STATUS ANAK ZINA
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Tidak dapat dipungkiri lagi, musibah perzinaan sudah mulai merebak di
negara ini. Kebejatan dan kenistaan tindak perzinaan telah dikaburkan
dengan istilah yang berkonotasi lain. WIL (Wanita Idaman Lain), PIL
(Pria Idaman Lain), PSK (Penjaja Seks Komersial), Gadis Pendamping dan
yang sejenisnya mengesankan permasalahan ini dianggap ringan oleh
sebagian kalangan. Ditambah lagi, syari’at Islam secara umum dan hukuman
bagi para pezina khususnya tidak dilaksanakan. Kondisi-kondisi ini
mendukung tersebarnya wabah buruk ini di tengah kaum muslimin.
Perzinaan yang mewabah ini menimbulkan berbagai problematika social yang
menyakitkan. Tidak hanya pada kedua pelakunya saja, namun juga pada
anak yang lahir melalui hubungan haram tersebut. Predikat “anak zina”
sudah cukup menyebabkan si bocah menderita kesedihan mendalam. Apalagi
bila menengok masalah-masalah lain yang mesti ia hadapi di kemudian
hari. Seperti penasaban, warisan, perwalian dan masalah-masalah sosial
lainnya yang tidak mungkin ia hindari.
A. Nasab anak zina
Anak zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana nasib anak
mulâ’anah[1] yang dinasabkan kepada ibunya, bukan ke bapaknya. Sebab,
nasab kedua anak ini terputus dari sisi bapak. [2] Nabi
Shallallahu’alaihi wa Sallam menyatakan tentang anak zina:
ِلأَهْلِ أُمِّهِ مَنْ كَانُوا
(Anak itu) untuk keluarga ibunya yang masih ada… [3]
Beliau Shallallahu’alaihi wa Sallam juga menasabkan anak mulâ’anah
kepada ibunya. Ibnu Umar Radhiyallahu anhu pernah menuturkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَعَنَ بَيْنَ رَجُلٍ
وَامْرَأَتِهِ ، فَانْتَفَى مِنْ وَلَدِهَا ، فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا ،
وَاَلْحَقَ الْوَلَدَ باِلْمَرْأَةِ
Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam mengadakan mulâ’anah antara seorang
lelaki dengan istrinya. Lalu lelaki itu mengingkari anaknya tersebut dan
Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam memisahkan keduanya dan menasabkan
anak tersebut kepada ibunya. [4]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan konsekuensi hukum dari
sebuah mula’aanah antara seorang suami dengan istrinya menyatakan:
"Hukum keenam adalah terputusnya nasab anak dari sisi sang bapak. Karena
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallammenetapkan untuk tidak dipanggil
anak tersebut dengan nasab bapak. Inilah yang benar dan merupakan
pendapat mayoritas Ulama". [5]
Syaikh Mushthafâ al’Adawi hafizhahullah mengatakan : "Inilah pendapat
mayoritas ulama, nasab anak tersebut terputus dari sisi bapaknya. Sebab,
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallammenetapkan agar tidak dinasabkan
kepada bapaknya. Inilah pendapat yang benar" [6]
.
Senada dengan pendapat di atas, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn
rahimahullah mengatakan: "Anak zina diciptakan dari sperma tanpa
pernikahan. Maka dia tidak dinasabkan kepada seorang pun, baik kepada
lelaki yang menzinainya atau suami wanita tersebut apabila ia bersuami.
Alasannya, ia tidak memiliki bapak yang syar’i (melalui pernikahan yang
sah, red)". [7]
Nasab anak hasil selingkuh atau perzinaan, apabila ditinjau dari status ibunya, dapat dikategorikan menjadi dua:
1. Si ibu berstatus sebagai istri orang.
Seorang wanita bersuami yang terbukti selingkuh (baca : berbuat zina)
kemudian melahirkan anak dari hubungan haram tersebut, maka tidak lepas
dari dua keadaan:
a. Sang suami tidak mengingkari anak tersebut atau mengakui sebagai anaknya.
Yakni, apabila seorang wanita yang bersuami melahirkan seorang anak dan
sang suami tidak mengingkari anak tersebut, maka anak tersebut adalah
anaknya, walaupun ada orang yang mengklaim itu adalah hasil selingkuhan
dengannya, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah
hadits dari Aa’isyah Radhiyallahu anhuma :
الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ
Anak yang lahir adalah milik pemilik ranjang (suami) dan pezinanya mendapatkan kerugian [8].
Yang dimaksud dengan kata al-firâsy di sini adalah lelaki yang memiliki
istri atau budak wanita yang sudah pernah digaulinya. Dalilnya adalah
sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu,
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam pernah bersabda :
الْوَلَدُ لِصَاحِبِ الْفِرَاشِ
Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) [8]
Syaikh 'Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah menyatakan: "Ketika
seorang wanita telah menjadi firâsy, baik sebagai istri atau budak
wanita, kemudian dia melahirkan seorang anak, maka anak itu menjadi
milik pemilik firâsy. [10] Beliau rahimahullah menambahkan: "Dengan
adanya kepemilikan firâsy ini, maka keserupaan fisik atau pengakuan
seseorang dan lainnya sudah tidak dianggap". [11]
b. Sang suami mengingkarinya
Apabila suami mengingkari anak tersebut, maka si wanita (sang istri) tidak lepas dari dua keadaan :
- Ia mengakui kalau itu memang hasil perselingkuhan atau terbukti dengan
persaksian yang sesuai syari’at. Jika seperti ini keadaannya, maka si
wanita dijatuhi hukum rajam dan status anaknya adalah anak zina serta
nasabnya dinasabkan ke ibunya.
- Wanita itu mengingkari kalau anak yang lahir sebagi hasil
perselingkuhan. Maka, solusi dari syariat, pasangan suami istri itu
saling melaknat (melakukan proses mulâ’anah). Lalu mereka berdua
dipisahkan dan ikatan pernikahan kedua insan ini terputus untuk
selama-lamanya. Anak yang diperselisihkan ini menjadi anak mulâ’anah
bukan anak zina. Meski bukan anak zina, namun tetap dinasabkan kepada
ibunya.
2. Bukan berstatus sebagai istri orang
Apabila wanita tersebut tidak memiliki suami, baik janda atau belum
pernah menikah secara sah sama sekali, kemudian melahirkan anak, maka
anak tersebut berada dalam dua kondisi :
- Bila tidak ada seorang lelaki pun yang pernah menzinainya meminta anak
tersebut dinasabkan kepada dirinya, maka si anak tidak dinasabkan
kepada lelaki manapun. Nasab anak itu dihubungkan ke ibunya.
- Ada lelaki yang mengaku telah menzinai wanita tersebut dan mengklaim
anak tersebut anaknya. Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat :
Pendapat pertama, menyatakan anak tersebut tidak dinasabkan kepada lelaki yang mengaku itu.
Ini merupakan pendapat madzhab al-`aimah al-arba’ah (Imam madzhab yang
empat yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad
rahimahumullah) [12] dan pendapat Ibnu Hazm rahimahullah [13] . Pendapat
ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah dalam al-Mughni.
Dasar pendapat ini adalah:
1. Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam:
الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ
Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya mendapatkan kerugian [14]
Dalam hadits yang mulia ini, Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam tidak
menasabkan sang anak kepada selain suami ibunya. Ini berarti menasabkan
anak zina tersebut kepada lelaki pezina menyelisihi kandungan hadits
ini.
2. Hadits Abdullah bin ‘Amru yang berbunyi:
قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ فُلاَنًا ابْنِيْ عَاهَرْتُ
بِأُمِّهِ فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ دِعْوَةَ فِي اْلإِسْلاَمِ ذَهَبَ أَمْرُ
الْجَاهِلِيَّةِ الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ.
Seorang berdiri seraya berkata: “Wahai Rasulullah! Sungguh si Fulan ini
adalah anak saya, saya telah menzinahi ibunya dizaman Jahiliyah.” Maka
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallammenjawab: “Tidak ada pengakuan
anak dalam islam. Masa jahiliyah sudah hilang. Anak adalah milik suami
wanita (al-Firâsy) dan pezina mendapatkan kerugian. [15]
3. Sabda Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam :
لاَ مُسَاعَاةَ فِى الإِسْلاَمِ مَنْ سَاعَى فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقَدْ
لَحِقَ بِعَصَبَتِهِ وَمَنِ ادَّعَى وَلَدًا مِنْ غَيْرِ رِشْدَةٍ فَلاَ
يَرِثُ وَلاَ يُورَثُ
Tidak ada perzinahan dalam islam, siapa yang berzina di zaman jahiliyah
maka dinasabkan kepada kerabat ahli warisnya (Ashabah) dan siapa yang
mengklaim anak tanpa bukti, maka tidak mewarisi dan tidak mewariskan.
[16]
4. Hadits Abdullah bin ‘Amru Radhiyallahu anhu yang berbunyi :
إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَضَى أَنَّ كُلَّ مُسْتَلْحَقٍ
اسْتُلْحِقَ بَعْدَ أَبِيهِ الَّذِى يُدْعَى لَهُ ادَّعَاهُ وَرَثَتُهُ
فَقَضَى أَنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ يَمْلِكُهَا يَوْمَ أَصَابَهَا
فَقَدْ لَحِقَ بِمَنِ اسْتَلْحَقَهُ وَلَيْسَ لَهُ مِمَّا قُسِمَ قَبْلَهُ
مِنَ الْمِيرَاثِ شَىْءٌ وَمَا أَدْرَكَ مِنْ مِيرَاثٍ لَمْ يُقْسَمْ
فَلَهُ نَصِيبُهُ وَلاَ يُلْحَقُ إِذَا كَانَ أَبُوهُ الَّذِى يُدْعَى لَهُ
أَنْكَرَهُ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا أَوْ مِنْ حُرَّةٍ
عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لاَ يُلْحَقُ بِهِ وَلاَ يَرِثُ وَإِنْ كَانَ
الَّذِى يُدْعَى لَهُ هُوَ ادَّعَاهُ فَهُوَ وَلَدُ زِنْيَةٍ مِنْ حُرَّةٍ
كَانَ أَوْ أَمَةٍ.
Sungguhnya Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam ingin memutuskan
permasalahan setiap anak yang dinasabkan kepada seseorang setelah
(meninggal) bapak yang dinasabkan kepadanya tersebut diakui oleh ahli
warisnya. Lalu beliau memutuskan bahwa semua anak yang lahir dari budak
yang berstatus miliknya (sang majikan) pada waktu digauli (hubungan
suami istri), maka si anak dinasabkan kepada yang meminta penasabannya
dan anak tersebut tidak memiliki hak sedikitpun dari warisan dibagikan
sebelum (dinasabkan) padanya dan warisan yang belum dibagikan maka ia
mendapatkan bagiannya. Tidak dinasabkan (kepada sang bapak) apabila
bapak yang dinasabkan tersebut mengingkarinya. Apabila dari budak yang
tidak dimilikinya atau dari wanita merdeka yang dizinahinyanya, maka
anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya dan tidak mewarisi walaupun
orang yang dinasabkan tersebut yang mengklaimnya, karena ia anak zina
baik dari wanita merdeka atau budak sahaya.[17]
Ibnu al-Qayyim menyatakan: Hadits ini membantah pendapat Ishaaq dan yang sepakat dengannya.[18]
5. Sabda Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam :
أَيُّمَا رَجُلٍ عَاهَرَ بِحُرَّةٍ أَوْ أَمَةٍ فَالْوَلَدُ وَلَدُ زِنَا ، لاَ يَرِثُ وَلاَ يُوْرِثُ
Siapa saja yang menzinahi wanita merdeka atau budak sahaya maka anaknya adalah anak zina, tidak mewarisi dan mewariskan. [19]
6. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyampaikan alasannya bahwa anak zina
tidak dinasabkan kepada bapaknya apabila tidak diminta penasabannya. Ini
menunjukkan bahwa anak itu tidak dianggap anak secara syar’i sehingga
tidak dapat dinasabkan kepadanya sama sekali. [20]
Pendapat kedua menyatakan anak tersebut dinasabkan kepada pezina apabila ia meminta penasabannya.
Inilah pendapat Ishâq bin Rahuyah rahimahullah, ‘Urwah bin az-Zubeir
rahimahullah, Sulaiman bin Yasâr rahimahullah dan Syeikh al-Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan : Ada dua pendapat ulama dalam
masalah pezina yang meminta anak zinanya dinasabkan kepadanya apabila
wanita yang dizinahinya tidak bersuami. Nabi Shallallahu’alaihi wa
Sallam bersabda:
الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ، وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ
Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya dihukum.
Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam menjadikan anak tersebut milik suami
(al-Firaasy) bukan pezina. Apabila wanita itu tidak bersuami (al-Firâsy)
maka tidak masuk dalam hadits ini. [21]
Ibnu Taimiyah rahimahullah berargumen dengan perbuatan Khalifah Umar bin
Al-Khaththâb sebagaimana diriwayatkan imam Mâlik dalam al-Muwaththa’
dengan lafadz:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ - رَضِيَ اللهُ عَنْهُ - كَانَ يُلِيْطُ
أَوْلاَدَ الْجَاهِلِيَّةِ بِمَنِ ادَّعَاهُمْ فِي الإِسْلاَمِ .
Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu dahulu menasabkan anak-anak
jahiliyah kepada yang mengakuinya (sebagai anak) dalam Islam.[22]
Demikian juga ia berargumen dengan qiyas (analogi), karena bapak adalah
salah satu pasangan berzina tersebut. Apabila dinasabkan kepada ibunya
dan mewarisinya serta adanya nasab antara anak tersebut dengan kerabat
ibunya padahal ia berzina dengan lelaki (bapaknya) tersebut. Anak itu
ada dari air kedua pasangan tersebut dan berserikat padanya dan keduanya
sepakat itu adalah anaknya, lalu apa yang mencegah dinasabkan anak
tersebut kepada bapaknya, apabila selainnya tidak mengakuinya? Ini
adalah qiyas murni. [23]
Yang râjih Wallahu A’lam adalah pendapat jumhûr dengan keshahihan dalil kedua dan keempat yang menguatkan pendapat jumhûr.
Setelah membahas perbedaan pendapat dalam masalah ini dan menyampaikan
hadits keempat dari pendapat pertama, Ibnul Qayyim
rahimahullahmenyatakan : Apabila hadits ini shahîh maka wajib
berpendapat dengan kandungan hadits ini dan mengambilnya. Apabila hadits
ini tidak shahih maka pendapat (yang rajah-pent) adalah pendapat Ishâq
rahimahullah dan orang-orang yang bersamanya.[24]
B. Anak Zina dan warisan.
Hukum warisan anak zina dalam semua keadaannya sama dengan hukum waris
anak mulâ’anah karena nasab mereka sama-sama terputus dari sang
bapak.[25] Masalah waris mewaris bagi anak zina adalah bagian dari
konsekwensi nasabnya.
1. Anak zina dengan lelaki yang menzinahi ibunya.
Hubungan waris mewaris antara seorang anak dengan bapaknya ada dengan
keberadaan salah satu diantara sebab-sebab pewarisan (Asbâb al-Irts)
yaitu Nasab. Ketika anak zina tidak dinasabkan secara syar’i kepada
lelaki yang telah menzinahi ibunya maka konsekuensinya adalah tidak ada
waris-mewarisi diantara keduannya. Dengan demikian, anak zina tersebut
tidak bisa mendapatkan harta warisan dari orang tersebut dan kerabatnya.
Begitu juga lelaki tersebut, tidak bisa mendapatkan harta waris dari
anak hasil perbuatan zinanya.
2. Anak Zina dengan ibunya
Sedangkan antara anak hasil perbuatan zina dengan ibunya maka tetap ada
saling mewarisi. Anak hasil zina ini sama seperti anak-anak yang lain
dari ibunya tersebut. Karena ia adalah anaknya, maka ia masuk dalam
keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ
الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ
ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ
وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ
كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ
فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ
ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ
وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ
فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian
dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari
dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika
anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan
untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang
yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia
buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. [an-Nisâ`/ 4:
11]
Dia berhak mendapatkan warisan dari sang ibu karena ia dinasabkan kepada
ibunya dan nasab merupakan salah satu sebab diantara sebab-sebab
pewarisan. Dalam hal ini status anak zina sama dengan anak mulâ’anah
yang dijelaskan dalam hadits Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi Radhiyallahu anhu
yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam
memutuskan perkara mulâ’anah. Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu
mengatakan :
فَكَانَتْ سُنَّةً أَنْ يُفَرَّقَ بَيْنَ الْمُتَلاَعِنَيْنِ وَكَانَتْ
حَامِلاً ، فَأَنْكَرَ حَمْلَهَا وَكَانَ ابْنُهَا يُدْعَى إِلَيْهَا ،
ثُمَّ جَرَتِ السُّنَّةُ فِى الْمِيرَاثِ أَنْ يَرِثَهَا ، وَتَرِثَ مِنْهُ
مَا فَرَضَ اللَّهُ لَهَا .
Maka menjadi sunnah memisahkan dua orang yang melakukan mulâ’anah
padahal sang wanita tersebut dalam keadaan hamil. Sang suaminya
mengingkari kehamilannya dan anaknya dinasabkan kepada wanita tersebut.
Kemudian berlakulah sunnah dalam warisan bahwa anak tersebut mewarisi
harta wanita tersebut dan wanita tersebut mewaris harta anaknya tersebut
sesuai dengan ketetapan Allah. [26]
Ibnu Quddâmah rahimahullah berkata : “Seorang lelaki apabila melakukan
mulâ’anah terhadap istrinya dan menolak anaknya serta hakim telah
memisahkan antara keduanya, maka anak tersebut lepas darinya dan
terputuslah hak waris mewaris dari sisi lelaki yang melakukan mulâ’anah
ini. Ia tidak mewarisinya dan juga tidak seorangpun ahli waris
(‘Ashabah)nya. Dia hanya diwarisi oleh ibunya dan dzawu al-Furudh (ahli
waris yang mendapatkan bagian-bagian tertentu-red) dari arah ibu. Juga
waris mewaris antara pasangan suami istri tersebut putus dan kami tidak
mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini. [27]
C. Mahramkah anak zina dengan keluarga lelaki yang menzinai ibunya?
Telah lalu dijelaskan menurut pendapat yang rajih (lebih kuat) bahwa
anak zina terputus nasab dan hak warisnya dari lelaki yang menzinahi
ibunya. Dengan dasar ini maka anak zina tersebut bukanlah mahram bagi
keluarga lelaki tersebut, sebab status mahram didapatkan dengan tiga
sebab yaitu nasab, persusuan dan perkawinan. Ketiga sebab ini tidak ada
pada anak zina. Oleh karena itu ia bukanlah mahram bagi lelaki tersebut,
saudara dan anak-anak lelaki tersebut yang dilahirkan dari pernikahan
yang sah. Konsekwensinya seluruh hukum-hukum yang berhubungan dengan
kebolehan melihat, khalwat dan safar dilarang diantara mereka.
Bolehkan lelaki tersebut menikahi anak hasil perbuatan zinanya?
Permasalahan ini pernah ditanyakan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan beliau menjawab :
Menurut mayoritas ulama besar kaum muslimin, ia tidak boleh menikahinya
sampai-sampai imam Ahmad rahimahullah mengingkari adanya perbedaan
pendapat dalam hal ini dikalangan salaf. Beliau rahimahullah mengatakan :
“Siapa yang berbuat demikian (menikahi anak hasil perbuatan
zinanya-red) maka dihukum bunuh. Disampaikan kepada beliau rahimahullah
sebuah pendapat dari imam Mâlik bahwa beliau membolehkannya, maka imam
Ahmad rahimahullah mendustakan penukilan dari imam Mâlik rahimahullah
tersebut. Pengharaman hal ini adalah pendapat Abu Hanifah rahimahullah
dan pengikutnya, Ahmad rahimahullah dan pengikutnya, Mâlik dan mayoritas
pengikutnya dan juga merupakan pendapat banyak pengikut madzhab
Syafi’i. Beliau rahimahullah juga mengingkari berita bahwa imam Syafi’i
berpendapat yang berbeda dengan ini. Para ulama mengatakan : “Imam
Syafi’i hanya mengatakan anak perempuan dari susuan bukan anak hasil
perbuatan zina. [Majmû’ fatâwâ 32/143]
Ibnu Taimiyah rahimahullah juga ditanya tentang seorang yang menzinahi
seorang wanita, lalu lelaki tersebut meninggal dunia. Apakah anak dari
lelaki yang berzina tersebut diperbolehkan menikahi wanita yang dizinai
ayahnya?
Beliau menjawab : Ini dilarang dalam madzhab Abu Hanîfah, Ahmad dan
salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Mâlik dan dalam pendapat
kedua beliau membolehkan. Dan ini juga madzhab Syâfi’i. [Majmû’ Fatâwâ
32/143]
Dengan demikian jelaslah status anak zina dalam nasab, warisan dan
mahram. Mudah-mudahan penjelasan ringkas ini bermanfaat bagi kita semua.
Wabillahi Taufiq.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Footnote
[1]. Mulâ'anah, lihat rubrik fiqih halaman 41-45
[2]. Lihat al-Mughnî 9/123
[3]. Hadits hasan, riwayat Abu Dawud, kitâbuth Thalâq, Bab Fi Iddi’â` Walad az-zinâ no. 2268. (Shahîh Sunan Abi Dawud no. 1983)
[4]. HR al-Bukhâri, Kitâbuth-Thalâq, Bab Yalhaqu al-Walad Bi al-Mar`ah. Lihat Fathul Baari (9/460).
[5]. Zâdul Ma’âd 5/357
[6]. Jâmi’ Ahkâmin Nisâ` (4/232)
[7]. Syarhul Mumti’ (4/255)
[8]. HR al-Bukhâri kitab al-Farâ’id, Bab Manidda’a Akhan atau Ibna akhi, lihat Fathul Bâri, 12/52
[9]. HR al-Bukhâri dalam Kitabul Farâid, Bab al-Walad Lil Firâsy Hurratan kânat au Amatan, lihat Fathul Bâri,12/32
[10]. al-Fatâwâ as-Sa’diyah hal. 552.
[11]. Ibid hal. 553.
[12]. Lihat Ikhtiyârât Ibnu Taimiyah, Ahmad al-Mûfi 2/828.
[13]. Lihat al-Muhallâ 10/323.
[14]. HR al-Bukhâri kitab al-Farâ’id, Bab Manidda’a Akhan atau Ibna akhi. Lihat Fathul Bâri 12/52
[15]. HR Abu Daud, Kitabutth-Thalâq Babul-Walad Lil Firâsy no. 2274 dan
dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abi Daud dan Shahîhul-Jâmi’ no.
2493.
[16]. HR Abu Daud no. 2264 namun hadits ini didhaifkan oleh syaikh
al-Albâni t dalam Dha’îful -Jâmi no. 6310dan Syu’aib al-Arna`uth dalam
tahqiq Zâd al-Ma’âd 5/382
[17]. HR Abu Daud no. 2265 dan 2266 dan dihasankan al-Albâni dalam
shahih Sunan Abi Daud dan Syu’aib al-Arna`uth dalam Tahqîq Zâd al-Ma’âd
5/383
[18]. Zâd al-Ma’âd 5/384
[19]. HR At-Tirmidzi, kitab a-Farâ`idh 4/428 dan dishahihkan al-Albâni
dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi dan Shahîh al-Jâmi’ no. 2723.
[20]. Al-Mughnî, 7/129-130 dinukil dari Ikhtiyârât Ibni Taimiyah 2/828.
[21]. Majmu’ Fatâwâ 32/112-113.
[22]. Al-Muwaththa’ 2/740
[23]. Zâd al-Ma’âd 5/ 381.
[24]. Ibid.
[25]. Lihat al-Mughni 9/122.
[26]. HR al-Bukhâri, Kitab at-Tafsîr no. 4746. Lihat Fathu al-Bâri 8/448
dan Muslim dalam kitab al-Li’ân 10/123 (Syarh an-Nawâwi)
[27]. Al-Mughnî 9/114.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar