HIKMAH DIBALIK LARANGAN ADOPSI ANAK
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Setiap pasangan yang telah menikah pasti mendambakan anak. Secara
alamiah berfungsi untuk melestarikan eksistensi umat manusia di muka
bumi. Disamping itu, keberadaan seorang anak juga menjadi sumber
kegembiraan di tengah keluarga. Bahkan pada masa senja, sang anak
menjadi tumpuan harapan.
Demikian indah dan sempurna menurut semua orang, sebuah rumah tangga
yang dipenuhi canda dan tawa anak-anak di dalamnya. Sehingga, tidak
heran jika pasangan yang belum mendapatkan keturunan begitu gelisah dan
sedih, lalu menempuh bermacam cara untuk memperolehnya. Pada zaman
mutakhir ini banyak cara yang bisa ditempuh untuk mendapatkan seorang
anak, baik dengan operasi, proses bayi tabung, sewa rahim, maupun dengan
mengadopsi anak. Dalam fiqih Islam, cara adopsi dikenal dengan istilah
tabanni. Lantas bagaimanakah menurut tinjauan hukum Islam?
SEJARAH ADOPSI DALAM ISLAM
Pada masa jahiliyah, adopsi sudah membudaya. Seseorang mengangkat anak
orang lain untuk dimiliki, dan statusnya seperti halnya anak kandung
sendiri, kemudian mengumumkannya di hadapan masyarakat. Nantinya, si
anak anak itu benar-benar menikmati status sebagai anak kandung.
Sehingga dalam pembagian warisan, ia pun memperoleh bagian, seperti
halnya anak kandung lainnya.
Dalam perjalanan sejarah kehidupannya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah bersentuhan dengan kebiasaan ini. Beliau pernah
mengangkat seorang anak, yaitu Zaid bin Hâritsah. Bahkan karenanya,
kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan beberapa firman-Nya untuk
meluruskan keadaan. Mula kisah ini, berawal dari dialog antara
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Zaid, dan Hâritsah, bapak
kandung Zaid.[1]
Kronologinya, Zaid kecil menjadi salah satu korban peperangan antar suku
yang kerap terjadi di Jazirah Arab. Dia ditawan oleh pihak "musuh".
Waktu itu, umur Zaid sekitar 8 tahun. Dia selanjutnya menjadi barang
dagangan. Hingga sampailah kemudian kemenakan Ummul-Mukminîn Khadîjah
binti Khuwailid Radhiyallahu 'anhuma yang bernama Hakîm bin Hazam bin
Khuwailid membelinya. Zaid pun berpindah-tangan ke Khadîjah Radhiyallahu
'anha sebagai hadiah. Yang kemudian pasca pernikahannya dengan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, oleh Khadijah, Zaid diberikan
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hadiah.
Selama bertahun-tahun hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, terasalah kebahagiaan menyelimuti kehidupan Zaid. Sampai
akhirnya, datanglah bapak dan paman Zaid yang telah lama berkelana
mencarinya. Begitu menemukannya, mereka pun berdua ingin menebus Zaid
dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi, beliau tidak
menerima tebusan tersebut, justru menawarkan sebuah kemudahan. Yakni
dengan menawarkan kebebasan memilih kepada Zaid, apakah tetap tinggal
bersama beliau, atau pulang dan tinggal bersama keluarganya?
Di luar dugaan, Zaid dengan yakin memilih tetap tinggal bersama
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam merasa terharu dengan keputusan Zaid yang mengesankan
itu, sehingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menggandeng tangan
Zaid menuju Ka’bah dan berhenti di Hijir Ismail sembari mengumumkan di
hadapan orang-orang Quraisy: "Wahai kaum Quraisy! Persaksikanlah bahwa
ini adalah anakku. Dia mewarisiku, dan aku mewarisinya".
Mendengar ungkapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka
tenteramlah hati bapak dan paman Zaid, sehingga merekapun membiarkan
Zaid hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sejak saat
itu, Zaid dikenal dengan sebutan Zaid bin Muhammad, sampai turun surat
al-Ahzâb ayat 5.[2]
HUKUM ADOPSI DALAM ISLAM
Agama Islam yang mulia ini selalu menempatkan segala sesuatu pada
tempatnya, jauh dari unsur kezhaliman dan ekstrimitas
(berlebih-lebihan). Oleh karena itu, kecintaan terhadap orang lain pun
tidak boleh membuat seorang muslim bersikap berlebihan. Demikian pula
dalam masalah adopsi. Atau karena kecintaanya, kemudian memasukkan anak
angkat sebagai bagian keluarga sebagai anak kandung yang baru. Atau
sebaliknya, dalam hal bapak atau orang tua angkat.
Sebaliknya, betapapun seseorang membenci orang tuanya dikarenakan suatu
kesalahannya, baik ringan maupun fatal hingga menyakitkan hati, maka
tetap saja terlarang bagi sang anak mengingkari keberadaan orang tuanya
sebagai sebagai orang tua kandung.
Atas dasar munculnya ekses yang tidak proporsional seperti di atas dan
dampak buruk lainnya, maka Islam melarang praktek adopsi anak sebelum
hal itu terwujud, dan menggugurkannya jika memang telah terlanjur.
Larangan ini berdasarkan beberapa dalil.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
وَمَاجَعَلَ أَدْعِيَآءَكُمْ أَبْنَآءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُم
بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ .
ادْعُوهُمْ لأَبَآئِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللهِ
"Dia (Allah) tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak
kandung kalian. Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut
kalian. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan jalan
yang benar. Panggillah anak-anak angkat tersebut dengan memakai nama
bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah …"
[al-Ahzab/33:4-5]
Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma berkata: "Dahulu, kami tidak memanggil
Zaid bin Haritsah Radhiyallahu 'anhu kecuali dengan panggilan Zaid bin
Muhammad, sampai turunnya ayat 'Panggillah anak-anak angkat tersebut
dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi
Allah". al-Ahzab/33 ayat 5."[3]
Inilah perintah yang menghapuskan hukum tabanni pada masa permulaan
Islam. Hukum lama tersebut membolehkan pengakuan seseorang atas anak
orang lain sebagai anak kandungnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala kemudian
memerintahkan untuk mengembalikan penisbatan nasab kepada bapak-bapak
kandung mereka, dan inilah perilaku yang adil, sikap tengah lagi baik.
Dalam banyak kesempatan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjelaskan bahwa orang yang menasabkan dirinya kepada selain bapak
kandungnya diancam sebagai orang kafir, dilaknat oleh Allah, para
malaikat-Nya dan seluruh manusia. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak
mau menerima ibadah yang wajib maupun yang sunnah darinya, dan surga
diharamkan atas dirinya. Dengan merujuk fakta ini, maka demikian pula
menisbatkan nasab anak orang lain kepada nasab sendiri juga tidak
dibolehkan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
لاتَرْغَبُوْا عَنْ اَبَا ئِِكم، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ أَبِيْهِ فَهُوَ كُفْرٌ
"Janganlah kalian membenci bapak-bapak kalian. Barang siapa yang
membenci bapaknya, maka dia telah kafir [4]. [HR Imam al-Bukhari, no.
6768, Muslim, no. 215]
Di antara sebab penyebutan istilah kafir dalam hadits di atas, karena
penisbatan nasab seperti itu merupakan kedustaan atas nama Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Seakan-akan dia berkata "saya diciptakan oleh Allah
dari air mani si A (baca: bapak angkat)", padahal tidaklah demikian,
karena ia sebenarnya diciptakan dari air mani si B (bapak
kandungnya).[5]
Dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
من ادعى إلى غير أبيه أو انتمى إلى غير مواليه, فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين, لايقبل الله منه يوم القيامة صرفا ولا عدلا
"Barang siapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya atau
menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat
Allah, malaikat, dan segenap manusia. Pada hari Kiamat nanti, Allah
tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib maupun yang sunnah" [HR
Muslim, no. 3314 dan 3373]
PENGECUALIAN HUKUM
Mengenai keharaman memanggil seseorang dengan menisbatkan nasabnya
kepada orang lain ada pengecualiannya. Boleh seseorang menisbatkan
nasabnya kepada orang lain apabila tidak mengetahuinya, tidak disengaja
dan lain sebagainya, dalilnya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala :
"Dan tiada dosa bagi atas apa yang tidak kamu sengaja, akan tetapi yang
ada dosanya adalah yang disengaja oleh hatimu" [al-Ahzab/33:5]
Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan, jika manusia menasabkan seseorang
kepada bapak angkatnya dikarenakan suatu kekeliruan, atau terlanjur
terucap tanpa ada unsur kesengajaan, maka tidak dihitung sebagai dosa.
Beliau menyebutkan riwayat dari Qatâdah rahimauhllah yang menyatakan,
apabila Anda menasabkan seseorang kepada yang bukan bapak kandung,
berdasarkan persangkaan Anda, maka Anda sama sekali tidak berdosa.[6]
Mengomentari hadits al-Bukhâri rahimahullah (no. 6766 dan no. 6768),
al-Imam Ibnu Baththaal rahimahullah berkata: "Kedua hadits ini tidak
memberikan pengertian, bahwa seseorang yang sudah terkenal dengan
penisbatan nasab kepada selain bapak kandunganya terkena ancaman di
atas, seperti al-Miqdad bin al-Aswad. Akan tetapi yang dimaksud, yaitu
orang yang berpaling dari nasab bapak kandungnya dalam keadaan
mengetahui, sengaja dan sukarela. Karena, pada masa jahiliyyah
masyarakat tidak mengingkari orang yang mengadopsi anak orang lain dan
seseorang yang menisbatkan dirinya kepada bapak angkat yang
mengadopsinya. Sampai akhirnya turunlah ayat "Panggillah anak-anak
angkat tersebut dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang
lebih adil di sisi Allah" –al-Ahzâb/33 ayat 5- dan firman-Nya "Dia
(Allah) tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak-anak
kandung kalian" –Qs al-Ahzâb/33 ayat 4.
Setelah itu, setiap orang menisbatkan dirinya kepada bapak kandungnya
masing-masing dan tidak menisbatkan kepada bapak angkat yang
mengadopsinya. Akan tetapi masih ada beberapa orang yang terkenal dengan
nasab bapak angkat mereka, dengan tujuan agar mudah dikenal, bukan
menjadikannya sebagai bapak kandung, seperti al-Miqdâd bin al-Aswad,
karena bapaknya bukanlah al-Aswad, akan tetapi 'Amr bin Tsa’labah
al-Bahrâni.[7]
Sedangkan al-Aswad bin Abdi Yaghuts adalah bapak angkat yang mengadopsi
beliau di masa jahiliyyah, dan tidak pernah kita dengar adanya
pengingkaran Salaf dalam masalah itu, walaupun diucapkan dengan
sengaja.[8]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimîn rahimahullah mengatakan:
Jika seseorang menasabkan dirinya kepada kakeknya atau buyutnya dan
seterusnya ke atas yang terkenal, tanpa mengingkari bapak kandungnya,
maka hal ini tidak mengapa, sebagaimana ucapan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam :
أنا ابن عبد المطلب, أنا النبي ولا كذب
"Aku adalah anak 'Abdul-Muththalib, aku adalah seorang nabi, dan itu
bukan suatu kedustaan" [HR al-Bukhâri, no. 2930; Muslim, no. 78;
at-Tirmidzi, no. 1688; dan Abu Dawud, no. 487]
Padahal nama beliau adalah Muhammad bin 'Abdillah bin 'Abdil-Muththalib,
dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan hal ini pada
peperangan Hunain, karena kakeknya lebih dikenal oleh kaum Quraisy dan
lebih berpengaruh di hadapan mereka daripada bapaknya.[9]
PERKARA-PERKARA YANG DIBATALKAN
Pada masa jahiliyah dan pada masa awal Islam, di antara konsekuensi
adopsi ialah saling mewarisi, tidak boleh menikahi isteri anak angkat
dan sebaliknya. Intinya, kedudukan hubungan bapak angkat dengan anak
angkat sederajat dengan kedudukan hubungan antara bapak kandung dengan
anak kandung. Setelah turun ayat pelarangan adopsi, maka segala
konsekuensi tersebut tidak berlaku dan tidak boleh diterapkan. Secara
rinci, sebagai berikut.
1. Larangan memberi panggilan "anak" secara mutlak bagi anak-anak hasil adopsi.
2. Munculnya ancaman sangat berat bagi orang yang menisbatkan diri kepada selain orang tuanya.
3. Putusnya hubungan "anak-bapak" antara anak adopsi dengan orang tua
angkatnya, yang berdampak pada putusnya hubungan saling mewarisi antara
mereka berdua.
4. Dihalalkan menikahi mantan istri anak angkat, yang sebelumnya sudah
merupakan perkara "haram" berdasarkan norma masyarakat yang berlaku pada
waktu itu.
Dalam masalah ini, untuk lebih mempertegas larangan tersebut, maka Allah
memerintahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menikahi
Zainab binti Jahsy, mantan istri Zaid bin Haritsah, anak angkat beliau,
setelah diceraikan oleh suaminya dan melewati masa ‘iddah. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لاَيَكُونَ
عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَآئِهِمْ إِذَا قَضَوْا
مِنْهُنَّ وَطَرًا
"Maka tatkala Zaid telah menceraikan isterinya, Kami kawinkan kamu
dengannya (Zainab binti Jahsy), supaya tidak ada keberatan bagi kaum
Mukminin untuk mengawini isteri-isteri anak angkat mereka, apabila
anak-anak angkat tersebut telah menceraikan para isteri tersebut"
[al-Ahzâb/33:37]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, inti tujuan Kami membolehkan
engkau menikahinya (Zainab), yaitu supaya keengganan kaum Mukminin untuk
menikahi para (mantan) isteri anak-anak angkat mereka yang telah
diceraikan segera sirna.[10]
Secara lebih tegas, dibolehkan menikahi bekas isteri anak angkat ini
tersirat dalam ayat tentang wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi.
Sebagaimana firman-Nya, yang artinya: …(Dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu…(Qs an-Nisaa`/4 ayat 23).
Ibnu Katsir menjelaskan, diharamkan atas kalian bekas para isteri anak
kandung kalian. Hal ini untuk menghilangkan anggapan mengenai tidak
bolehnya menikahi bekas para isteri anak-anak angkat kalian pada masa
jahiliyyah.[11]
Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan maksud ayat ini, bahwasanya
bekas para isteri anak-anak angkat kalian tidak termasuk dalam larangan
ini.[12]
Demikian pula disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, bahwa
dalam perkara ini tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ulama.[13]
5. Dan sebagai dampak lanjutan dari point sebelumnya, karena istri anak
angkat boleh dinikahi oleh bapak angkat bila diceraikan atau ditinggal
mati oleh suaminya, maka wanita tersebut bukan termasuk mahram bagi
bapak angkat. Oleh karenanya, ia wajib memakai busana muslimah secara
lengkap (hijab) di hadapan orang tua angkatnya.
KESIMPULAN DAN HIKMAH
Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita keharaman melakukan penisbatan
nasab bukan kepada orang tuanya. Begitu pula dalam hal adopsi. Kita
harus mengimani bahwa setiap larangan Allah pasti terdapat keburukan di
dalamnya yang hendak dijauhkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dari diri
kita. Dan sebaliknya, yang diperbolehkan pasti terdapat hikmah kebaikan
di dalamnya yang hendak dianugerahkan, atau bahkan ditambahkan, walaupun
tanpa kita ketahui.
Mungkin saja, ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menganugerahkan
seorang anak kepada pasangan suami isteri, Allah Subhanahu wa Ta'ala
hendak menghindarkan pasangan tersebut dari kekufuran, sebagaimana Allah
memerintahkan nabi al-Khadhir untuk membunuh seorang anak yang apabila
besar akan menjadi kafir dan menyeret kedua orang tuanya kepada
kekufuran, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَأَمَّا الْغُلاَمُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَآ أَن يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا
"Dan adapun anak kecil itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang
mukmin, dan kami khawatir dia akan mendorong kedua orang tuanya
kesesatan dan kekafiran" [al-Kahfi/18:80]
Dalam kenyataan hidup, kita sering menjumpai suatu pasangan yang tidak
dikaruniai keturunan, kemudian berusaha sekuat tenaga untuk
mendapatkannya. Di antaranya dengan mengadopsi anak angkat. Akan tetapi,
ternyata hidup mereka berubah, yang semula tenang dan tenteram,
berbalik penuh bencana karena kedurhakaan sang anak angkat. Hingga
akhirnya harta yang berlimpah milik pasangan tersebut benar-benar habis
dan ludes. Ironisnya, ketika kedua orang tua angkat ini sudah tua renta,
kemudian ditinggalkan begitu saja oleh sang anak angkat tersebut.
Di sinilah letak ujian bagi keimanan kita kepada taqdir Allah dan
kebijaksanaan-Nya, serta betapa penting kita berbaik sangka terhadap
Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Adil. Wallahu a’lam bish-shawâb.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
________
Footnote
[1]. Zaid bin Hâritsah bin Syarâhîl al-Kalbi, Abu Usamah, maula Nabi
(budak yang telah dimerdekakan oleh beliau), seorang sahabat Nabi yang
terkenal di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Dia
meninggal sebagai syahid pada peperangan Mu`tah, ketika Rasulullah masih
hidup. Yaitu pada tahun 8 H dalam usia 55 tahun. Lihat Taqribut-Tahzib,
hlm. 351.
[2]. Diringkas dari Shuwar min Hayâtish-Shahâbah, Dr. 'Abdur-Rahmân Ra’fat al-Bâsya, hlm. 217-220.
[3]. HR al-Bukhari, no. 4782; Muslim, no. 2425; at-Tirmidzi, no. 3209 dan 3814, dll.
[4]. Kekafiran yang dimaksud disini, ialah bukan kekafiran yang
mengeluarkan pelakunya dari Islam. Karena menurut Ahlus-Sunnah, seorang
muslim tidak dikafirkan lantaran dosa besar yang dilakukannya. Jadi
makna yang mungkin, yaitu mendekati kekufuran atau benar-benar kafir,
apabila sang pelaku menghalalkan perbuatan dosa tersebut. Diringkas dari
al-Minhaj, karya an-Nawawi ketika menjelaskan hadits nomor 212.
[5]. Lihat al-Fath (12/67), hadits no. 6768.
[6]. Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân (14/109).
[7]. Lihat al-Fath (12/67).
[8]. Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân (14/109).
[9]. Syarh Riyâdhish Shâlihîn, Cet. Darus-Salam (2/1845).
[10]. Al-Mishbahul-Munir, hlm. 1092.
[11]. Al-Mishbahul-Munir, hlm. 284, dengan sedikit penyesuaian.
[12]. Al-Umm (6/69).
[13]. Al-Mughni (9/518).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar