ADOPSI DAN HUKUMNYA
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, shalawat dan salam bagi RasulNya, keluarga beliau serta sahabatnya, wa ba’du
Komite Tetap Untuk Riset Ilmiah dan Fatwa telah membaca pertanyaan dari
sekertaris pelaksana Dewan Punjab untuk Kesejahteraan Anak, yang
ditujukan kepada Ketua Bagian Riset Ilmiah, Fatwa dan Dakwah, yang
dilimpahkan kepadanya dari Sekertaris Jenderal Majlis Ulama Besar no.
86/2 tanggal 15/1/1392H, yang isinya meminta penjelasan lebih jauh
tentang aturan serta kaidah-kaidah berkenaan dengan hak anak adopsi
dalam masalah waris?
Jawaban
Pertama : Adopsi anak sudah dikenal sejak zaman jahiliyah sebelum ada
risalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dahulu anak adopsi
dinasabkan kepada ayah angkatnya, bisa menerima waris, dapat menyendiri
dengan anak serta istrinya, dan istri anak adopsi haram bagi ayah
angkatnya (pengadopsi). Secara umum anak adopsi layaknya anak kandung
dalam segala urusan. Nabi pernah mengadopsi Zaid bin Haritsah bin
Syarahil Al-Kalbi sebelum beliau menjadi Rasul, sehingga dipanggil
dengan nama Zaid bin Muhammad. Tradisi ini berlanjut dari zaman
jahiliyah hinga tahun ketiga atau ke empat Hijriyah.
Kedua : Kemudian Allah memerintahkan anak-anak adopsi untuk dinasabkan
ke bapak mereka (yang sebenarnya) bila diketahui, tetapi jika tidak
diketahui siapa bapak yang asli, maka mereka sebagai saudara seagama dan
loyalitas mereka bagi pengadopsi juga orang lain. Allah mengharamkan
anak adopsi dinasabkan kepada pengadopsi (ayah angkat) secara hakiki,
bahkan anak-anak juga dilarang bernasab kepada selain bapak mereka yang
asli, kecuali sudah terlanjur salah dalam pengucapan. Allah
mengungkapkan hukum tersebut sebagai bentuk keadilan yang mengandung
kejujuran dalam perkataan, serta menjaga nasab dari keharmonisan, juga
menjaga hak harta bagi orang yang berhak memilikinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ قَوْلُكُمْ
بِأَفْوَاهِكُمْ ۖ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ ۚ فَإِنْ لَمْ
تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ ۚ
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَٰكِنْ مَا
تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai kandungmu (sendiri).
Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah
mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).
Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama-nama
bapak mereka, itulah yang lebih baik dan adil pada sisi Allah, dan jika
kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka
sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa
atasmu terhadaap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang” [Al-Ahzab : 4-5]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
مَنْ اِدَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ، أَوْ اِنْتَمَى إِلَى غَيْرِ مَوَ الِيْهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ الْمُتَتَابَعَةُ
“Barangsiapa yang disebut bukan kepada bapaknya atau berafiliasi bukan
kepada walinya, maka baginya laknat Allah yang berkelanjutan” [Hadits
Riwayat Abu Daud]
Ketiga : Dengan keputusan Allah yang membatalkan hukum adopsi anak
(yaitu pengakuan anak yang tidak sebenarnya alias bukan anak kandung)
dengan keputusan itu pula Allah membatalkan tradisi yang berlaku sejak
zaman jahiliyah hingga awal Islam berupa.
1. Membatalkan tradisi pewarisan yang terjadi antara pengadopsi (ayah
angkat) dan anak adopsi (anak angkat) yang tidak mempunyai hubungan sama
sekali. Dengan kewajiban berbuat baik antara keduanya serta berbuat
baik terhadap wasiat yang ditinggalkan setelah kematian (ayah angkat)
pengadopsi selama tidak lebih dari sepertiga bagian dari hartanya. Hukum
waris serta golongan yang berhak menerimanya telah dijelaskan secara
terperinci dalam syari’at Islam. Dalam rincian tersebut tidak disebutkan
adanya hak waris di antara keduanya. Dijelaskan pula secara global
perintah berbuat baik dan sikap ma’ruf dalam bertindak.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَىٰ
أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih
berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin
dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada
saudara-saudaramu (seagama)” [Al-Ahzab : 6]
2. Allah membolehkan pengadopsi (ayah angkat) nikah dengan bekas istri
anak angkat setelah berpisah darinya, walaupun diharamkan di zaman
jahiliyah. Hal tersebut dicontohkan oleh Rasulullah sebagai penguat
keabsahannya sekaligus sebagai pemangkas adat jahiliyah yang
mengharamkan hal tersebut.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
لَمَّا قَضَىٰ زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ
عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا
مِنْهُنَّ وَطَرًا ۚ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya
(menceraikannya). Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada
keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak
angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan
keperluannya dari istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti
terjadi” [Al-Ahzab : 37]
Nabi menikahi Zaenab binti Jahsy atas perintah Allah setelah suaminya Zaid bin Haritsah menceraikannya.
Keempat : Dari uraian diatas, maka menjadi jelas bahwa pembatalan
terhadap hukum adopsi bukan berarti menghilangkan makna kemanusiaan
serta hak manusia berupa persaudaraan, cinta kasih, hubungan sosial,
hubungan kebajikan dan semua hal berkaitan dengan semua perkara yang
luhur, atau mewasiatkan perbuatan baik.
1.Seseorang boleh memanggil kepada yang labih muda darinya dengan
sebutan “wahai anakku” sebagai ungkapan kelembutan, kasih sayang, serta
perasaan cinta kasih sayang kepadanya, agar ia merasa nyaman dengannya
dan mendengarkan nasehatnya atau memenuhi kebutuhannya. Boleh juga
memanggil orang yang usianya lebih tua dengan panggilan, “wahai ayahku”
sebagai penghormatan terhadapnya, mengharap kebaikan serta nasehatnya,
sehingga menjadi penolong baginya, agar budaya sopan santun merebak
dalam masyarakat, simpul-simpul antar individu menjadi kuat hingga satu
sama lain saling merasakan persaudaraan seagama yang sejati.
2. Syari’at Islam telah menganjurkan untuk bertolong menolong dalam
rangka kebajikan dan ketakwaan serta mengajak semua manusia berbuat baik
dan menebarkan kasih sayang.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”
[Al-Maidah : 2]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادِهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ
كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْؤُ تَدَاعَى لَهُ سَائِرَ
الْجَسَدِ بِالْحُمَّى وَالسَّهَرِ
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam masalah kecintaan dan kasih sayang
serta pertolongan di antara mereka bagaikan satu tubuh. Jika salah satu
organ mengeluh kesakitan, niscaya seluruh tubuh ikut panas dan tak
dapat tidur” [Hadits Riwayat Ahmad dan Muslim]
Dan sabda beliau.
اِلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin terhadap orang mukmin lainnya bagaikan suatu bangunan
sebagiannya menopang sebagian yang lain” [Hadits Riwayat Bukhari,
Muslim, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i]
Termasuk dalam hal tersebut mengurusi anak yatim, fakir miskin, tuna
karya dan anak-anak yang tidak mempunyai orang tua, yaitu dengan
mangasuh dan berbuat baik kepadanya. Sehingga di masyarakat tidak
terdapat orang yang terlantar dan tak terurus. Karena ditakutkan umat
akan tertimpa akibat buruk dari buruknya pendidikan serta sikap
kasarnya, ketika ia merasakan perlakuan kasar serta sikap acuh dari
masyarakat.
Kewajiban pemerintah Islam adalah mendirikan panti bagi orang tidak
mampu, anak yatim, anak pungut, anak tidak berkeluarga dan yang senasib
dengan itu. Bila keuangan Baithul Mal tidak mencukupi, maka bisa meminta
bantuan kepada orang-orang mampu dari kalangan masyarakat, sabda nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
أَيُّمَا مُؤْ مِنٍ تَرَكَ مَالاَ فَلْيَرِثَهُ عَصَبَتُهُ مَنْ كَانُوا،
وَإِنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعَل فَلْيَأْ تِنِيْ فَاَنَا مَوْلاَهُ
“Siapapun seorang mukmin mati meninggalkan harta pusaka, hendaknya
diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak, siapapun mereka. Tetapi
jika meninggalkan utang atau kerugian hendaklah dia mendatangiku, karena
aku walinya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]
Inilah yang disepakati bersama, semoga shalawat dan salam senantiasa
dilimpahkan Allah kepada Nabi Muhammad , keluarga serta sahabatnya.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
[Komisi Tetap Untuk Fatwa, Fatawa Islamiyah 4/497]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar