APAKAH MAKRUH MENAMAKAN NASIKAH DENGAN AQIQAH?https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag Terjadi perbedaan pendapat tentang makna aqiqah secara bahasa, dalam hal ini ada tiga pendapat.
Pendapat Pertama
Pendapat Abu Ubaid dan Al-Ashma’i dan selain keduanya bahwa asal kata
aqiqah adalah rambut yang berada di kepala bayi ketika dilahirkan.
Kambing yang disembelih berkenaan dengan kelahiran anak dinamakan aqiqah
karena rambut tersebut (yang ada pada bayi) dicukur ketika diadakan
penyembelihan. Ini termasuk penamaan sesuatu dengan nama malabisnya, dan
ini termasuk cara orang Arab dalam ucapannya (yakni diberikan istilah
aqiqah bagi kambing yang disembelih itu dengan meminjam nama dari
perkara lain –dalam hal ini istilah bagi rambut di kepala bayi ketika
dilahirkan- yang punya kaitan dengannya,-pent)
Pendapat Kedua.
Aqiqah adalah penyembelihan itu sendiri. Ini merupakan pendapat Imam
Ahmad –semoga Allah merahmati beliau- dan beliau menyalahkan Abu Ubaid
dan orang yang sependapat dengannya.
Pendapat Ketiga
Aqiqah meliputi dua pendapat di atas dan ini pendapatnya Al-Jauhari
dalam Ash-Shihah. Kata Ibnul Qayyim : “Pendapat ini yang lebih utama
(tepat) wallahu a’lam”.
Terjadi pula perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum memutlakkan nama aqiqah. Dalam hal ini ada tiga pendapat.
Pertama.
Makruh berdasarkan hadits Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya
bawha Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang aqiqah
maka beliau bersabda : “Allah tidak menyukai ‘uquq (secara bahasa makna
uquq adalah durhaka, -pent) –seakan-akan beliau tidak menyukai nama
itu-. Para sahabat berkata : “Ya Rasulullah, kami hanyalah menanyakan
kepadamu tentang apa yang harus dilakukan salah seorang dari kami
(ketika) kelahiran anak”. Beliau bersabda.
“Artinya : Siapa yang ingin bernasikah (menyembelih berkenaan dengan
kelahiran) untuk anaknya maka hendaklah ia lakukan, untuk anak laki-laki
dua ekor kambing dan untuk wanita satu ekor”.
Berdasarkan hadits diatas penyembelihan untuk kelahiran anak dinamakan nasikah dan tidak dinamakan aqiqah.
Kedua.
Boleh, tidak makruh menamakannya dengan aqiqah. Mereka berdalil dengan hadits yang banyak di antaranya hadits Samurah.
“Artinya : Anak itu tergadaikan dengan aqiqahnya”
Dan selain dari hadits-hadits yang shahih di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai lafadz tersebut.
Ketiga
Apa yang ditetapkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Tuhfatul Wadud hal. 54
setelah beliau menyebutkan perbedaan pendapat yang ada, beliau berkata :
“Aku katakan : Yang sebanding dengan perselisihan ini adalah dalam
nenamakan shalat Isya dengan Atamah. Dalam hal ini ada dua riwayat dari
Imam Ahmad. Penetapan terhadap dua permasalahan ini adalah makruhnya
meninggalkan nama yang masyru (disyariatkan) seperti Isya dan Nasikah
dan menggantinya dengan nama aqiqah dan ‘atamah. Adapun jika nama yang
digunakan itu adalah nama yang syar’i dan nama tersebut tidak
ditinggalkan, namun terkadang dipakai nama yang lain maka tidak jadi
masalah. Berdasarkan hal ini bersesuaianlah hadits-hadits yang ada, dan
Allah-lah yang memberi taufiq” [1]
Kami katakan :
Apa yang kita saksikan sekarang dari saudara-saudara kita,mereka justru
meninggalkan nama syar’i –tentunya ini menjadi masalah- dan mereka
memberikan nama (dengan nama) yang tidak syar’i, hingga bila anda
menyebutkan dihadapan seseorang tentang kata nasikah niscaya ia akan
meminta kepadamu penjelasan makna dari kata tersebut. Karena itu kami
memberi peringatan pentingnya untuk kembali pada lafadz-lafadz syar’i
yang telah diitnggalkan, agar beredar lafadz ini dari mulut ke mulut di
tempat perkumpulan kita, hingga tersebarlah nama ini kita tidak
mengganti lafadz syar’i dengan yang selainnya agar kita tidak terjatuh
pada (perbuatan) sebagaimana firman Allah.
“Artinya : Lalu orang-orang dzalim itu mengganti ucapan (perintah)
dengan apa yang tidak diucapkan (diperintahkan) kepada mereka”
[Al-Baqarah : 58]
Berkata Al-Hafidz ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/588) setelah
membawakan hadits (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
ditanya tentang aqiqah) : “maksud yang diambil dari hadits ini adalah
lebih utama menamakan (penyembelihan berkenaan dengan kelahiran anak)
dengan nasikah atau dzabihah dan tidak dinamakan aqiqah” (selesai ucapan
Al-Hafidz).
Berkata Ibnu Abdil Barr : “Dalam hadits ini menunjukkan tidak disukainya
nama-nama yang mengandung makna yang jelek. Dan berdasarkan dhahir
hadits ini wajib untuk menyebutkan sembelihan bagi anak yang lahir
dengan nasikah dan tidak dinamakan aqiqah. Akan tetapi aku tidak
mengetahui ada seorang pun dari ulama yang condong kepada ucapan ini
(seperti dhahir hadits) dan tidak ada yang berpendapat demikian. Aku
mengira mereka meninggalkan hal tersebut karena adanya riwayat lain yang
shahih di sisi mereka dari hadits-hadits yang menyebut lafadz aqiqah”
Demikian dalam At-Tanwir.
Berkata Az-Zarqani : “Mudah-mudahan yang dimaksudkan oleh Ibnu Abdil
Barr adalah mereka para mujtahid (dari kalangan orang-orang yang
berijtihad), dan jika tidak maka (beliau keliru karena) sebenarnya telah
berkata Ibnu Abid Dam dari teman-teman mereka yang bermadzhab
Syafi’iyah bahwa sunnah menamakannya dengan nasikah atau dzabihah dan
makruh menamakannya dengan aqiqah sebagaimana tidak disukainya menamakan
shalat Isya dengan Atamah”.
Dan Al-Bujairami berkata : “Yang lebih utama menamakannya dengan
dzabihah dan nasikah karena pada lafadz aqiqah ada isy’ar uquq
(durhaka). Maka menamakannya dengan aqiqah berarti menyelisihi nama yang
lebih utama” [2]https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag
[Disalin dari kitab Ahkamul Maulud Fi Sunnatil Muthahharah edisi
Indonesia Hukum Khusus Seputar Anak Dalam Sunnah Yang Suci, Penulis
Salim bin Ali bin Rasyid Asy-Syubli Abu Zur'ah dan Muhammad bin Khalifah
bin Muhammad Ar-Rabah, Penerjemah Ummu Ishaq Zulfa bint Husain,
Penerbit Pustaka Al-Haura]
__________
Foote Note
[1]. Dari kitab Mu’jam Al-manahi Al-Lafdhiyyah hal. 244 oleh Syaikh Bakr Abu Zaid
[2]. Awjazul Masalik ila Muwatha’ Imam Malik (9/209) oleh Muhammad Zakaria Al-Kandahlawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar