HEWAN KURBANhttps://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,.Kurban adalah kambing yang disembelih setelah melaksanakan shalat Idul
Adha dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, karena Dia Yang Maha
Suci dan Maha Tinggi berfirman.
"Artinya : Katakanlah : sesungguhnya shalatku, kurbanku (nusuk), hidup
dan matiku adalah untuk Allah Rabb semesta alam tidak ada sekutu
bagi-Nya" [Al-An'am : 162]
Nusuk dalam ayat di atas adalah menyembelih hewan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.[1]
Ulama berselisih pendapat tentang hukum kurban. Yang tampak paling rajih
(tepat) dari dalil-dalil yang beragam adalah hukumnya wajib. Berikut
ini akan aku sebutkan untukmu -wahai saudaraku muslim- beberapa hadits
yang dijadikan sebagai dalil oleh mereka yang mewajibkan :
PERTAMA
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata : Bersabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Siapa yang memiliki kelapangan (harta) tapi ia tidak
menyembelih kurban maka jangan sekali-kali ia mendekati mushalla kami"
[2]
Sisi pendalilannya adalah beliau melarang orang yang memiliki kelapangan
harta untuk mendekati mushalla jika ia tidak menyembelih kurban. Ini
menunjukkan bahwa ia telah meninggalkan kewajiban, seakan-akan tidak ada
faedah mendekatkan diri kepada Allah bersamaan dengan meninggalkan
kewajiban ini.
KEDUA
Dari Jundab bin Abdullah Al-Bajali, ia berkata : Pada hari raya kurban,
aku menyaksikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Siapa yang menyembelih sebelum melaksanakan shalat maka
hendaklah ia mengulang dengan hewan lain, dan siapa yang belum
menyembelih kurban maka sembelihlah" [3]
Perintah secara dhahir menunjukkan wajib, dan tidak ada [4] perkara yang memalingkan dari dhahirnya.
KETIGA
Mikhnaf bin Sulaim menyatakan bahwa ia pernah menyaksikan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Arafah, beliau
bersabda.
"Artinya : Bagi setiap keluarga wajib untuk menyembelih 'atirah[5]
setiap tahun. Tahukah kalian apa itu 'atirah ? Inilah yang biasa
dikatakan orang dengan nama rajabiyah" [6]
Perintah dalam hadits ini menunjukkan wajib. Adapun 'atirah telah
dihapus hukumnya (mansukh), dan penghapusan kewajiban 'atirah tidak
mengharuskan dihapuskannya kewajiban kurban, bahkan hukumnya tetap
sebagaimana asalnya.
Berkata Ibnul Atsir :
'Atirah hukumnya mansukh, hal ini hanya dilakukan pada awal Islam.[7]
Adapun orang-orang yang menyelisihi pendapat wajibnya kurban, maka
syubhat mereka yang paling besar untuk menunjukkan (bahwa) menyembelih
kurban hukumnya sunnah adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
"Artinya : Apabila masuk sepuluh hari (yang awal dari bulan Dzulhijjah
-pen), lalu salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban maka
janganlah ia menyentuh sedikitpun dari rambutnya dan tidak pula
kulitnya". [8]
Mereka berkata [9] :
"Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwa menyembelih hewan
kurban tidak wajib, karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
: "Jika salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban ...." ,
seandainya wajib tentunya beliau tidak menyandarkan hal itu pada
keinginan (iradah) seseorang".
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah telah membantah syubhat ini
setelah beliau menguatkan pendapat wajibnya hukum, dengan perkataannya
[10]
"Orang-orang yang menolak wajibnya menyembelih kurban tidak ada pada
mereka satu dalil. Sandaran mereka adalah sabda Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam : "Siapa yang ingin menyembelih kurban ....." Mereka Berkata :
"Sesuatu yang wajib tidak akan dikaitkan dengan iradah
(kehendak/keinginan) !" Ini merupakan ucapan yang global, karena
kewajiban tidak disandarkan kepada keinginan hamba maka dikatakan :
"Jika engkau mau lakukanlah", tetapi terkadang kewajiban itu
digandengkan dengan syarat untuk menerangkan satu hukum dari hukum-hukum
yang ada. Seperti firman Allah :
"Artinya : Apabila kalian hendak mengerjakan shalat maka basuhlah ...." [Al-Maidah : 6]
Dikatakan : Jika kalian ingin shalat. Dan dikatakan pula : Jika kalian
ingin membaca Al-Qur'an maka berta'awudzlah (mintalah perlindungan
kepada Allah). Thaharah (bersuci) itu hukumnya wajib dan membaca
Al-Qur'an (Al-Fatihah-pent) di dalam shalat itu wajib.
Dalam ayat ini Allah berfirman :
"Artinya : Al-Qur'an itu hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu)
bagi siapa di antara kalian yang ingin menempuh jalan yang lurus"
[At-Takwir : 27]
Allah berfirman demikian sedangkan keinginan untuk istiqamah itu wajib".
Kemudian beliau rahimahullah berkata [11] :
Dan juga, tidaklah setiap orang diwajibkan padanya untuk menyembelih
kurban. Kewajiban hanya dibebankan bagi orang yang mampu, maka dialah
yang dimaksudkan ingin menyembelih kurban, sebagaimana beliau berkata :
"Artinya : Siapa yang ingin menunaikan ibadah haji hendaklah ia bersegera menunaikannya ..... " [12]
Haji hukumnya wajib bagi orang yang mampu, maka sabda beliau : "Siapa
yang ingin menyembelih kurban ..." sama halnya dengan sabda beliau :
"Siapa yang ingin menunaikan ibadah haji ........"
Imam Al-'Aini [13] rahimahullah telah memberikan jawaban atas dalil
mereka yang telah disebutkan -dalam rangka menjelaskan ucapan penulis
kitab "Al-Hadayah"[14] yang berbunyi : "Yang dimaksudkan dengan iradah
(keinginan/kehendak) dalam hadits yang diriwayatkan -wallahu a'lam-
adalah lawan dari sahwu (lupa) bukan takhyir (pilihan, boleh tidaknya
-pent)". Al-'Aini rahimahullah menjelaskan :
"Yakni : Tidaklah yang dimaksudka takhyir antara meninggalkan dan
kebolehan, maka jadilah seakan-akan ia berkata : "Siapa yang bermaksud
untuk menyembelih hewan kurban di antara kalian", dan ini tidak
menunjukkan dinafikannya kewajiban, sebagaimana sabdanya :
"Artinya : Siapa yang ingin shalat maka hendaklah ia berwudlu" [15]
Dan sabda beliau.
"Artinya : Siapa diantara kalian ingin menunaikan shalat Jum'at maka hendaklah ia mandi" [16]
Yakni siapa yang bermaksud shalat Jum'at, (jadi) bukanlah takhyir ....
Adapun pengambilan dalil tidak wajibnya kurban dengan riwayat bahwa Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam menyembelih kurban untuk umatnya
-sebagaimana diriwayatkan dalam "Sunan Abi Daud" (2810), "Sunan
At-Tirmidzi" (1574) dan "Musnad Ahmad" (3/356) dengan sanad yang shahih
dari Jabir- bukanlah pengambilan dalil yang tepat karena Nabi melakukan
hal itu untuk orang yang tidak mampu dari umatnya.
Bagi orang yang tidak mampu menyembelih kurban, maka gugurlah darinya kewajiban ini.
Wallahu a'lam
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_________
Foote Note.
[1]. Lihat Minhajul Muslim (355-356)
[2]. Riwayat Ahmad (1/321), Ibnu Majah (3123), Ad-Daruquthni (4/277), Al-Hakim (2/349) dan (4/231) dan sanadnya hasan
[3]. Diriwayatkan oleh Bukhari (5562), Muslim (1960), An-Nasa'i (7/224),
Ibnu Majah (3152), Ath-Thayalisi (936) dan Ahmad (4/312,3131).
[4]. Akan disebutkan bantahan-bantahan terhadap dalil yang dipakai oleh
orang-orang yang berpendapat bahwa hukum menyembelih kurban adalah
sunnah, nantikanlah.
[5]. Berkata Abu Ubaid dalam "Gharibul Hadits" (1/195) : "Atirah adalah
sembelihan di bulan Rajab yang orang-orang jahiliyah mendekatkan diri
kepada Allah dengannya, kemudian datang Islam dan kebiasaan itu
dibiarkan hingga dihapus setelahnya.
[6]. Diriwayatkan Ahmad (4/215), Ibnu Majah (3125) Abu Daud (2788)
Al-Baghawi (1128), At-Tirmidzi (1518), An-Nasa'i (7/167) dan dalam
sanadnya ada rawi bernama Abu Ramlah, dia majhul (tidak dikenal). Hadits
ini memiliki jalan lain yang diriwayatkan Ahmad (5/76) namun sanadnya
lemah. Tirmidzi menghasankannya dalam "Sunannya" dan dikuatkan
Al-Hafidzh dalam Fathul Bari (10/4), Lihat Al-Ishabah (9/151)
[7]. Jami ul-ushul (3/317) dan lihat 'Al-Adilah Al-Muthmainah ala
Tsubutin naskh fii Kitab was Sunnah (103-105) dan "Al-Mughni"
(8/650-651).
[8]. Diriwayatkan Muslim (1977), Abu Daud (2791), An-Nasa'i (7/211dan
212), Al-Baghawi (1127), Ibnu Majah (3149), Al-Baihaqi (9/266), Ahmad
(6/289) dan (6/301 dan 311), Al-Hakim (4/220) dan Ath-Thahawi dalam
"Syarhu Ma'anil Atsar" (4/181) dan jalan-jalan Ummu Salamah Radhiyallahu
'anha.
[9]. "Al-majmu" 98/302) dan Mughni Al-Muhtaj" (4/282) 'Syarhus Sunnah" (4/348) dan "Al-Muhalla" 98/3)
[10]. Majmu Al-Fatawa (22/162-163).
[11]. Sama dengan di atas
[12]. Diriwayatkan Ahmad (1/214,323, 355), Ibnu Majah (3883), Abu Nu'aim
dalam Al-Hilyah (1/114) dari Al-Fadl, namun pada isnadnya ada
kelemahan. Akan tetapi ada jalan lain di sisi Abi Daud (1732), Ad-Darimi
(2/28), Al-Hakim (1/448), Ahmad (1/225) dan padanya ada kelemahan juga,
akan tetapi dengan dua jalan haditsnya hasan Insya Allah. Lihat 'Irwaul
Ghalil" oleh ustadz kami Al-Albani (4/168-169)
[13]. Dalam 'Al-Binayah fi Syarhil Hadayah" (9/106-114)
[14]. Yang dimaksud adalah kitab "Al-Hadayah Syarhul Bidayah" dalam
fiqih Hanafiyah. Kitab ini termasuk di antara kitab-kitab yang biasa
digunakan dalam madzhab ini. Sebagaimana dalam "Kasyfudh Dhunun"
(2/2031-2040). Kitab ini merupakan karya Imam Ali bin Abi Bakar
Al-Marghinani, wafat tahun (593H), biografinya bisa dilihat dalam
'Al-Fawaidul Bahiyah" (141).
[15]. Aku tidak mendapat lafadh seperti iin, dan apa yang setelahnya cukup sebagai pengambilan dalil.
[16]. Diriwayatkan dengan lafadh ini oleh Muslim (844) dan Ibnu Umar.
Adapun Bukhari, ia meriwayatkannya dan Ibnu Umar dengan lafadh yang
lain, nomor (877), 9894) dan (919)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar