HAK PENGASUHAN ANAK DALAM ISLAM, DEMI KEBAIKAN ANAK
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Pembicaraan mengenai seluk-beluk hak asuh, biasa dikenal dalam
perspektif ilmu fiqih dengan istilah ahkam al hadhonah. Islam telah
mengatur sedemikian rupa, untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan
yang timbul akibat persengketaan dalam masalah ini. Pertikaian yang
berawal dari perebutan anak, dapat berpotensi menimbulkan terputusnya
silaturahmi dan berdampak psikologi pada diri anak.
Makalah berikut mencoba mengangkat secara ringkas permasalahan tersebut.
Kami nukil dari kitab Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, al
Mulakhkhashul Fiqhi, Cetakan I, Tahun 1423H, Darul 'Ashimah, juz
2/439-447. Semoga bermanfaat.
HIKMAH KETETAPAN HUKUM HAK ASUH
Sudah pasti, hukum Allah berdampak positif, karena penuh keadilan,
kebaikan, rahmat dan hikmah di dalamnya. Begitu juga dalam masalah
pengasuhan anak. Sebagai contoh, anak yang masih kecil dan belum
mengetahui kemaslahatan-kemaslahatan bagi dirinya. Atau seorang yang
gila dan cacat, mereka ini membutuhkan keberadaan orang lain untuk
membantu menangani urusan-urusannya dan memberikan pemeliharaan bagi
dirinya. Yaitu dengan mencurahkan kebaikan-kebaikan dan menghindarkannya
dari bahaya-bahaya, serta mendidiknya dengan pendidikan yang terbaik.
Syari'at Islam memberlakukan hak asuh ini, untuk mengasihi, memelihara
dan memberikan kebaikan bagi mereka. Pasalnya, bila mereka dibiarkan
tanpa penanggung jawab, niscaya akan terabaikan, terbengkalai dan
terancam bahaya. Padahal dinul Islam mengajarkan kasih-sayang,
gotong-royong dan solidaritas. Sehingga benar-benar melarang dari
perbuatan yang bersifat menyia-nyiakan kepada orang lain secara umum,
apalagi mereka yang dalam keadaan nestapa. Ini merupakan kewajiban
orang-orang yang masih terikat oleh tali kekerabatan dengan si anak. Dan
kewajiban mereka adalah, mengurusi tanggung jawab anggota keluarga
besarnya, sebagaimana dalam hukum-hukum lainnya.
IBU ADALAH PIHAK YANG PALING BERHAK
Ibu, adalah yang paling berhak menggenggam hak asuh anak dibandingkan
pihak-pihak lainnya. Al Imam Muwaffaquddin Ibnu Qudamah mengatakan, jika
suami isteri mengalami perceraian dengan meninggalkan seorang anak
(anak yang masih kecil atau anak cacat), maka ibunyalah yang paling
berhak menerima hak hadhonah (mengasuh) daripada orang lain. Kami tidak
mengetahui adanya seorang ulama yang berbeda pendapat dalam masalah ini.
Diutamakan ibu dalam mengasuh anak, lantaran ia orang yang paling
terlihat sayang dan paling dekat dengannya. Tidak ada yang menyamai
kedekatan dengan si anak selain bapaknya. Adapun tentang kasih-sayang,
tidak ada seorang pun yang mempunyai tingkatan seperti ibunya. Suami
(ayahnya) tidak boleh mencoba menanganinya sendiri, akan tetapi perlu
menyerahkannya kepada ibunya (isterinya). Begitu pula ibu kandung sang
isteri, ia lebih berhak dibandingkan isteri ayahnya (suaminya).
Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu membuat satu ungkapan yang indah:
"Aromanya, kasurnya dan pangkuannya lebih baik daripada engkau, sampai
ia menginjak remaja dan telah memilih keputusannya sendiri (untuk
mengikuti ayah atau ibunya)".
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mempunyai alasan, mengapa ibu
lebih berhak dalam mengasuh anaknya, dikarenakan ibu lebih baik
daripada ayah si anak. Sebab, jalinan ikatan dengan si anak sangat kuat
dan lebih mengetahui kebutuhan makanan bagi anak, cara menggendong,
menidurkan dan mengasuh. Dia lebih pengalaman dan lebih sayang. Dalam
konteks ini, ia lebih mampu, lebih tahu dan lebih tahan mental. Sehingga
dialah orang yang mesti mengasuh seorang anak yang belum memasuki usia
tamyiz berdasarkan syari'at. [1]
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, bahwasanya ada seorang wanita pernah mendatangi Rasulullah mengadukan masalahnya. Wanita itu berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً
وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي
وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي
"Wahai Rasulullah. Anakku ini dahulu, akulah yang mengandungnya. Akulah
yang menyusui dan memangkunya. Dan sesungguhnya ayahnya telah
menceraikan aku dan ingin mengambilnya dariku".
Mendengar pengaduan wanita itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun menjawab:
أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي
"Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah". [2]
Hadits ini menunjukkan, bahwa seorang ibu paling berhak mengasuh anaknya
ketika ia diceraikan oleh suaminya (ayah si anak) dan menginginkan
merebut hak asuhnya.
UNSUR-UNSUR YANG DAPAT MENGHALANGI HAK ASUH ANAK
Meskipun pengasuhan anak merupakan hak seorang ibu, namun terkadang ia
tidak bisa mendapatkan hak pengasuhan ini. Ada beberapa faktor yang
dapat menghalangi haknya. Di antaranya sebagai berikut.
Pertama. Ar-Riqqu.
Maksudnya, orang yang bersangkutan berstatus sebagai budak, walaupun
masih "tersisa sedikit". Karena hadhonah (mengasuh) merupakan salah satu
jenis wilayah (tanggung jawab). Adapun seorang budak, ia tidak
mempunyai hak wilayah. Karena ia akan disibukkan dengan pelayanan
terhadap majikannya dan segala yang ia lakukan terbatasi hak tuannya.
Kedua. Orang Fasiq.
Orang seperti ini, ia mengerjakan maksiat sehingga keluar dari ketaatan
kepada Allah. Itu berarti, ia tidak bisa dipercaya mengemban tanggung
jawab pengasuhan. Sehingga, hak asuh anak terlepas darinya. Keberadaan
anak bersamanya -sedikit atau banyak- ia akan mendidik anak sesuai
dengan kebiasaan buruknya. Ini dikhawatirkan akan berpengaruh negatif
bagi anak, yang tentunya berdampak pada pendidikan anak.
Ketiga. Orang Kafir.
Orang kafir tidak boleh diserahi hak mengasuh anak yang beragama Islam.
Kondisinya lebih buruk dari orang fasik. Bahaya yang muncul darinya
lebih besar. Tidak menutup kemungkinan, ia memperdaya si anak dan
mengeluarkannya dari Islam melalui penanaman keyakinan agama kufurnya.
Keempat. Seorang Wanita Yang Telah Menikah Lagi Dengan Lelaki Lain.
Dalam masalah pengasuhan anak, ibulah yang lebih memiliki hak yang
utama. Akan tetapi, hak ini, secara otomatis gugur, bila ia menikah lagi
dengan laki-laki ajnabi (laki-laki lain). Maksudnya, lelaki yang bukan
dari kalangan 'ashabah (pewaris) anak yang diasuhnya. Tetapi, jika sang
ibu menikah dengan seorang laki-laki yang masih memiliki hubungan tali
kekerabatan dengan si anak, maka hak asuh ibu tidak hilang.
Atau misalnya, seorang wanita yang telah diceraikan suaminya, dan
kemudian ia menikah dengan lelaki lain (ajnabi), maka dalam keadaan
seperti ini, ia tidak memperoleh hak asuh anak dari suaminya yang
pertama. Dengan demikian hak pengasuhannya menjadi gugur, berdasarkan
kandungan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي
"Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah".
Demikian beberapa faktor yang dapat menghalangi seseorang tidak
memperoleh hak asuh bagi anaknya. Apabila faktor-faktor penghalang ini
lenyap, misalnya seorang budak telah merdeka seutuhnya, orang fasik itu
bertaubat, orang kafir telah memeluk Islam, dan si ibu diceraikan
kembali, maka orang-orang ini akan memperoleh haknya kembali untuk
mengasuh anaknya.
KAPAN ANAK MENENTUKAN PILIHAN?
Pada usia yang telah ditentukan syari'at, anak berhak menentukan pilihan
untuk hidup bersama dengan ibu atau ayahnya. Dalam hal ini harus
terpenuhi dua syarat.
Pertama : Ayah dan ibunya harus layak mendapatkan tanggung jawab
mengasuh anaknya (ahlil hadhonah). Artinya, salah satu faktor yang
menghalangi seseorang boleh pengasuh anaknya tidak boleh melekat
padanya.
Kedua : Si anak sudah 'aqil (berakal). Jika ia mempunyai cacat, maka ia
tetap berada di bawah pengawasan ibunya. Pasalnya, karena wanita lebih
sayang, lebih bertanggung jawab, dan lebih mengetahui
kebutuhan-kebutuhan anak.
PERBEDAAN ANTARA ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
Seorang anak laki-laki, ia dihadapkan pada pilihan untuk menentukan.
Yaitu, ia hidup bersama ayahnya atau ibunya, apabila ia sudah berusia
tujuh tahun. Ketika telah berusia tujuh tahun, berakal, maka ia
memutuskan pilihannya, dan kemudian tinggal bersama dengan orang
pilihannya, ayah atau ibunya. Demikian ini keputusan yang telah diambil
oleh Khalifah 'Umar dan 'Ali.
Dasarnya ada seorang wanita yang mendatangi Rasulullah. Ia mengadu,
"Suamiku ingin membawa pergi anakku," maka Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bertanya kepada bocah itu, anaknya: "Wahai anak kecil.
Ini adalah ayahmu, dan itu ibumu. Pilihlah siapa yang engkau inginkan!"
Anak itu kemudian menggandeng tangan ibunya, dan kemudian mereka berdua
berlalu.[3]
Apabila anak memilik ayahnya, maka ia berada di tempat tinggal sang ayah
siang dan malam. Supaya ayahnya leluasa menjaga, mengajari dan
mendidiknya. Akan tetapi, tidak boleh menghalangi keinginan anak untuk
menjenguk ibunya. Sebab menghalanginya, berarti menumbuhkan sikap
durhaka kepada ibunya dan menyebabkan terputusnya tali silaturahmi.
Jika ia memilih ibunya, maka si anak bersama ibunya saat malam hari.
Sedangkan siang hari, ia berada bersama ayahnya, untuk menerima
pendidikan dan pembinaan.
Akan tetapi, jika si anak diam, tidak menentukan keputusan dalam masalah
ini, maka ditempuhlah undian. Ini berarti kedua orang tuanya tersebut
tidak ada pihak yang sangat istimewa dalam pandangan anak, sehingga
diputuskan dengan qur`ah (undian).
Keterangan di atas berlaku pada anak lelaki. Bagaimana jika anak tersebut perempuan?
Anak perempuan, saat ia berusia tujuh tahun, hak pengasuhannya beralih
ke ayahnya, sampai ia menikah. Pasalnya, sang ayah akan lebih baik
pemeliharaan dan penjagaan terhadapnya. Selain itu, seorang ayah lebih
berhak menerima wilayah (tanggung jawab) anak perempuan. Namun, bukan
berarti ibunya tidak boleh menjenguknya. Sang ayah bahkan dilarang
menghalang-halangi ibu sang anak yang ingin menengoknya itu, kecuali
jika menimbul hal-hal yang tidak baik atau perbuatan haram.
Seandainya, ternyata ayah tidak mampu menangani pemeliharaan putrinya,
atau tidak peduli dengan masalah itu, lantaran kesibukan atau
kedangkalan agamanya, maka sang ibu berhak mengambil alih, dan sang anak
perempuan ini hidup bersama ibunya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: Imam Ahmad dan para
muridnya memandang diutamakannya ayah (untuk mengasuh putrinya yang
sudah berusia tujuh tahun), bila tidak menimbulkan bahaya (masalah)
kepada putrinya. Bila diperkirakan sang ayah tidak mampu menjaga dan
melindunginya, (dan justru mengabaikannya lantaran kesibukan, maka
ibunyalah yang (berhak) menangani penjagaan dan perlindungan baginya.
Dalam kondisi seperti ini, sang ibu lebih diutamakan. Munculnya unsur
kerusakan pada anak perempuan yang ditimbulkan oleh salah seorang dari
orang tuanya, maka tidak diragukan lagi, pihak lain (yang tidak
menimbulkan masalah bagi anak perempuannya itu), lebih berhak
menanganinya. [4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga menambahkan, bila
diperkirakan bapaknya menikah lagi dan menitipkan putrinya di pangkuan
ibu tirinya itu yang enggan menangani kemasalahatannya, bahkan (ibu
tirinya itu) menyakiti dan mengabaikan kebaikan bagi diri (putrid)nya,
sedangkan ibunya (sendiri) bisa memberikan maslahat baginya,
tidakmenyakitinya, maka dalam keadaan seperti ini, secara pasti hak
hadhonah menjadi milik ibu.[5]
SOLUSI JIKA TERJADI POLEMIK ANTARA ISTERI DAN MANTAN SUAMI BERKAITAN DENGAN PENGASUHAN ANAK
Tak dipungkiri, terkadang pengasuhan anak ini juga menimbulkan problema yang disebabkan persoalan yang kadang muncul.
Sebagai contoh, bila salah seorang dari suami atau isteri ingin
bepergian jauh dan tinggal sementara di tempat yang dituju, tanpa ada
maksud buruk, situasinya aman, maka dalam keadaan seperti ini, hak
hadhonah menjadi milik ayah, baik ayah bepergian ataupun tidak. Ayahlah
yang mesti mengurusi pendidikan dan pemeliharaannya. Karena, bila si
anak berada jauh dari ayah, sehingga menyebabkan ayahnya tidak bisa
melaksanakan tugasnya, akan berakibat si anak tidak terurus.
Jika bepergian tersebut tidak jauh, masih berada dalam jarak qoshor
sholat, dan berencana tinggal di sana, maka hak asuh ini menjadi milik
ibu si anak. Sebab, ibu lebih sempurna kasih sayangnya kepada anak. Dan
lagi, dalam keadaan seperti ini, si ayah masih sangat mungkin bisa
melihat keadaan anaknya.
Adapun, jika bepergian itu untuk suatu tujuan, kemudian langsung
kembali, atau rute perjalanan maupun kondisi negeri yang dituju
mengkhawatirkan, maka hak hadhonah beralih kepada pihak yang tidak
bepergian. Sebab, bepergian dalam keadaan seperti itu, akan menimbulkan
mara bahaya baginya.
Ibnul Qayyim menyatakan: "Kalau menginginkan kekisruhan masalah atau
merekayasa untuk menggugurkan hak asuh ibu, kemudian si ayah bapak
melakukan perjalanan yang diikuti oleh anaknya, (maka) ini merupakan
hilah (rekayasa) yang bertentangan dengan tujuan yang dimaksudkan
syari'at. Sesungguhnya syari'at menetapkan, ibu lebih berhak dengan hak
asuh anak daripada bapak jika kondisi tempat tinggal berdekatan,
sehingga dimungkinkan untuk menengok setiap waktu".[6]
Demikian kaidah-kaidah ringkas mengenai hak asuh anak. Bahwa Islam
sangat menjaga dan memelihara ikatan keluarga, meskipun antara suami dan
isteri, atau antara ayah dan ibu si anak tersebut melakukan perceraian,
yang tentu saja akan memengaruhi psikologis anak itu sendiri. Solusi
Islam ini sangat berbeda dengan yang ditawarkan hukum publik. Begitu
juga sangat berbeda dengan yang dikembangkan masyarakat Barat. Di
kalangan Barat, jika terjadi persengketaan antara suami isteri,
perebutan anak asuh pasti terjadi dan penyelesaiannya pun
berlarut-larut. Bahkan bisa jadi memutuskan tali kekerabatan di antara
mereka. Oleh karena itu, tak ada pilihan lain untuk menjaga keutuhan
komunitas, kecuali dengan Islam. Wallahu a'lam. (Mas)
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_________
Footnotes
[1]. Majmu' al Fatawa (17/216-218).
[2]. HR Ahmad (2/182), Abu Dawud (2276) dan al Hakim (2/247). Syaikh al Albani menilainya sebagai hadits hasan.
[3]. HR Abu Dawud (2277), at-Tirmidzi (1361), an-Nasa-i (3496), Ibnu Majah (2351).
[4]. Fatawa Syaikhil-Islam (34/131).
[5]. Fatawa Syaikhil-Islam (34/132).
[6]. I'lamul-Muwaqqi'in (2/295).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar