seorangpun melainkan aku berharap ia di beri
petunjuk, hidayah dan di beri pertolongan. [Lihat Faidhul Qadir 3/90 dan
Shafwatush Shafwah 2/251]
Mengapa…Karena Rasullulah bersabda :
“Artinya : Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” [Hadits
Riwayat Bukhari 13, Muslim 45 bersumber dari sahabat Anas]
Maka tatkala terjadi diskusi ataupun adu argumen dalam masalah fiqhiyah
yang masih di perselisihkan di kalangan ulama, tidak selayaknya bagi
seseorang di antara mereka mengatakan : “Sayalah yang menang dalam
perdebatan ini” yang lain pun mengatakan : “Justru kamulah yang mubtadi’
karena kamu menyelisihi saya dan begitulah seterusnya ; mereka berdebat
layaknya pegulat dan petinju yang sedang bertanding, seakan–akan kunci
sunnah berada di tanganya dan terbatas pada golonganya.
Ini semua termasuk kebatilan yang sangat nampak dan tipu daya serta
kesesatan yang nyata, akan tetapi tatkala perselisihan itu di kembalikan
kepada para ulama yang mumpuni dan tahu betul mengenai permasalahan ini
dengan detail niscaya akan terselesaikan dengan baik.
Namun lain halnya tatkala seseorang di ajak berdiskusi secara ilmiah, di
sampaikan dalil–dalil di sertai sikap lemah lembut dan adab yang baik,
tetapi dia masih bersikeras (keras kepala) dan sombong (tidak mau
menerima kebenaran) maka ini merupakan pembahasan yang lain dan bukan
sekarang waktu yang tepat untuk membahasnya ; karena kita masih dalam
fase thalibil dan belum waktunya untuk berdebat, menegakan hujjah, serta
membid’ahkan orang lain.
Pembantahan ini tersendiri dan pembahasan yang lain pun tersendiri pula
(karena setiap tempat ada pembicaraanya dan setiap pembicaraan ada
tempatnya, dengan kata lain proposional atau menempatkan sesuatu pada
tempatnya dalam segala hal–pent).
Di antara hal–hal yang sangat disayangkan adalah timbulnya fitnah tabdi’
(memfonis seseorang sebagai ahli bid’ah) dan yang lebih parah lagi
adalah munculnya berbagai macam tuduhan yang batil dalam rangka
pembelaan dan mengalahkan serta meruntuhkan di dalam permasalahan
khilafiyah di antara ahli fiqh pada masa dahulu dan masa kini,
sebagaimana yang telah keluar dari lisan–lisan para pemuda yang terlalu
bersemangat dan tergesa–gesa tanpa disertai ilmu dan adab serta kelemah
lembutan.
Dan termasuk perkara yang paling parah dari hal di atas, timbulnya finah
saling menghajr dan mentahdzir antar sesama dan bersikap loyal kepada
orang–orang yang sepaham dengan dia berlepas diri terhadap orang–orang
yang tidak sepaham dengan dia (dan di antara ucapan mereka sebagai
berikut–pent) ; ’kamu jadi temanku jika kamu sepaham denganku, dan
apabila tidak maka kamu jadi musuhku, kemudian saya akan terapkan wala’
wal bara’ kepadamu.
Sikap ini semua akibat jeleknya pemahaman, dangkalnya kefaqihan dan jauhnya dari taufiq Alloh.
Alangkah benarnya ucapan seseorang ; Apabila seseorang tidak mendapatkan
pertolongan Alloh maka pasti pertama kali dia akan berhukum dengan
ijtihadnya semata.
Maka kelompok–kelompok di atas muncul dari ijtihad mereka yang keliru
dengan sangkaan itu semua adalah haq, padahal tidak ada benarnya
sedikitpun.
Adakah di dalam sirah para ulama dan fuqaha ataupun
keterangan–keterangan yang datang dari para ulama yang telah di akui
keilmuanya, akan adanya permusuhan, hajr (pemboikotan, red) di dalam
masalah fiqh serta permasalahan ilmiah yang lain, yang di situ masih
diperselisihkan.
Bukankah umumnya kitab fiqh terdapat berbagai macam pendapat/ lalu
mengapa kita jadikan permasalahan fiqh sebagai sarana untuk saling
menjauhi, menghina, menghajr di antara kita. Wal’iyadzu billah.
Aduhai, alangkah indahnya jika hajr di barengi dengan hajr yang indah,
lemah lembut, (agar ummat bisa mengambil pelajaran) sebagaimana firman
Alloh.
“Artinya : ,Dan jauhilah mereka dengan cara yang baik" [Al–Muzzammil : 10]
Akan tetapi, hajr mereka sangat hina, jelek, menakutkan, buruk, kotor.
Dan sangat di sayangkan, hajr mereka di sertai dengan kedustaan, buruk
sangka, sikap memecah belah, di sertai pula kebatilan dalam berbagai
bentuk yang sangat jelek, seakan–akan pintu taubat, perdamaian, rujuk
(kembali kepada alhaq) serta diskusi ilmiah telah tertutup baginya.
Sehingga kita dengar tuduhan mereka : “Kami bid’ahkan kamu ! Dan kami
hajr kamu dan tidak ada pintu kembali bagi kamu kecuali kamu itui sama
persis seperti kami, bagaikan lembaran foto copy : “Wal–‘iyadzu billah”
Beginikah akhlaqnya ulama ? Seperti inikah adabnya ahlu ilmi ? Jika
saudaramu menyelesihi kamu maka berlaku lembutlah kepadanya dan
nasehatilah dia serta tempatkanlah dirimu pada tempat yang semestinya.
Maka sekali lagi, apabila engkau berselisih dengan saudaramu maka
datangilah dia supaya permasalahan itu menjadi baik, jelas dan gamblang.
Akan tetapi, kami tetap berkeinginan keras hendaknya semua itu sesuai
dengan kacamata Sunnah dan kami tetap berharap supaya Sunnah tidak
dijadikan sarana untuk berpecah belah, saling menghajr, serta bermusuhan
yang itu semua kita saksikan, dampak–dampak negatifnya berupa buruk
sangka, kurang tabayyun (klarifikasi), perpecahan, berbicara sembarangan
; semua itu adalah sebuah realita yang sangat nampak di tengah
masyarakat kita saat ini.
Sungguh sangat disesalkan, kadang kala ada kelompok yang sembilan puluh
persen bersama kita, tetapi sepuluh persen bersama kita, tetapi sepuluh
persen lainnya merusak. Mereka ingin menang sendiri, sehingga mereka
menjauh. Mereka berusaha merusak yang lain, mengajak keluar, ingin
mengambil alih kekuasaan yang bukan haknya dan menyuruh manusia agar
jauh dari petunjuk, Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman :
“Artinya : Katakanlah : “Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang
orang–orang yang paling merugi perbuatannya ?” Yaitu orang–orang yang
telah sia–sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka
menyangka bahwa mereka berbuat sebaik–baiknya” [Al–Kahfi: 103–104]
Dan sebagian besar orang–orang yang memiliki sifat ini, jika memang
mereka bertauhid, mengikuti Sunnah, dan penuntut ilmu–walaupun mereka
menyelisihi dan mencerca–kita tidak menyerang mereka sebagaimana mereka
menyerang kita, akan tetapi kita bersabar, mengharap balasan yang
terbaik dan mendo ‘akan mereka serta mendekat kepada mereka.
Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman :
“Artinya : Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk
membunuhku, aku sekali–kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu
untuk kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Alloh,
Rabb seru sekalian alam” [Al – Ma’idah : 28]
Ini adalah akhlaq yang mulia dan bimbingan serta adab yang terpuji yang
wajib kita miliki untuk mempergauli mereka sehingga mendekatkan kepada
kebenaran. Kita tidak membuat mereka lari sebagaimana mereka membuat
kita lari. Kita tidak menjauhi mereka sebagaimana mereka menjauhi kita.
Kita tidak menuduh (memvonis) mereka sebagai ahli bid’ah sebagaimana
mereka memvonis kita. Dan kita tidak menghajr sebagaimana mereka
menghajr kita.https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
Alangkah indahnya wasiat Umar bin Khaththab Radhiyallohu ’anhu dan
dengan ini saya menutup nasehat saya untuk pertemuan kali ini dengan
perkataan beliau : “Tidak ada balasan yang terbaik bagi orang yang
berbuat jelek kepada kamu, melainkan kamu membalasnya dengan hal yang
lebih baik dari itu"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar