TARBIYAH BAGI YATIM
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
BATASAN YATIM MENURUT PARA ULAMA DAN ANJURAN BERBUAT IHSAN KEPADA MEREKA
Anak yatim adalah anak-anak yang kehilangan ayahnya karena meninggal
sedang mereka belum mencapai usia baligh. Batasan ini mencakup yatim
yang masih ada hubungan kekerabatan dengan si pemeliharanya, ataupun
dari orang lain yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Syaikh Salim bin Id Al Hilali hafizhahullah ketika
mengomentari hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:
كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي
الْجَنَّةِ وَأَشَارَ الرَّاوِيُ وَهُوَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ
بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
"Pemelihara anak yatim, baik dari kerabatnya atau orang lain, aku dan
dia (kedudukannya) seperti dua jari ini di surga nanti.” Dan perawi,
yaitu Malik bin Anas berisyarat dengan jari telunjuk dan jari
tengahnya". [1]
Beliau hafizhahullah berkata, "Makna (لَهُ أوْ لِغَيْرِهِ ) adalah
kerabatnya ataupun ajnabi (orang lain). Sedangkan (yang termasuk)
kerabat di sini, ialah ibu sang yatim, atau saudara laki-lakinya ataupun
pihak-pihak selain mereka yang memiliki kekerabatan dengannya. Wallahu
a’lam." [2]
Sebagian fuqaha juga memasukkan dalam kategori anak yatim ini, yaitu
mereka yang kehilangan orang tuanya karena sakit dalam waktu yang sangat
lama, atau karena perceraian, safar, jihad, hilang dan sebab-sebab
lainnya. Dan seorang anak yatim akan keluar dari batasannya sebagai
yatim, ketika ia telah mencapai usia baligh, sesuai dengan hadits Nabi
Shallallahju.
لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ
"Tidak ada keyatiman setelah baligh ......" [3]
Kerabat ataupun keluarga serta pihak-pihak yang memiliki hubungan
dengannya lebih berhak untuk berbuat baik kepada si yatim, memenuhi
kebutuhannya, mendidik serta mengarahkannya, mengasihi, mengayomi,
menyayanginya serta mengasuhnya hingga ia tumbuh menjadi pribadi yang
baik dan matang, serta siap menghadapi hidup ketika ia telah dewasa.
Meski demikian, syari’at Islam yang sempurna, tidak hanya membatasi
kewajiban berbuat ihsan kepada anak yatim hanya pada kerabatnya saja,
namun kewajiban ini juga berlaku umum bagi setiap kaum muslimin sesuai
dengan kadar kemampuan mereka.
Banyak nash-nash syar’i yang menegaskan keutamaan menyantuni anak yatim
dan menjanjikan balasan yang agung bagi para pemelihara anak yatim. Di
antaranya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحُُ لَّهُمْ خَيْرُُ وَإِن تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ
"Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah:”Mengurusi
urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka,
maka mereka adalah saudaramu". [al Baqarah : 220].
Dalam menafsirkan ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata: Ketika turun ayat
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim,
sebenarnya mereka menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala". [an Nisa’: 10].
Ayat tersebut terasa berat bagi para sahabat. (Sehingga para sahabat)
segera memisahkan makanan mereka dari makanan anak yatim, karena
khawatir akan memakan harta mereka, meskipun sebelumnya mereka terbiasa
menggabungkan harta mereka dengan harta anak yatim (yang berada dalam
kepengasuhannya, Pen).
Mereka kemudian bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
tentang hal itu, maka Allah memberi khabar kepada mereka, bahwa maksud
(ayat tersebut) adalah berbuat ishlah dalam masalah harta anak yatim,
dengan cara menjaga harta tersebut dan mengembangkannya dalam
perdagangan. Dan menggabungkan harta mereka dengan harta anak yatim
dalam masalah makanan ataupun selain itu, hukumnya boleh, asalkan tidak
merugikan sang yatim. Kerena mereka itu adalah saudara kalian juga. Dan
(sudah menjadi keumuman), jika saudara bergaul dan berbaur dengan
saudaranya sendiri. Parameter dalam hal ini adalah niat serta amal (sang
pengasuh yatim). Allah Maha mengetahui siapa yang berniat untuk berbuat
baik kepada anak yatim dan dia tidak memiliki keinginan untuk
mendapatkan harta yatim tersebut. Jika ada yang termakan olehnya tanpa
ada maksud demikian, maka ia tidak berdosa.
Allah Maha mengetahui pula siapa yang berniat buruk dalam penggabungan
harta tersebut, yakni ia ingin mendapatkannya kemudian ia memakannya.
Demikian inilah yang berdosa. Karena washilah (sarana) memiliki hukum
yang sama dengan maksud (tujuannya). [4]
Dalam satu haditsnya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أنا وَ كَافِلُ اليَتِيْمِ في الجَنَّةِ هكَذَا وَ أشَارَ بَالسَبَابَةِ وَ الوُسْطَى وَ فَرَّجَ بَيْنَهُمَا
"Aku dan pemelihara anak yatim di surga nanti, kedudukannya seperti (dua
jari ) ini,” dan Beliau memberikan isyarat dengan jari telunjuk dan
jari tengahnya dan memisahkan keduanya". [5]
Dalam hadits tersebut, Rasulullah memberikan permisalan yang sangat
gamblang tentang luhurnya kedudukan pemelihara anak yatim. Bahwa di
surga nanti mereka memiliki kedudukan yang sangat dekat dengan Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
METODE DAN SARANA TARBIYYAH BAGI ANAK YATIM
Anak-anak yatim memerlukan pendidikan dan tarbiyyah yang lebih spesifik
dibanding anak-anak lainnya. Hal ini mengingat kondisi mereka yang
kehilangan unsur-unsur esensial yang mereka butuhkan dalam hidup.
Diantaranya ialah kasih sayang orang tua. Oleh karena itu, hal pertama
yang mereka butuhkan ialah kepuasan terhadap rasa kasih sayang,
terpenuhinya perasaan aman, serta kehadiran sosok pengasuh pengganti
orang tuanya yang mampu memberikan pengarahan dan bimbingan untuknya,
memenuhi segala kebutuhan jasmani dan rohaninya. Mereka juga membutuhkan
dorongan motivasi untuk ikut berkembang dalam lingkungan masyarakat
sebagaimana umumnya anak-anak yang lain. Para yatim adalah anak-anak
yang kehilangan unsur- unsur kekuatan hidup mereka. Mereka kehilangan
muara kasih sayang hakiki dengan meninggalnya orang tua.
Untuk itu, Islam mendorong setiap muslim untuk memenuhi kebutuhan
anak-anak yatim dan menjanjikan pahala yang agung bagi siapa saja yang
berbuat baik kepada mereka.
Kondisi anak-anak yatim pun berbeda antara satu dengan lainnya. Di
antara mereka ada yang kehilangan salah satu saja dari orang tuanya,
yakni ibu atau bapaknya. Dalam kondisi semacam ini, biasanya mereka
lebih mudah diarahkan dalam lingkungan yang baru, yaitu ketika orang
tuanya (ibu atau bapaknya) yang masih hidup telah menikah lagi, kemudian
ia memiliki saudara-saudara baru yang nantinya akan ikut berkembang
bersama dengannya, dengan syarat orang tuanya tersebut menikah dengan
duda atau janda yang telah memiliki anak-anak juga. Dengan mencurahkan
segenap kesungguhan untuk memelihara mereka, insya Allah anak-anak yatim
tersebut akan tumbuh dan berkembang tanpa adanya permasalahan psikis
yang cukup serius. Tentunya, hal ini terkait juga dengan din kedua orang
tuanya. Artinya selama kedua orang tuanya itu konsisten dengan
ajaran-ajaran Islam, dan mereka meluruskan niat dalam mengasuh anak-anak
mereka, niscaya anak-anak mereka akan tumbuh normal sebagaimana
layaknya anak-anak yang lain, dengan taufik dari Allah. Jika tidak,
tentunya usaha untuk mengarahkan anak yatim tersebut menjadi anak yang
baik akan menemui banyak kendala, karena din adalah muara kebaikan bagi
segala urusan hidup manusia.
Di antara mereka juga ada yang kehilangan ayahnya, sedangkan mereka
memiliki kakak laki-laki yang mampu mengasuh dan mendidik mereka. Dalam
keadaan seperti ini, sang kakak menggantikan posisi ayahnya, dengan
syarat ia memiliki kepribadian kuat serta teguh pendirian; karena
mengasuh anak-anak yatim bukanlah suatu pekerjaan ringan, dan tanggung
jawabnya teramat besar. Bagi ibu dari anak-anak yatim tersebut,
semestinya memberikan penghormatan kepada sang kakak, bahu-membahu
bersamanya dalam mendidik anak-anaknya, serta mempercayakan kepemimpinan
keluarga kepada sang kakak secara kongkrit. Hal yang demikian ini,
memberikan efek kepada adik-adiknya yang yatim untuk tunduk terhadap
perintah sang kakak, dan secara bersamaan juga kepekaan dan tanggung
jawab sang kakak sebagai pengganti ayah akan tebentuk, sehingga ia
terbiasa dan lebih memiliki kepercayaan diri untuk mengasuh dan mendidik
adik-adiknya. Seorang ibu, meskipun ia memiliki kekuasaan untuk
memerintah anak-anaknya, namun jika anak-anaknya itu telah menginjak
masa dewasa, mereka tetap membutuhkan sosok pembimbing lain selain ibu,
yakni sosok pemimpin laki-laki yang mampu mengarahkan mereka yang tidak
lain adalah kakaknya tadi.
Diantara mereka ada pula yatim yang kehilangan salah satu dari orang
tuanya karena perceraian, atau pun kepergian orang tua yang sangat lama,
atau karena orang tuanya sakit, kemudian sang ibu tidak menikah lagi
dan memilih tinggal bersama keluarganya sedangkan ia memiliki beberapa
anak. Dalam kondisi seperti ini, sang yatim membutuhkan sosok pendidik
lain, yaitu semisal kakek atau pamannya. Dan selayaknya, bagi ibu untuk
memberikan kepercayaan kepada kakek atau paman dalam perkara-perkara
penting, jika anak-anaknya telah tumbuh besar dan mereka tidak
sepenuhnya lagi berada dalam kekuasaan sang ibu. Pengarahan kakek atau
paman sangat berpengaruh bagi mereka, karena laki-laki pada umumnya
lebih tegas dan berakal panjang dibandingkan wanita.
Berikut ini kami paparkan beberapa point yang memuat metode tarbiyyah bagi anak yatim. Di antaranya ialah sebagai berikut :
1. Hendaknya sosok pendidik pengganti orang tua yang meninggal itu
memiliki kemampuan untuk mengarahkan anak yatim, mampu mengemban
tanggung jawab pendidikan mereka dan memahami dengan baik dan sempurna
tentang problematika anak yatim serta hukum-hukumnya. Juga mampu
memenuhi kebutuhan mereka akan kasih sayang dan cinta kasih, dan tidak
membedakan anak-anak yatim itu antara yang satu dengan lainnya.
2. Adanya tekad yang kuat dan niat yang lurus dari pemelihara yatim
tersebut untuk mendidik mereka, karena banyak pemelihara yatim yang
meremehkan masalah ini serta menzhalimi hak mereka. Sewajibnya bagi
pemelihara anak yatim untuk memperlakukan mereka sebagaimana layaknya
mereka memperlakukan anak-anak mereka sendiri.
3. Memberikan waktu luang dan kesempatan yang cukup bagi sang yatim
untuk bergaul dengan anak-anak lainnya. Sebisa mungkin dihindari hal-hal
yang bisa menimbulkan kegoncangan jiwa bagi mereka, serta menjauhi
sikap memata-matai mereka dalam setiap urusan, agar mereka merasa diberi
kepercayaan untuk mengurusi urusannya sendiri. Dengan demikian, akal
dan dan fungsi sosialnya akan berkembang. Sedangkan kewajiban ibu adalah
memberikan pemahaman tentang tanggung jawab hidup kepada anak ketika
mereka menginjak usia dewasa, fahamkan bahwa mereka adalah generasi
harapan ibunya. Dengan cara ini, ibu turut membantu anak untuk mencapai
kematangan dan kedewasaan dalam bertindak, serta kemapanan dalam
berpikir untuk menghadapi hidup.
4. Dalam kondisi perceraian, hendaklah kedua orang tua bertindak dengan
penuh bijaksana dan sarat dengan kematangan jiwa, hingga anak dapat
tumbuh lurus tanpa adanya tekanan ataupun gangguan psikhis lainnya.
Selayaknya mereka saling memberikan dan menunjukkan pengormatan kepada
mantan pasangan, menghindari sejauh-jauhnya saling cela dan tuduh satu
dengan lainnya serta tidak membeberkan seluruh konflik yang terjadi di
antara mereka berdua kepada sang anak. Dengan cara seperti ini,
kebutuhan anak akan kebahagiaan yang berhak ia dapatkan dari kedua orang
tuanya akan senantiasa tercukupi, serta hak kedua orang tua untuk
mengasuh dan mendidik anak mereka tetap terjaga, karena sikap mulia dan
perwira dari kedua orang tuanya yang saling menghormati satu dengan
lainnya meski dalam kondisi perceraian, akan terekam kuat dalam memori
sang anak. Sang anak akan tetap menghormati kedua orang tuanya, karena
hal itu ia lihat dari sikap kedua orang tuanya dalam wujud nyata. Dan
sebaliknya, jika kedua orang tua saling cela dan menyalahkan satu sama
lainya, saling membeberkan kejelekan pasangannya di hadapan sang anak,
hal ini akan merusak kepercayaan dan penghormatan sang anak kepada kedua
orang tuanya sekaligus, sehingga ia tidak lagi mau menghormati kedua
orang tuanya serta sulit untuk menerima arahan dan bimbingan dari
keduanya.
ANCAMAN BAGI PEMAKAN HARTA ANAK YATIM DENGAN ZHALIM
Para yatim adalah golongan dhu’afa (kaum lemah) yang sangat membutuhkan
tangan-tangan penuh kasih, yang mau mengayomi mereka, membimbing dan
menjaga mereka dari ketergelinciran yang akan mencelakakan hidup mereka.
Maka selayaknya bagi setiap wali dan pihak-pihak yang diberi amanah
mengurusi mereka untuk selalu mengontrol hati mereka, senantiasa
meluruskan niat demi meraih keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala semata,
serta menjauhi sikap mengkhianati amanah, berbuat zhalim dan semena-mena
terhadap anak yatim.
Berbuat zhalim kepada mereka merupakan dosa besar yang diancam dengan
siksa neraka. Adzab memakan harta anak yatim secara zhalim terkadang
langsung Allah berikan di dunia. Mungkin para yatim yang lemah itu,
tidak bisa membalas kezhaliman yang mereka terima, tidak bisa menuntut
haknya yang dirampas secara semena-mena. Namun janganlah kita lupa,
Allah-lah yang menjadi penolong mereka. Hendaklah kita takut terhadap
adzab Allah yang mungkin datang secara tiba-tiba dan kita ditimpa su’ul
khatimah disebabkan kezhaliman kita, wal’iyadzubillah.
Telah banyak nash-nash syar’i yang menjelaskan keharaman memakan harta
anak yatim secara zhalim. Seluruh nash-nash tersebut datang dengan
shighat tahrim (konteks pengharaman atau larangan) yang sangat tegas. Di
antara nash-nash tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam
surat An Nisa’ di atas:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim,
sebenarnya mereka menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala". [an Nisa’: 10]
Tentang tafsir ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di berkata, ”Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
(إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا)
"Yaitu mengambil harta mereka dengan cara yang tidak benar. Batasan ini,
(yaitu secara zhalim) mengeluarkan masalah sebelumnya, yaitu bolehnya
memakan harta anak yatim bagi (pemelihara mereka ) yang faqir dengan
cara yang ma’ruf, serta bolehnya mencampurkan makanan mereka dengan
makanan para yatim".
Barangsiapa yang memakannya secara zhalim, maka (sebenarnya mereka
menelan api sepenuh perutnya), yaitu sesungguhnya yang mereka makan
hakikatnya adalah api neraka yang menyala-nyala di dalam perut mereka,
dan mereka sendiri yang memasukkan api tersebut ke dalam perutnya.
وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً (dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala), yaitu api yang membakar dan menyala-nyala. Ini merupakan
ancaman yang sangat berat bagi dosa-dosa, yang menunjukkan keburukan
memakan harta anak yatim, dan ia menjadi penyebab masuk neraka. Hal itu
menunjukkan jika perbuatan itu termasuk salah satu dari dosa-dosa besar.
Kita memohon keselamatan kepada Allah.” [6]
Kemudian firmanNya dalam surat Al Ma’un:
أَرَءَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ
"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim" . [al Ma'un : 1-2]
Imam Al Mufassir Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya,
"Allah Ta’ala berfirman: Apakah engkau tahu wahai Muhammad, (siapakah)
yang mendustakan din? (Din) adalah (hari) kembalinya manusia, balasan
serta pahala, فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (yaitu orang-orang
yang menguasai anak yatim), menzhalimi haknya, tidak memberinya makan
dan tidak berbuat baik kepadanya" [7]
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan kepada kaum
mu’minin, berbuat zhalim kepada anak yatim merupakan sifat orang-orang
yang mendustakan agama. Mereka akan dibalas atas kezhaliman tersebut
dengan siksa yang amat keras. Wal’iyadzu billah.
Dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوْا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا
هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي
حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ
الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصِنَاتِ
الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
"Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan.” Para sahabat
bertanya,”Wahai, Rasulullah! Apakah perkara-perkara itu?” Beliau
menjawab,”Berbuat syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang
diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan
harta anak yatim, lari dari medan perang, serta menuduh wanita merdeka
yang menjaga diri lagi beriman dan tidak berbuat kekejian". [8]
Dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, dengan jelas
tersurat bahwa memakan harta anak yatim termasuk dari tujuh perkara yang
membinasakan. Konteks larangan tersebut datang dengan lafazh (
اجْتَنِبُوا ). Hal ini menunjukkan keharaman yang lebih tegas daripada
sekedar lafazh nahyi (larangan) [9]. Wallahu a’lam.
Demikian sedikit pembahasan berkenaan dengan anak yatim. Semoga Allah
Subhanahu wa Ta'ala menjadikan kita termasuk ke dalam golongan hambaNya
yang menunaikan amanah. Wallahu waliyyu at taufiiq. (Ummu Abdillah).
Maraji:
- Tafsir Al Qur’anul Azhim, Ibnu Katsir, Jilid I, II dan V, Dar At Thayyibah, Cet. I, Th. 1422H.
- Taisir Karimir Rahman Fi Tafsiri Kalamil Mannan, Abdurrahman bin
Nashir As Sa’di, Jilid I dan II, Dar As Salam, Cet. I, Th. 1422H.
- Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhis Shalihin, Salim bin Id Al Hilali, Jilid I dan II, Dar Ibnu Jauzi, Cet. VI, Th. 1422H.
- Kaifa Turabbi Waladaka?, Laila Abdurrahman, Kementrian Agama Islam dan
Waqaf dan Dakwah dan Bimbingan Islam, KSA, Cet. III, Th. 1424H.
https://www.facebook.com/aang.muttaqin, Oleh :ir aang zezen zainal muttaqin.SH.M.Ag,
_________
Footnotes
[1]. HR Muslim, no. 2.983.” Lihat Bahjatun Nazhirin (I/ 350).
[2]. Bahjatun Nazhirin (I/350).
[3]. Sunan Abu Dawud, no. 2.873. Lihat Tafsir Ibni Katsir (II/ 215), tafsir ayat ke 6 dari surat An Nisa’.
[4]. Taisir Karimir Rahman (I/ 211).
[5]. HR Bukhari (9/ 439-Fathu Al Bari).” Lihat Bahjatun Nazhirin (I/ 350).
[6]. Taisir Karimir Rahman (I/384-385).
[7]. Tafsir Al Qur’an Al Azhim (8/493).
[8]. HR Bukhari (5/393-Al Fath) dan Muslim (89).”
[9]. Lihat perkataan Syaikh Salim bin Id Al Hilai dalam Bahjatun Nazhirin (III/ 126).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar