MENIRU-NIRU TINDAK-TANDUK DAN SUARA-SUARA BINATANG
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
Tulisan ini membicarakan tentang hukum meniru-niru binatang. Baik dalam
aspek tingkah-laku atau suara-suaranya. Tindakan ini sering dilakukan
oleh para pendidik di level taman kanak-kanak, atau para orang tua dalam
upaya mendidik anak-anak mereka yang masih kecil, atau para pendongeng.
Baik dalam rangka mengenalkan alam semesta atau sekedar menghibur
anak-anak.
________________________
Jika dengan mengetengahkan cerita-cerita fiksi, berarti sudah
menambahinya dengan kedustaan. Tentang peran cerita dalam pendidikan dan
pengembangan kemampuan analitik anak didik, tidak terbantahkan. Namun,
sebagai pendidik, sudah saatnya untuk ‘berani’ berkata tidak terhadap
cerita-cerita fiktif. Apalagi sampai mengadopsi cerita-cerita dari
Barat.yang banyak berseberangan dengan syari'at.
Pasalnya, Islam sangat kaya dengan cerita-cerita yang edukatif, baik
dalam al Qur`an maupun Al Hadits. Dalam sejarah Rasulullah n (sirah)
sendiri sarat dengan nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi cermin
para pendidik muslim. Atau cerita-cerita perjalanan hidup para sahabat,
tabi’in dan para ulama rabbani lainnya.
Komisi Fatwa Lajnah Daimah pernah disodori pertanyaan yang berbunyi:
Apakah boleh seseorang menulis kisah-kisah dari imajinasi khayalannya?.
Pada dasarnya, isinya merupakan rekaan semata. Disampaikan sebagai
cerita bagi anak-anak untuk mengambil nilai-nilai pelajarannya.
Mereka menjawab:
Seorang muslim haram menulis kisah-kisah yang dusta (fiktif). Dalam
kisah-kisah yang ada dalam al Qur`an dan Hadits dan kisah-kisah lain
yang menceritakan tentang fakta dan mencerminkan kebenaran sudah memadai
untuk menjadi rujukan pengambilan pelajaran dan mauizhah hasanah.[1]
KAUM MUSLIMIN UMAT PALING AFDHAL
Allah Subhanahu wa Ta'ala sudah memuliakan umat Islam di atas umat-umat
lainnya. Keutamaan umat ini bukan karena suku, warna kulit, wilayah
ataupun bahasa, namun berdasarkan ketakwaannya kepada Allah. Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian”. [Al Hujurat/49 : 13.]
Kemuliaan ini harus senantiasa dijaga. Syaikh Abdul Malik Ramadhani
hafizhahullah mengatakan : "Apabila seorang muslim mengetahui bahwa
Allah telah memuliakan umat ini, maka kewajibannya untuk memuliakan dan
menjauhkan dirinya dari hal-hal yang akan menghinakannya’. [2]
Islam menginginkan supaya kepribadian seorang muslim berbeda dengan
orang-orang non muslim. Maka sudah semestinya, ia mempunyai jati diri
yang sempurna dan layak dengan dirinya.
Oleh karenanya, aturan-aturan agama Islam begitu banyak melarang seorang
muslim bertasyabbuh dengan bangsa-bangsa kafir yang telah binasa atau
orang-orang kafir sekarang. Allah Azza wa Jalla berfirman :
"Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang". [Al Maidah/5 : 48]
Sebagaimana juga Islam mengarahkan kaum muslimin agar berbeda dengan
orang-orang yang dangkal (kurang) agamanya seperti ahli bid’ah,
orang-orang sesat dan orang-orang fasik serta pelaku maksiat. Juga
mengarahkan agar mereka menyelisihi karakter orang-orang yang kurang
ilmu, seperti orang-orang Badui dan orang-orang yang serupa dengan
mereka.
Syariat Islam juga menjamin keterpeliharaan fitrah yang Allah Azza wa
Jalla ciptakan pada manusia. Sehingga melarang seorang lelaki tasyabuh
dengan perempuan, atau sebaliknya. Sebab, masing-masing mempunyai peran
tersendiri di kehidupan ini, kewajiban-kewajiban serta kodrat yang
berbeda dengan lawan jenisnya. Juga Islam ingin meninggikan kedudukan
seorang muslim dengan melarang bertasyabuh dengan hewan-hewan’[3]
TASYABUH DENGAN BINATANG.
Makna tasyabuh, seperti yang telah disimpulkan oleh Syaikh Jamil bin
Habib al Luwaihiq dalam disertasinya : ‘Usaha seseorang untuk meniru
selainnya dalam seluruh aspek yang menjadi ciri khas obyek yang ditiru
atau sebagiannya saja’.
Dari definisi di atas, faktor kesengajaan berpengaruh. Artinya, apabila
terjadi tasyabuh tanpa ada unsur kesengajaan, maka keluar dari topik
ini. Demikian pula, obyek yang ditiru luas, mencakup makhluk yang
berakal, misalnya manusia, ataupun tidak, seperti binatang. Ungkapan
tasyabuh ini seringkali dipakai pada peniruan terhadap perkara-perkara
yang zhahir (tampak).[4]
Syaikhul Islam menyoroti salah satu bentuk tasyabuh yang menjadikan
manusia (seorang muslim) akan keluar dari fitrah dan nilai-nilai syariat
Islam yang luhur . Yaitu meniru-meniru tingkah laku dan suara
binatang-binatang. Kata beliau : ‘Tasyabuh dengan binatang-binatang
dalam perkara-perkara yang dicela oleh syariat, merupakan perbuatan yang
madzmum (tidak terpuji) lagi terlarang, dalam meniru-niru
suara-suaranya, tindak-tanduknya dan lain sebagainya. Misalnya melolong
layaknya lolongan anjing atau meringkik bak ringkikan keledai dan lain
sebagainya. Sisi celanya ditilik dari beberapa alasan:
Alasan Pertama:
Qiyas Aula
Terdapat celaan meniru-niru sebagian manusia, seperti orang-orang Badui,
non Arab dalam aspek yang menjadi karakter asli mereka. Pasalnya,
peniruan tersebut akan mengakibatkan penurunan nilai-nilai dan menyeret
kepadanya. Oleh karenanya, meniru-niru binatang pada sisi yang menjadi
watak keasliannya lebih tercela dan lebih terlarang. [7]
Sebab, seorang manusia yang berasal dari Badui atau bukan orang Arab
lebih baik dari anjing, keledai atau babi. Jika sudah terdapat larangan
bertasyabuh dengan jenis-jenis manusia seperti ini, maka tasyabuh dengan
binatang dalam aspek yang menjadi karakternya lebih tercela dan
dilarang” [8]
Alasan Kedua:
Terdapat celaan terhadap orang-orang yang berwatak keras lantaran sering
bergaul dengan sebagian binatang. Karena terpengaruh dengan
kebiasaannya. Misalnya, orang-orang yang melatih anjing dan onta. Celaan
ini berkonsekuensi melarang meniru-niru binatang-binatang tersebut
dalam sifat-sifatnya yang tercela.
Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan: “Bahkan kaidah ini, melalui
makna peringatan implisit yang terkandungnya, melarang tasyabuh dengan
binatang secara mutlak dalam aspek yang merupakan karakternya.
Kendatipun, sebenarnya tidak tercela tindakan itu. Pasalnya, efeknya
akan mengakibatkan peniruan pada dimensi yang nanti dicela”.[9]
Alasan Ketiga:
Manusia menjelma seperti binatang, sebuah kejadian yang tercela. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“Dan sesungguhnya Kami menjadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan
dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah). Dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak,
bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”.
[Al A’raf : 179]
Alasan Keempat:
Sesungguhnya Allah menyamakan manusia dengan anjing dan keledai serta
binatang lainnya dalam rangka mencelanya. Misalnya dalam firmanNya:
"Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan
kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al Kitab). Kemudian
dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu. Lalu ia diikuti oleh syaithan
(sampai ia tergoda). Maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya
dengan ayat-ayat iu. Tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan
hawa nafsunya yang rendah. Maka, perumpamaannya seperti anjing jika kamu
menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya, dia
mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang
yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka)
kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Amat buruklah perumpamaan
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka
sendirilah mereka berbuat zhalim" [Al A’raf/7 : 175-177]
Dan firmanNya :
"Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian
mereka tidak memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kital
tebal…" [Al Jumu’ah/62 : 5]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اعْتَدِلُوا فِي السُّجُودِ وَلاَ يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ
"Luruslah kalian dalam bersujud. Jangan sampai salah seorang kalian
membentangkan lengannya seperti bentangan seekor anjing’" [HR. Al
Bukhari no: 788 Muslim 493]
al Munawi menuliskan sebuah ta’liq pada hadits ini: “Dalam hadits ini
terkandung larangan bertasyabuh dengan hewan-hewan yang hina dalam
akhlak, sifat, cara duduk dan lain sebagainya”.[10]
Jika serupa dengan binatang itu saja sudah tercela padahal tanpa ada
maksud untuk menirunya. Maka, orang yang sengaja ingin menirunya lebih
tercela lagi. Tetapi, bila menirunya dalam obyek yang dicela oleh
syariat, maka ia menjadi tercela dari dua sisi. Jika meniru dalam obyek
yang tidak dicela oleh syariat, ia tercela dari sisi melakukan tasyabuh
yang menyeretnya kepada perkara yang dicela. [11]
Alasan Kelima:
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ ...
"Sesungguhnya malaikat tidak masuk rumah yang berisi anjing".[HR. al Bukhari Muslim]
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمْ صِيَاحَ الدِّيَكَةِ فَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ
فَإِنَّهَا رَأَتْ مَلَكًا وَإِذَا سَمِعْتُمْ نَهِيقَ الْحِمَارِ
فَتَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ رَأَى شَيْطَانًا
"Jika kalian mendengar kokokan ayam, maka mohonlah keutamaan dari Allah,
karena sesungguhnya dia melihat Malaikat. Jika kalian mendengar
ringkikan keledai, mintalah perlindungan kepada Allah dari syaithan,
karena sesungguhnya ia melihat setan". [HR. Bukhari dan Muslim]
Ini menunjukkan bahwa suara-suaranya menyerupai syaithan dan menjauhkan
malaikat. Dan sudah diketahui, yang meniru sesuatu, sudah pasti akan
menyentuh sebagian hukum-hukumnya sesuai dengan kadar tasyabuh. Bila
meringkik seperti ringkikan keledai, maka perbuatan ini mengandung
penyerupaan dengan syaithan dan menjauhkan malaikat. Sesuatu yang
mendatangkan syaithan dan menjauhkan malaikat, tidak diperbolehkan untuk
dikerjakan kecuali dalam kondisi darurat. Oleh karenanya, tidak
diperbolehkan memiliki anjing kecuali dalam kondisi darurat. Untuk
mendatangkan kemanfaatan, seperti dalam berburu atau mencegah bahaya
dari binatang ternak atau tanaman. Sampai-sampai Nabi bersabda:
مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ حَرْثٍ أَوْ صَيْدٍ نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ
"Barang siapa memiliki anjing selain untuk (menjaga) binatang ternak
atau tanaman atau untuk berburu, akan berkurang amalannya sebesar qirath
setiap harinya’" [HR. al Bukhari Muslim]
Alasan Keenam:
Qiyas tentang larangan tasyabuh lelaki kepada wanita dan sebaliknya.
Nabi melaknat orang-orang lelaki yang bertasyabuh dengan wanita, dan
melaknat wanita-wanita yang bertasyabuh dengan lelaki’. Allah Subhanahu
wa Ta'ala telah menetapkan ciri khas bagi masing-masing jenis. Namun,
antara lelaki dan perempuan terdapat persamaan yang banyak sekali. Sisi
persamaan ini tidak menjadi ciri khusus bagi masing-masing jenis.
Karenanya, tidak ada larangan padanya. Misalnya kebutuhan makan, minum
dan lainnya.
Larangan-larangan berlaku pada hal-hal yang menjadi ciri khasnya saja.
Apabila perkara-perkara yang menjadi ciri wanita, maka tidak boleh
lelaki bertasyabuh padanya. Dan perkara-perkara yang menjadi trade mark
lelaki, wanita tidak boleh menirunya.
(Begitu pula) hal-hal yang menjadi ciri khas binatang, sudah tentu dan
sepantasnya manusia tidak boleh menirunya dalam masalah-masalah itu.
Kesimpulan
Usai mengutarakan alasan-alasan di atas, Syaikhul Islam mengatakan:
"Apabila demikian, Allah telah menjadikan manusia benar-benar berbeda
dengan hewan secara prinsip, serta menjadikan kesempurnaan dan
kebaikannya dalam perkara yang pantas baginya. Seluruhnya tidak
menyerupai hewan. Apabila ada orang yang sengaja meniru-niru hewan dan
merubah penciptaan Allah, sungguh telah memasuki kerusakan fitrah dan
syariat. Dan hukumnya haram wallahu a’lam.".[12]
Jadi, Islam datang mendukung fitrah manusia. Sebab, mustahil dalam agama
Allah terdapat kandungan yang bertentangan dengan fitrah. Allah Maha
Hakim, Maha Mengetahui ciptaanNya, menempatkan syariat yang berkorelasi
dengan fitrah ciptaanNya.
Tidak berhenti pada penataan fitrah saja, syariat Islam juga mentazkiyah
(mensucikan) fitrah manusia agar menjadi luhur. Tujuannya, agar
kedudukan manusia terangkat lebih tinggi dari golongan binatang yang
hanya ingin memenuhi kebutuhan duniawinya semata. Agar menjadi
orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah, yang selalu
menunggu-nunggu kenikmatan yang Allah persiapkan bagi mereka di akhirat
kelak di syurgaNya.
Sehingga fitrah manusia tetap berada di atas relnya, semakin mengkilat
dan terjaga dari noda-noda. Karenanya, Islam menyandang sebutan dinul
fitrah (agama fitrah).
Imam al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih dari Abu
Hurairah z bahwasanya Nabi n pada malam menempuh perjalan Isra`,
disodori dua bejana, salah satunya berisi air susu. Dan lainnya
berisikan khomer. Malaikat Jibril berkata: ‘Minumlah apa yang engkau
inginkan’. Beliau kemudian mengambil susu dan meminumnya. Setelah itu
ada yang bersuara:
أَصَبْتَ الْفِطْرَةَ أَمَا إِنَّكَ لَوْ أَخَذْتَ الْخَمْرَ غَوَتْ أُمَّتُكَ
"Engkau menepati fitrah. Jika engkau mengambil khomer, niscaya umatmu akan tersesat".
Dalam lafazh yang lain:
أَصَبْتَ أَصَابَ اللهُ بِكَ أُمَّتُكَ عَلَى الْفِطْرَةِ
‘Engkau tepat. Allah telah mengarahkanmu kepada yang tepat. Umatmu akan berada di atas fitrah’.
Dalam lafazh lain, malaikat Jibril berkata:
اخْتَرْتَ الْفِطْرَةَ
“Engkau telah memilih fitrah” [13]
Referensi :
Fatawa al Lajnah Daimah
Majmu al Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Raf’udz Dzulli Wal Hawan Abdul Malik Ramadhani Cet. II tanpa penerbit
At Tasyabbuhul Manhiyyu ‘Anhu Fil Fiqhil Islami Jamil bin Habib al
Luwaihiq Darul Andalus al Khadhra` Jedah Cet. I Th 1419 H – 1999 Mhttps://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
________
Footnote
[1]. Fatwa Lajnah Daimah 2/187.
[2]. Raf’udz Dzulli hlm. 10.
[3]. At Tasyabbuh al Manhiyyu ‘Anhu Hlm. 8
[4]. At Tasyabbuh al Manhiyyu ‘Anhu hlm 32
[5]. Secara terperinci, silahkan lihat Majmu’ al Fatawa 32/256-260
[6]. Majmu’ul Fatawa : 32/256-260 dengan sedikit ringkasan, at Tasyabbuh al Manhiyyu Anhu Fil Fiqhil Islami hlm. 75-77
[7]. Majmu al Fatawa : 32/257. at Tasyabbuh al Manhiyyu hlm. 76
[8]. ibid : 32/258
[9]. ibid : 32/258
[10]. Faidhul Qadir karya al Munawi (1/553). Kutipan dari at Tasyabbuh al Manhiyyu ‘Anh hlm. 76
[11]. Majmu’ al Fatawa : 32/257
[12]. Majmu’ al Fatawa : 32/260
[13]. HR. al Bukhari dan Muslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar